Posts

Showing posts from June, 2016

Ramadan tempo doeloe (22) : Rendang ningrat

Selain galamai (Ramadan tempo doeloe (20) : Galamai juara dunia http://kabacarito.blogspot.com/2016/06/ramadan-tempo-doeloe-20-galamai-juara.html) dan berbagai jenis kue rayo (Ramadan tempo doeloe (18): Kue rayo http://kabacarito.blogspot.com/2016/06/ramadan-tempo-doeloe-18-kue-rayo.html), makanan utama sebangsa nasi dan kamwan-kawan mestilah pula istimewa dihari raya.  Bagi kami istimewa artinya makan nasi dengan lauk daging.  Hanya empat kali setahun kami menikmati daging, yaitu saat kenduri sko, awal puasa, hari raya Idul fitri dan Idul Adha.  Ramadan sungguh istimewa, kami makan daging diawal dan diakhirnya.  Daging tidak kami beli dipasar, melainkan dusun kami diempat kesempatan itu menyembelihkan satu atau dua ekor kerbau (kadang sapi tapi jarang) dan dagingnya dinikmati oleh seluruh warga tanpa terkecuali.  Berpalinglah sejenak kesini (Mambantai dan Makan Daging Empat Kali Setahun http://kabacarito.blogspot.com/2013/07/makan-daging-empat-kali-setahun.html), untuk kisah suasana p

Ramadan tempo doeloe (21): Warung nasi Buk Inah

Buk Inah adalah perempuan tua pemilik warung nasi di Jalan Mantarena, sekitar tiga puluh meter saja dari gedung SMA 2 Bogor.  Dugaan saya, dua puluh tahun silam usianya paling tidak sudah lima puluh lima tahun.  Warung kecilnya menempel ke tembok sisi kanan dari Toko Terang, dekat dengan lapangan tenis yang persis dibelakang toko.  Warung itu sederhana sekali.  Ada satu etalase tempat meletakkan makanan, ada dua kompor yang digunakan Buk Inah untuk memasak sepanjang hari dan satu termos besar nasi.  Ada dua set meja dan bangku panjang yang disusun membentuk huruf L.  Meja yang lebih panjang diletakkan merapat ke tembok kanan toko Terang.  Lauk-pauk yang dipajang di etalasenya standar warung nasi Sunda.  Ada ayam goreng, empal daging, ikan, tempe, sayur lodeh, lalapan, oncom, kerupuk dan telor ceplok. Buk Inah barangkali adalah orang yang paling besar jasanya kepada anak-anak penghuni Asrama Mahasiswa Jambi dibelakang Pasar Devries, Mantarena.  Hampir semua penghuni asrama lintas angka

Ramadan tempo doeloe (19): Long distance massage

Pada suatu hari dibulan Ramadan, hujan turun sangat lebatnya.  Selokan kecil dibelakang rumah tak mampu menampung debit air dan airpun melimpah menggenangi dapur kami.  Tidaklah tinggi sebenarnya, paling-paling semata kaki.  Namun cukup membuat lantai dapur menjadi licin.  Mujur tak dapat diraih, malangpun tak dapat ditolak.  Ibu tergelincir dan tangan kanannya secara refleks bertumpu ke lantai.  Sayangnya, Ibu tak muda lagi, tangan ibu tak cukup kuat menahan tubuhnya.  Pergelangan Ibu patah. Tidak ada dokter ahli orthopedi di kabupaten kami.  Seingatku pada masa itu, selain para dokter umum di Puskesmas setiap kecamatan dan Rumah Sakit Umum di Sungai Penuh, hanya ada dokter ahli penyakit dalam.  Itupun hanya satu atau dua orang saja.  Baru ada satu atau dua dokter gigi.  Meski gigi keras bagai tulang, tapi dokter gigi tak dapat mengobati patah tulang pergelangan lengan.  Untuk pelayanan kesehatan lebih intensif oleh berbagai dokter spesialis, Padang adalah kota terdekat.  Dua ratus t

Ramadan tempo doeloe (17): Didikan subuh

Image
Disaat muda mudi aktivis tarawih asmara dan asmara subuh menyalahgunakan Ramadan dengan kegiatan tak terpuji, masih ada sekelompok anak-anak lebih belia yang mengisi Ramadan dengan aktivitas jauh lebih bermakna.  Anak-anak ini masih usia SD. Sekali dalam sepekan, biasanya diakhir pekan mereka tetap duduk di Masjid Raya selepas Subuh untuk mengikuti kegiatan yang dinamakan Didikan Subuh.  Anak-anak itu belajar tentang Fardhu 'ain dan ibadah sehari-hari.  Belajar shalat yang benar dan sesuai sunnah, baik bacaan maupun gerakannya.  Belajar doa-doa harian serta hafalan surat-surat pendek juz amma.  Terselip pula ajaran-ajaran akhlak mulia dan sejarah Islam.   Source: oldlook.indonesia.travel Didikan Subuh biasa berlangsung sekitar satu hingga satu setengah jam saja.  Tidaklah terlalu lama sehingga anak-anak merasa bosan.  Karena sebagian besar aktivitasnya dilakukan bersama-sama atau berkelompok, didikan subuh menjadi kegiatan belajar yang menyenangkan.  A lot of fun.  Ko

Ramadan tempo doeloe (18): Kue rayo

Image
Disebut kue rayo karena kami membuatnya spesial untuk hari raya, diluar itu tidak pernah. Kadang kami menyebutnya kue mentega, karena bahan utamanya adalah mentega atau margarine dari merek yang melegenda, Blue Band. Ia sebenarnya adalah kue kering atau cookies yang dibuat dengan berbagai kombinasi adonan dan dicetak dengan bentuk berbagai rupa. Kue mentega sebenarnya bukanlah makanan lebaran yang paling diminati, ia sebenarnya kalah pamor dari kacang goreng, kacang tojin, kue bawang, galamai atau lamang tapai. Tapi bagaimanapun ia harus ada, karena namanya kue rayo. Seingatku, selain mentega, bahan lainnya adalah tepung terigu, tepung jagung, gula, telur, kelapa parut, serbuk kakao (coklat), kayu manis, vanilla, serta berbagai asesoris yang mempercantik seperti butiran coklat (meisis), almond, kismis dan sebagainya. Membuat kue rayo adalah proyek sehari penuh, dimulai selepas subuh dan baru selesai jelang berbuka. Tentu saja Ibu adalah pimpinan proyeknya, project owner merangka

Jangan pernah katakan 'Apalah arti sebuah nama'

Check out dari Pullman Thamrin hari ini dan hijrah ke hotel budget karena urusan pekerjaan sudah selesai.  Saya minta tolong concierge mengirim orang mengangkut barang-barang. Seorang porter datang dengan troli khas hotel.  Ali namanya.  Sambil mengangkat koper ia bertanya, "Bapak asalnya dari mana?".  Agak kaget saya jawab, "saya lahir di Kerinci, kedua orang tua saya dari Minangkabau."  "Oh..pantesan, Pak. Nama orang Padang bagus-bagus.  Kalau nggak dari Bahasa Arab, pasti kayak nama bule."  Saya nyengir, masih bingung untuk memutuskan, apakah itu pujian atau cemoohan. Ali melanjutkan, "Bapak tahu nggak, nama Bapak adalah judul kitab lama yang ditulis oleh ulama besar Syaikh Ahmad Jazuli.  Judulnya 'Dalil al Khairat'." "Oh ya..?", jawab saya singkat, pura-pura tidak tahu. Ali semakin bersemangat, "Bapak tahu nggak kisahnya kenapa Syaikh Ahmad Jazuli menulis buku itu?" "Nggak..", kali ini saya benar-b

Ramadan tempo doeloe (16): Project BuBar

Image
  BukBer (Buka Bersama) atau BuBar (Buka Bareng) telah menjadi fenomena dahsyat beberapa tahun belakangan ini. Tidak lagi hanya terbatas pada kelompok kecil individu atau keluarga dekat, bahkan korporasi dan organisasi besar telah pula menjadikannya agenda wajib setiap Ramadan.  Seorang kawan di Jakarta bahkan menerima undangan buka bersama melebihi jumlah hari dibulan Ramadan. Dari kantor sendiri, supplier, clients, kelompok alumni dari TK hingga S-2, ormas, asosiasi industri, RT/RW dan sebagainya. Terus, kapan mau tarawih dan nguber khatam Quran nya? Hehehe...rupanya kita makin terjebak dengan festivalisasi Ramadan. Anyway , kita tak hendak membahas topik serius itu.  Mari mengenang kembali bagaimana kita menikmati buka bersama dimasa lalu, seperempat abad yang lalu.  Semasa SMA, buka bersama telah menjadi agenda tahunan sekolah kami setiap Ramadan.  Ia adalah proyek besar and we took it very seriously . Biasanya sekolah mengumumkan hari buka bersama diawal bulan puasa, paling ti

Ramadan tempo doeloe (15): Pusara yang hilang

Image
Salah satu kebiasaan menjelang bulan Ramadan tiba adalah menziarahi makam orang tua atau keluarga dekat. Ketika aku masih kecil dulu, ada empat kerabat dekat yang telah berpulang. Kedua orang tua Ibu, Iyak (Nenek) yang wafat setahun sebelum aku lahir dan Inyiak (Kakek) yang berpulang ketika aku berumur tiga tahun.  Lalu sepasang adik ibu yang aku tak pernah bertemu karena mereka meninggal ketika masih kanak-kanak dan aku belum lahir. Mereka semua dimakamkan di lahan pekuburan APL, perkumpulan para perantau dari Agam, Pasaman dan Lima Puluh Koto.  Pemakaman itu terletak di Bukit Sentiong. Suatu malam menjelang Ramadan, Mak Inal, adik laki-laki Ibu yang bungsu, datang kerumah Tek Da, adik perempuan Ibu nomor dua.  Saat itu aku tinggal di rumah Tek Da. Mak Inal mengabarkan bahwa ia baru saja mengunjungi Bukit Sentiong, namun pusara Iyak dan Inyiak tidak ditemukan. Kemungkinan besar tertimbun longsor karena saat itu sedang musim penghujan.  Inyiak dan Iyak dimakamkan berdampingan d

Ramadan tempo doeloe (14) : Matine show

Image
Di era 1980-an, ada tiga bioskop di Sungai Penuh, yaitu bioskop Karya, bioskop Purnama dan bioskop Candra.  Belakangan bioskop Karya terbakar habis dan tidak pernah beroperasi kembali.  Hingga saya meninggalkan Kerinci ditahun 1993, duo Purnama dan Candra memonopoli dunia perbioskopan kabupaten kami.  Tak ada lawan.  Entah kenapa nama keduanya terkait dengan rembulan.  Jaringan bioskop 21 tidak laku dikampung kami. Sepanjang pengamatanku, kedua bioskop inipun sebenarnya berjalan terengah-engah.  Ibarat pepatah, bagai kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau.  Hampir tidak pernah tayangan film mereka mampu menarik ramai penonton hingga penuh.   Menurutku, paling tidak ada dua penyebabnya.  Satu, film-film yang diputar kedua bioskop itu tidaklah terlalu baru.  Wajar, bioskop kecil di pelosok rimba Sumatera seperti mereka tentulah diantara yang mendapat giliran paling buncit menerima rol film, setelah Jakarta dan kota-kota di pulau Jawa dan ibukota propinsi disekitar kami

Ramadan tempo doeloe (13): Malala

Ngabuburit atau berjalan-jalan disore hari untuk menunggu waktu berbuka menjadi sangat populer di bulan Ramadan.  Kamipun melakukan hal itu untuk membunuh waktu, namun kami tidak menggunakan istilah dari bahasa Sunda itu.  Dalam bahasa Kerinci istilah itu bisa berkonotasi negatif dan kurang ajar. Barangkali kata yang semakna dalam bahasa kami adalah malala , yang artinya berjalan-jalan atau keluyuran tanpa tujuan yang jelas, sekedar untuk bersenang-senang atau pun membunuh waktu.  Malala sama sekali tidak ada kaitannya dengan malalu ( kabacarito: Ramadan tempo doeloe (9): Malalu ). Sebenarnya orang berpuasa disunnahkan untuk menghabiskan waktu selama bulan Ramadan dengan beribadah lebih banyak.  Tidak hanya memperbanyak shalat, dapat pula dengan tilawah Al Quran, membaca kitab-kitab ulama atau buku-buku agama atau iktiqaf.  Bahkan tidur saja bernilai ibadah.  Tapi sayang kami lebih cenderung mengisi Ramadan dengan sisi festivalisasinya saja, yang bukan tak mungkin justru meru

Ramadan tempo doeloe (12): Filsuf jomblo dan jeans pertamaku

Adalah Bang Ismet, bujang lapuk penggila filosofi, sahabat semua anak asrama mahasiswa.  Ia bekerja serabutan, apa saja yang menghasilkan uang halal. Waktu itu umurnya paling tidak tiga puluh lima tahun.  Ia lebih tua dari semua penghuni asrama.  Pada awalnya Bang Ismet adalah sahabat dari salah seorang penghuni angkatan lama yang sudah beberapa tahun meninggalkan asrama karena kuliahnya telah selesai dan bekerja dikota lain.  Namun Bang Ismet tak berhenti melawat, paling tidak seminggu sekali.  Itu sebabnya ia menjadi sahabat penghuni asrama lintas generasi dan menjadi bagian tak terpisahkan dari asrama kami.  Bila lebih dari seminggu Bang Ismet tak menampakkan mukanya, kami mulai bertanya-tanya, "Bang Ismet mana, ya?".  Serasa ada yang hilang. Bang Ismet yang berperawakan kecil dan berambut ikal itu adalah orang ceria, tidak pernah marah, easy going dan mudah berkawan dengan semua orang.  Setiap kali berjumpa, ia selalu yang pertama mengucap salam dan menanyakan k

Ramadan tempo doeloe (27): Dua batang rokok, satu puntung

Image
Tek Da adalah adik Ibu yang berprofesi sebagai guru SD.  Bertahun-tahun aku tinggal bersama Tek Da sejak pindah sekolah ke Sungai Penuh saat kelas 5 SD hingga rumah Tek Da tak mungkin lagi menampung saat kami bertiga bersekolah di Sungai Penuh. Suami Tek Da, Pak Etek kami memanggilnya, adalah pedagang ayam kampung yang aktif di surau dan bermasyarakat.  Salah satu yang kuingat, Pak Etek secara sukarela mengelola tabungan masyarakat untuk qurban.  Mereka yang berminat berqurban di surau Madaniatul Islamiyah mendaftarkan diri kepada Pak Etek setahun sebelumnya.  Pak Etek kemudian akan berkeliling sekali dalam sepekan untuk memungut tabungan qurban itu.  Aku sering menggantikan Pak Etek berkeliling melakukan pemungutan itu.  Uang masuk dicatat dalam sebuah buku tebal panjang, persis yang dibawa tukang kredit berkeliling.  Setiap penabung juga memiliki catatan sendiri dalam bentuk kartu selebar setengah kertas A4, dibuat dari karton manila yang dipotong-potong.  Petugas pemungut mencatat t

Ramadan tempo doeloe (20) : Galamai juara dunia

Image
Satu lagi kuliner khas bulan Ramadan, dalam bahasa Minang kami menyebutnya galamai .  Ditempat lain ia dinamakan jenang atau dodol .  Galamai biasa dibuat dalam rangka hari-hari istimewa seperti baralek dan tentu saja hari raya. Galamai dibuat dari tiga bahan utama yaitu tepung beras ketan, santan kelapa dan gula enau (aren).  Karena tidak mudah mendapatkan gula enau, kami biasanya menggunakan gula jawa yang terbuat dari tebu.  Ia dapat digantikan pula oleh gula kelapa.  Namun gula enau tetap memberikan cita rasa terbaik. Sebagaimana kue rayo, membuat galamai adalah proyek besar, menguras tenaga dan masa seharian.  Dibandingkan membuat cookies, pembuatan galamai lebih berat, memerlukan pekerja kuat bertenaga kuda.  Karena itulah pembuatan galamai lebih sering dilakukan dengan bergotong royong sesama anggota sebuah keluarga besar atau bersama jiran tetangga.  Setiap keluarga berkontribusi sejumlah tertentu untuk membeli bahan-bahan serta menyumbang tenaga pada hari-h pembuatan galam

Ramadan tempo doeloe (11): Baju rayo

Hari raya identik dengan baju baru, terutama bagi anak-anak. Bagi kami bertiga, ia bahkan menjadi teramat penting. Pasalnya, itu saja satu-satunya kesempatan kami untuk memiliki baju baru nan cukup rancak untuk dibawa bepergian atau mengahadiri acara-acara diluar rumah. Diluar bulan Ramadan, bisa saja kami membeli baju baru, tapi pastilah itu seragam sekolah. Atau, Ibu mungkin saja membeli baju-baju obral untuk anak-anaknya diluar bulan puasa, pastilah itu baju-baju berbahan kaos berkualitas rendah, untuk kami pakai bermain atau tidur. Biasanya kami masing-masing mendapat jatah dua set baju rayo, satu untuk hari raya pertama dan yang lain untuk hari kedua. Bagi kami lebaran adalah dua hari, karena ada dua hari tanggal merah pada almanak. Bagi kedua adik perempuanku, perkaranya sedikit lebih mudah. Ibu tinggal membawa mereka ke balai (pasar mingguan) disuatu hari Jumat dan memilih baju rayo dari pedagang-pedagang yang membuka lapak pakaian. Lebih sering urusannya berlangsu

Ramadan tempo doeloe (10): Pasa Mambo

Ketika masih tinggal didusun bersama Ibu dan Abak, selama bulan Ramadan, pabukoan  (makanan pembatal puasa) selalu kami buat sendiri.  Bahkan beberapa bahan bakunya seperti ubi, singkong, pisang, labu, pepaya, alpukat dan tebu, berasal dari kebun sendiri.  Didusun kami tidak ada pasar kaget yang tiba-tiba muncul dibulan Ramadan saja, dimana kita dapat membeli segala macam pabukoan .  Paling-paling, pada hari balai (hari pasar) yang dikampung kami jatuh pada setiap Jumat, ada pedagang yang menjual cindua bareh, cindua dalimo dan kolang-kaling.  Itu pun masih mentah, masih perlu diolah di dapur masing-masing sebelum dapat dinikmati saat berbuka tiba. Pasar Ramadan hanya ada di Sungai Penuh.  Namanya Pasa Mambo.  Tak tahu aku bagaimana sejarahnya hingga pasar itu bernama mambo.  Pasar sebulan penuh itu memanfaatkan jalan yang lumayan lebar diantara dua blok Pasar Beringin.  Pada hari biasa diluar bulan puasa, selain untuk lalu lalang, jalan lebar itu dipakai untuk parkir kendaraan

Ramadan tempo doeloe (9): Malalu

Image
Source: www.dinomarket.com Pernahku ceritakan bahwa kami punya tiga panduan waktu dirumah, arloji Abak, arloji Ibu dan jam dinding. Ketiganya tidak pernah sepakat. Hanya Tuhan yang tahu, entah mana yang benar, mana yang salah. Bahkan mungkin semuanya tidak akurat. Kami tidak punya jam wekker alias jam dengan alarm. Kami mengandalkan jam biologis untuk terjaga setiap pagi pada saat yang sama. Selama bulan Ramadan tentu kami harus bangun lebih awal. Rumah kami jauh dari perkampungan sehingga tidak ada anak-anak muda yang begadang sepanjang malam dan keliling dusun sembari memukul kaleng-kaleng cempreng untuk membangunkan sahur. Jadilah seisi rumah semata-mata mengandalkan jam biologis Ibu yang memang harus bangun paling awal untuk menyiapkan sahur. Tingkat akurasi jam biologis Ibu sangat tinggi, meski tidak sempurna 100%. Namun Ibu juga manusia, mungkin saja karena terlalu sibuk disiang harinya, Ibu menjadi kelelahan, tidur terlalu lelap dan tidak terjaga pada waktu bia

Ramadan tempo doeloe (8): Tarawih Asmara dan Asmara Subuh

Ramadan demikian hidup dan semarak, dengan tarawih dan tadarus dimalam hari. Dini hari anak-anak muda berkeliling kampung, memukul-mukul apapun yang mengeluarkan suara gaduh untuk membangunkan sahur.  Masjid dan surau kembali ramai oleh jamaah shalat shubuh selepas waktu sahur.  Dibanyak masjid dan surau, shalat subuh berjamaah dilanjutkan dengan ceramah hingga matahari terbit. Kemudian sebagian jamaah tegak shalat sunnah syuruq. Banyak pula yang baru pulang selepas shalat dhuha, terutama diakhir pekan atau hari libur. Diantara shalat-shalat itu orang-orang memperbanyak tilawah Al Quran mengejar target khatam. Waktu shalat zhuhur dan asar pun begitu, masjid dan surau lebih ramai. Menjelang maghrib, ramai yang menghantar pabukoan ke masjid atau surau, untuk mereka yang memilih berbuka di sana. Namun selalu saja ada yang memanfaatkan kemeriahan Ramadan untuk hal-hal yang justru menodai kesyahduannya.  Telah beberapa tahun ini, semenjak TV-TV swasta bermekaran dan TVRI ditinggal

Ramadan tempo doeloe (7): Ikut bedug Masjid Agung An Nur Pekanbaru

Rumah bambu kami berada didekat sekolah dimana ibu mengajar, jaraknya sekitar satu kilometer dari dusun.  Karena itu bunyi bedug maghrib ditabuh tidak selalu terdengar.  Azan yang mengikutinyapun sayup-sayup sampai, cenderung tak terdengar.  Ini tentu menjadi masalah dibulan Ramadan dimana kita disunnahkan berbuka diawal waktu, tidak boleh dilambat-lambatkan.  Apalagi bagi kami anak-anak, bila petang itu kami bermain terlewat bersemangat, maka sangatlah penting bagi kami untuk segera menyeruput sirup ABC hangat buatan Ibu pada awal detik pertama masuknya waktu Maghrib. Sebenarnya setiap tahun kami mendapatkan pembagian jadwal imsakiyah Ramadan yang menampilkan jadwal shalat lima waktu plus waktu imsak (10 menit sebelum azan Subuh).  Persoalannya adalah jam tangan Abak tidak pernah sepakat dengan jam tangan Ibu.  Jam dinding pula menyelisihi keduanya.  Jadi kami memiliki tiga panduan waktu yang berbeda, entah mana yang benar, mungkin tidak satupun. Untunglah Abak punya solusinya.  Ent

Ramadan tempo dulu (6): Toa tua cempreng

Image
Ini kisah berpuasa ketika saya sudah tinggal di Sungai Penuh, ibukota kabupaten kami. Saya pindah ke Sungai Penuh untuk belajar mengaji dan tinggal dirumah Tek Da, adik Ibu. Di dusun kami waktu itu tidak ada tempat belajar mengaji yang dekat rumah dan cukup baik. Di dekat rumah Tek Da ada surau kecil, namanya surau Madaniatul Islamiyah. Disitu pula saya belajar mengaji setiap malam bersama puluhan anak-anak lain, dibawah bimbingan dua orang buya muda berdedikasi tinggi, Uda Acang dan Uda Jamang. Selama bulan Ramadan, kelas mengaji anak-anak dihentikan karena surau dipakai untuk shalat tarawih. Namun bukan berarti kami berhenti belajar mengaji. Anak-anak yang sudah lancar membaca Alquran, meski tajwidnya masih centang perenang, diwajibkan bergabung dengan rombongan tadarus keliling. Tadarus dilakukan selepas shalat tarawih. Rombongan ini terdiri dari para jamaah surau Madaniatul Islamiyah, tua dan muda, tentu saja yang pandai mengaji. Mereka berkeliling setiap malam sepanjang