Tua dan Bernas
Pakar pengembangan diri selalu menyarankan untuk banyak-banyak menghadiri seminar, conference, convention atau sejenisnya. Untuk menambah wawasan dan meng-update diri dengan perkembangan terkini, begitu kata mereka. Tapi kenyataannya, sebagian besar even seperti itu membosankan. Pembicara membawa topik yang itu-itu saja, datar-datar saja, bahkan cenderung basi. Apalagi kalau event organiser-nya rada-rada kurang profesional, lengkap sudah. Kadang yang dibawa pulang justru kesan tentang sisi lain yang tidak penting seperti menu makan siang atau souvenir dari panitia.
Tapi, kali ini berbeda. Pekan lalu saya menghadiri sebuah event bernama ICTR 2008 (International Convention on Takaful & Retakaful) dan pulang dengan kesan yang mendalam. Organiser menghadirkan Tun DR. Mahathir Muhammad, mantan Perdana Menteri Malaysia, sebagai keynote speaker.
Ketika lelaki yang telah berusia 83 tahun itu memasuki ruangan, seluruh hadirin diminta berdiri oleh pembawa acara. Saya mencoba memaklumi dengan nuansa skeptis, ah...dia kan mantan pejabat negara penyelenggara event ini. Hemat saya ketika itu, paling panitia sengaja menghadirkan beliau sekedar sebagai magnet agar event yang mereka gelar tidak sepi peserta. Saya mungkin masih terlalu muda untuk memahami tokoh satu ini. Seingat saya, dia berkuasa sejaman dengan Soeharto di Indonesia. Dan mereka berdua sering tampil bersama di layar TVRI, ketika itu.
Setelah sambutan singkat dari chairman of convention, tiba giliran Dr. Mahathir menuju podium. "Terima kasih telah mengundang saya. Tapi maaf saya tidak akan mampu berbicara tentang industri anda, takaful, karena pengetahuan saya yang sangat minim tentang itu. Saya hanya akan berbagi sedikit tentang apa yang sesungguhnya terjadi pada perekonomian dunia". Begitu dia membuka pidatonya.
Saya melihat sekitar, mulai merasakan atmosfir yang berbeda. Hadirin senyap, semua mata tertuju pada lelaki tua itu. Semua telinga seperti tak sabar menanti untaian kata yang akan meluncur dari kedua belah bibirnya.
Dr. Mahathir ternyata bukanlah singa podium yang bisa membakar semangat perlawanan pendengarnya. Ia berbicara tenang, cenderung datar. Tak akan ditemukan fluktuasi intonasi yang dramatis. Namun setiap kata yang meluncur keluar seperti telah melalui pemikiran matang dan perenungan panjang, begitu bernas. Kata-kata berisi itu membentuk rangkaian kalimat yang logis dan masuk akal. Kentara sekali betapa panjang jalan yang telah diretas oleh pelantunnya. Kini saya turut hanyut oleh pesona kata dan logikanya, terlepas dari benar atau salah.
Tatanan perekonomian dunia saat ini tidaklah begitu buruk, akan tetapi sangat terbuka bagi penyalahgunaan oleh orang-orang yang serakah, yang ingin menjadi jutawan dalam semalam. Dan mereka melihat peluang itu terbuka lebar dalam bidang keuangan. Ekonomi Syariah berpotensi menjadi solusi, karena sangat menjunjung tinggi keadilan dan membenci keserakahan. Demikian kurang lebih kesimpulan dari paparan Dr. Mahathir.
Sesaat setelah Dr. Mahathir mengucap salam penutup pidatonya, seluruh hadirin sontak berdiri dan bertepuk tangan, tanpa perlu diminta oleh pembawa acara. Sebagian berusaha mendekat dan menjabat tangan. Begitu terus hingga beliau meninggalkan ruangan. Semuanya tenggelam dalam kekaguman.
Saya sendiri bergumam dalam hati. Betapa beruntungnya bangsa Malaysia memiliki pemimpin yang demikian istimewa, cerdas dan bernas. Sungguh tak heran, bila hari ini Malaysia telah jauh meninggalkan saudara tuanya Indonesia. Semoga Allah suatu hari juga menurunkan pemimpin seperti ini bagi Indonesia.
Hidd - 28 Nov 2008
Tapi, kali ini berbeda. Pekan lalu saya menghadiri sebuah event bernama ICTR 2008 (International Convention on Takaful & Retakaful) dan pulang dengan kesan yang mendalam. Organiser menghadirkan Tun DR. Mahathir Muhammad, mantan Perdana Menteri Malaysia, sebagai keynote speaker.
Ketika lelaki yang telah berusia 83 tahun itu memasuki ruangan, seluruh hadirin diminta berdiri oleh pembawa acara. Saya mencoba memaklumi dengan nuansa skeptis, ah...dia kan mantan pejabat negara penyelenggara event ini. Hemat saya ketika itu, paling panitia sengaja menghadirkan beliau sekedar sebagai magnet agar event yang mereka gelar tidak sepi peserta. Saya mungkin masih terlalu muda untuk memahami tokoh satu ini. Seingat saya, dia berkuasa sejaman dengan Soeharto di Indonesia. Dan mereka berdua sering tampil bersama di layar TVRI, ketika itu.
Setelah sambutan singkat dari chairman of convention, tiba giliran Dr. Mahathir menuju podium. "Terima kasih telah mengundang saya. Tapi maaf saya tidak akan mampu berbicara tentang industri anda, takaful, karena pengetahuan saya yang sangat minim tentang itu. Saya hanya akan berbagi sedikit tentang apa yang sesungguhnya terjadi pada perekonomian dunia". Begitu dia membuka pidatonya.
Saya melihat sekitar, mulai merasakan atmosfir yang berbeda. Hadirin senyap, semua mata tertuju pada lelaki tua itu. Semua telinga seperti tak sabar menanti untaian kata yang akan meluncur dari kedua belah bibirnya.
Dr. Mahathir ternyata bukanlah singa podium yang bisa membakar semangat perlawanan pendengarnya. Ia berbicara tenang, cenderung datar. Tak akan ditemukan fluktuasi intonasi yang dramatis. Namun setiap kata yang meluncur keluar seperti telah melalui pemikiran matang dan perenungan panjang, begitu bernas. Kata-kata berisi itu membentuk rangkaian kalimat yang logis dan masuk akal. Kentara sekali betapa panjang jalan yang telah diretas oleh pelantunnya. Kini saya turut hanyut oleh pesona kata dan logikanya, terlepas dari benar atau salah.
Tatanan perekonomian dunia saat ini tidaklah begitu buruk, akan tetapi sangat terbuka bagi penyalahgunaan oleh orang-orang yang serakah, yang ingin menjadi jutawan dalam semalam. Dan mereka melihat peluang itu terbuka lebar dalam bidang keuangan. Ekonomi Syariah berpotensi menjadi solusi, karena sangat menjunjung tinggi keadilan dan membenci keserakahan. Demikian kurang lebih kesimpulan dari paparan Dr. Mahathir.
Sesaat setelah Dr. Mahathir mengucap salam penutup pidatonya, seluruh hadirin sontak berdiri dan bertepuk tangan, tanpa perlu diminta oleh pembawa acara. Sebagian berusaha mendekat dan menjabat tangan. Begitu terus hingga beliau meninggalkan ruangan. Semuanya tenggelam dalam kekaguman.
Saya sendiri bergumam dalam hati. Betapa beruntungnya bangsa Malaysia memiliki pemimpin yang demikian istimewa, cerdas dan bernas. Sungguh tak heran, bila hari ini Malaysia telah jauh meninggalkan saudara tuanya Indonesia. Semoga Allah suatu hari juga menurunkan pemimpin seperti ini bagi Indonesia.
Hidd - 28 Nov 2008
Comments