Cita-citaku menjadi Polisi
Ketika kanak-kanak dulu, menjadi polisi adalah cita-citaku. Pak polisi tampak gagah dan berwibawa sekali dibalik seragam coklat muda mereka.
SD tempat aku bersekolah berada disebelah kantor polsek. Aku senang melihat para polisi itu apel pagi dengan seragam mereka.
Kekagumanku pada polisi turut dibentuk oleh film-film serial barat yang ditayangkan TVRI dimasa itu, seperti Chips, TJ Hooker atau Hunter, yang hadir dilayar kaca hitam putih kami sekali sepekan. Mereka adalah para polisi pahlawan pembela kebenaran dan pasti menang diakhir film. Entah karena mereka memang jagoan atau para penjahat yang berganti setiap minggu itu pandir semuanya. Pokoknya, kagak ade matinya.
Persepsi terhadap polisi berevolusi seiring perjalanan usia. Ketika beranjak remaja, mulai aku mendengar kabar tentang Polisi yang tak selalu membanggakan. Tentang tetangga yang yang cenderung tidak melaporkan ketika rumah, motor, hewan ternak atau ladang kayu manis mereka kemalingan. Ada perumpamaan yang masyur 'bila tak dilaporkan hilang ayam, dilaporkan hilang kambing'. Apalagi bila kasus yang dilaporkan berlanjut hingga pengadilan, lebih dalam lagi kantong harus dikorek.
Tentang tetangga lain yang membayar sogokan berjuta-juta agar putranya diterima menjadi tamtama atau bintara polisi.
Tentang polisi lalu lintas yang mencari-cari kesalahan dijalan raya dan perkara selesai dengan uang damai.
Hingga pengalaman pribadi dipalak lima puluh ribu rupiah oleh polisi patroli bersepeda motor di Jalan Pramuka, Jakarta. Saat itu aku menepi berhenti dijalur lambat karena harus menerima telepon penting, yakin tidak ada rambu larangan berhenti disitu, tapi Pak Polisi bersikeras saya melanggar. Aku mengalah.
Suatu hari aku terlibat tabrakan beruntun tiga mobil di jalan tol Purbaleunyi. Kami berhenti disisi paling kanan dan keluar kendaraan. Salah seorang berkata "ayo kita segera pergi sebelum ketauan polisi!". Kami saling bertukar KTP, keluar tol di exit terdekat dan menyelesaikan semuanya dengan damai.
Aku ingin mengatakan bahwa kita (setidaknya aku) tumbuh dengan persepsi negatif terhadap penegak hukum yang kian hari kian akut mencapai stadium tertinggi berupa ketidakpercayaan terhadap hukum.
Manifestasi ketidakpercayaan terhadap hukum bermacam ragam bentuknya. Mulai yang paling sederhana berupa kebiasaan tidak bisa antri dan senang menyerobot barisan hingga pada pengeroyokan terduga pelaku kejahatan yang tertangkap basah. Dibawah sadar terpatri keyakinan bahwa kepastian dan keteraturan hukum itu tidak wujud, tidak ada yang melindungi hak dan kepentingan selain diri sendiri.
Sakit jiwa akibat ketidakpastian hukum yang bercampur dengan tekanan hidup membawa korban bernama Muhammad Al Zahra. Ayah dan suami muda bersahaja meregang nyawa dengan cara yang menyesakkan. Ia bukan korban pertama dan mungkin bukan yang terakhir.
Sakit jiwa kita harus diobati segera. Tapi akupun tak tahu bagaimana.
Comments