Posts

Tiga puluh tahun Allah menunggu...

Image
Malam itu saya meninggalkan kantor tepat saat azan Isya berkumandang.  Udara sejuk selepas hujan.  Tanah masih basah.  Berjalan kaki menuju stasiun LRT Ampang Park dan saya putuskan berhenti di surau Tabung Haji untuk ikut shalat Isya berjamaah.  Pas sekali, iqamah terdengar saat saya membuka pintu surau yang terletak disudut depan bangunan yang berdesain unik itu.  Bergabung saat rakaat pertama telah bermula, saya berdiri dipojok saf paling belakang. Ini pertama kali saya shalat disini dan belum familiar dengan surau bundar ini.  Selepas shalat saya agak kebingungan mencari pintu keluar.  Beberapa daun pintu yang saya tarik ternyata pintu lemari.  Seorang laki-laki India mendekati saya dan bertanya, "Abang nak kemana?" "Dimana pintu keluar?" "Bukan itu, Bang. Itu lemari baju saya", katanya sambil tersenyum. "Ini pintunya, Bang", sambil membuka daun pintu kaca. "Terima kasih. Saya baru sekali ini kesini, belum hapal".  Ia

Kisah nyata: tabrakan di tiga negara

Image
Malaysia Tiga hari yang lalu.  Mendung mengurung Kuala Lumpur sepagi itu.  Istri saya Ida menyetir pulang selepas mengantar si nomor dua Zaki ke sekolahnya.  Dua ratus meter dari rumah, menjelang tikungan terakhir, hujan lebat mengguyur tiba-tiba.  Sudah tabiat Kuala Lumpur, hujan deras turun kerap tanpa gerimis rinai. Ida mendadak teringat jemuran yang baru digantungnya pagi itu. Dan, bum!  Mobil menghantam mobil didepan dengan kerasnya.  Airbag pun mengembang.  Bagian depan mobil rusak parah. Ida sepertinya sempat pingsan sejenak. Begitu siuman yang dilakukannya adalah menelepon saya.  Saya segera memesan uber.  Dalam perjalanan menuju tempat kejadian saya menelepon asuransi untuk segera mengirim mobil derek. Mobil kamipun dinaikkan keatas mobil derek dan kami meluncur ke Balai Polis (kantor polisi) untuk membuat laporan. Pertama kami mengambil nomor antrian untuk mendaftarkan kecelakaan.  Setelah mendapat secarik kertas dari petugas pendaftaran, kami diminta menemui S

Konspirasi Asuransi

My uber driver to airport this morning was a super talkative 64 year-old Chinese Malaysian fellow by the name of Jay.  He suddenly got excited when I told him that I am flying to Bali for an insurance conference.  Just like other conversation with  new acquaintance, I spent next five minutes at least explaining him what kind of animal reinsurance is.  Most people know insurance, but hardly heard reinsurance. He is no doubt a hardliner conspiracy theory devotee.  He strongly believes nothing in this f***ing World happen by accident.  Yes, Jay uses a lot of F words :-) Everything happens by design, although it looks like an accident.  There is always someone out there making money out of all disaster, war or crisis.  Most of the time, they are American and their capitalist cronies, Jay said. The thing is Jay has rather extreme views on insurance.  He ironically 'praised' insurance as a bunch of too smart people who making you buy their products while 'squeezing your ball&#

Dialog dengan Presiden tentang IPB

Lini masa saya hari-hari ini riuh rendah oleh gelombang tanggapan alumni IPB atas kritik Presiden Jokowi saat berpidato dalam Dies Natalis IPB ke-54.  Apalagi kalau bukan soal lulusan IPB yang bekerja dibanyak bidang lain, tidak ada yang jadi petani. Sebagai alumni IPB yang tersesat di industri asuransi, maka izinkan saya nimbrung barang sebait dua. Sesungguhnya kritikan itu bukanlah hal baru dan janggal.  Setiap alumni IPB pasti pernah terlibat dalam perkenalan, perbincangan atau diskusi yang berujung pada perdebatan itu.  Saya pun demikian. Contohnya adalah seperti dialog imaginer berikut ini antara seorang alumni IPB dan Presiden Joko Widodo saat mereka pertama kali bertemu. Joko (J): Saya Joko, Mas. Mas e siapa? Delil (D): Saya Delil, Pak. J : Mas e kerja dimana? D: Asuransi. J: Oh njih...kalau saya punya pabrik mebel Mas. D: Wah.. bagus itu, Pak. Indonesia perlu lebih banyak pengusaha seperti anda.  Saya sangat respect pada pengusaha dan ingin jadi salah satu dari mereka.

Karena Rohingya tak lagi bisa menunggu

Image
Source: TheWire.in Kelekatan suatu kaum pada tanah kelahiran tumpah darahnya pastilah sangat erat. Nyawa pun dipertaruhkan untuk mempertahankannya. Keputusan terakhir meninggalkan kampung halaman barulah akan diambil bila bahaya yang mengancam demikian buruknya, hingga bertahan disana dapat berujung musnahnya kaum itu hingga keakar-akarnya. Kaidah ini berlaku pada semua kaum, suku dan bangsa diseluruh dunia. Tidak terkecuali Rohingya. Malangnya, situasi terburuk itulah yang telah mengepung bangsa Rohingya bertahun-tahun lamanya. Setiap nafas mereka hela dibawah selubung kengerian datangnya bala tentara atau gerombolan kaum lain untuk merenggut paksa hidup mereka atau membumihanguskan dusun mereka. Maka serangan itu datang, bergelombang-gelombang. Dalam ketakutan dan ketakberdayaan, terbirit-birit mereka melarikan diri. Membawa serta anggota keluarga yang masih bernyawa and kain yang melekat dibadan saja. Meninggalkan sanak saudara yang meregang nyawa, yang tak sempat dikub

Dara cantik pembawa baki

Image
Saat itu TV hitam putih 14 inchi merek National adalah pusat hiburan keluarga kami, bahkan para tetangga. Dan TVRI, yang mengudara dari pukul empat tiga puluh petang hingga menjelang tengah malam, adalah satu-satunya stasiun TV. Ada dua tayangan yang wajib ditonton, keduanya siaran langsung. Yang pertama, siaran langsung pertarungan tinju kelas berat Mike Tyson. Yang kedua, siaran langsung peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tepat pukul 10 pagi tanggal 17 Agustus setiap tahun dari Istana Merdeka, diikuti pengibaran bendera pusaka. Anda yang seangkatan dengan saya atau lebih senior tentu masih ingat kualitas penyiar TVRI dan RRI masa itu. Penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar dikombinasikan dengan suara enak didengar dan intonasi terkendali. Perpaduan yang menghanyutkan, seolah menghisap pemirsa dan membawanya ketempat mereka melaporkan. Maka saat mereka menggambarkan suasana Istana, aku yang belum pernah sekalipun ke Jakarta rasanya seda

Cita-citaku menjadi Polisi

Ketika kanak-kanak dulu, menjadi polisi adalah cita-citaku.  Pak polisi tampak gagah dan berwibawa sekali dibalik seragam coklat muda mereka. SD tempat aku bersekolah berada disebelah kantor polsek.  Aku senang melihat para polisi itu apel pagi dengan seragam mereka. Kekagumanku pada polisi turut dibentuk oleh film-film serial barat yang ditayangkan TVRI dimasa itu, seperti Chips, TJ Hooker atau Hunter, yang hadir dilayar kaca hitam putih kami sekali sepekan.  Mereka adalah para polisi pahlawan pembela kebenaran dan pasti menang diakhir film.  Entah karena mereka memang jagoan atau para penjahat yang berganti setiap minggu itu pandir semuanya. Pokoknya, kagak ade matinya. Persepsi terhadap polisi berevolusi seiring perjalanan usia.  Ketika beranjak remaja, mulai aku mendengar kabar tentang Polisi yang tak selalu membanggakan.  Tentang tetangga yang yang cenderung tidak melaporkan ketika rumah, motor, hewan ternak atau ladang kayu manis mereka kemalingan.  Ada perumpamaan yang masyur