Tiga puluh tahun Allah menunggu...

Malam itu saya meninggalkan kantor tepat saat azan Isya berkumandang.  Udara sejuk selepas hujan.  Tanah masih basah.  Berjalan kaki menuju stasiun LRT Ampang Park dan saya putuskan berhenti di surau Tabung Haji untuk ikut shalat Isya berjamaah.  Pas sekali, iqamah terdengar saat saya membuka pintu surau yang terletak disudut depan bangunan yang berdesain unik itu.  Bergabung saat rakaat pertama telah bermula, saya berdiri dipojok saf paling belakang.

Ini pertama kali saya shalat disini dan belum familiar dengan surau bundar ini.  Selepas shalat saya agak kebingungan mencari pintu keluar.  Beberapa daun pintu yang saya tarik ternyata pintu lemari. 


Seorang laki-laki India mendekati saya dan bertanya, "Abang nak kemana?"
"Dimana pintu keluar?"
"Bukan itu, Bang. Itu lemari baju saya", katanya sambil tersenyum.
"Ini pintunya, Bang", sambil membuka daun pintu kaca.
"Terima kasih. Saya baru sekali ini kesini, belum hapal".  Ia ikut keluar, berjalan dibelakang saya.
"Tak apa, Bang. Saya pun belum lama, baru sembilan hari".  Katanya sambil duduk dibangku panjang didepan pintu surau, berseberangan dengan saya.
Saya agak bingung, "Maksudnya?"
Saya hentikan sejenak kesibukan memasang tali sepatu.
"Maksud saya, saya baru sembilan hari sampai kat KL ni.  Saya tidur kat store room (gudang) bangunan Tabung Haji ni."
Saya berpindah duduk ke sebelahnya, agar kami tak menghalangi jamaah yang keluar atau masuk surau.

"Sebelumnya dimana dan mengapa harus ke KL?" Saya mulai tertarik dengan ceritanya dan iapun nampak seperti ingin berbagi kisah.
"Saya orang Raup, Pahang, Bang. Saya mualaf.  Saya diusir oleh Pak Cik dan Mak Cik saya karena saya tak nak balik ke agama asal."
"Kapan kamu masuk Islam?"
"Baru tujuh bulan lepas, Bang.  Ini IC saya".  Ia mengulurkan Identity Card nya. Tertulis disitu nama Abdul Rahman bin Abdullah, lahir tahun 1979.  Sebagaimana kebiasaan di Malaysia, mualaf yang berganti nama dinisbatkan ke Abdullah.  Meski Abdullah bukan bapaknya.  Kebiasaan yang tak sepenuhnya saya setujui.

"Nama asli kamu siapa?"
"Raja ....samy". Titik-titik itu tak mampu saya ingat karena cukup panjang, meski Abdul Rahman menyebutnya tiga kali.

Sejak berikrar masuk Islam, ia terus dibully oleh Pak Cik, Mak Cik dan anak-anak mereka yang sepuluh orang itu. 
"Saya yakin mereka tak bencikan saya,  Bang.  Mereka hanya nak saya balik keagama semula."  Mata Abdul Rahman berkaca-kaca.
Belakangan, sepupu-sepupu lelakinya mulai menggunakan kekerasan.  Ia pun memutuskan meninggalkan rumah dan keluarga yang telah membesarkannya itu.  Abdul Rahman telah yatim piatu semenjak belia, ia diasuh oleh Pak Cik dan Mak Ciknya dan diperlakukan sama dengan anak-anak mereka sendiri.

Dalam kebingungan ia naik bis menuju Kuala Lumpur.  Setiba di TBS (Terminal Bersepadu Selatan) KL, tak tahu kemana harus menuju.  Ia putuskan saja naik LRT ke KLCC.  Setelah puas melihat-lihat menara kembar Petronas, menjelang senja, ia berjalan tak berarah hingga berhenti di depan Menara Tabung Haji di jalan Tun Razak.  Ia memasuki Surau Tabung Haji.  Ia beristirahat disitu, shalat Maghrib dan Isya.  Malam itu ia diizinkan oleh Imam untuk tidur di surau meski sesungguhnya ada peraturan yang tidak membolehkan orang tidur di dalam surau.

Esok paginya, Imam yang sama mendatangi Abdul Rahman.  Iapun menceritakan kisahnya kepada Sang Imam.  Imam itu kemudian meminjam IC Abdul Rahman dan meninggalkannya.  

Sore hari Imam itu kembali menemui Abdul Rahman.
"Abdul Rahman, saya sudah cek, cerita kamu tadi benar." Rupanya, berbekal IC, Imam tadi dapat menelusuri asal usul Abdul Rahman, nama Indianya, dimana ia bersyahadat, siapa saksinya dan nomor berapa sertifikat tanda masuk Islamnya dan sebagainya.
"Saya pun sudah jumpa Pengurus Bangunan Tabung Haji.  Mulai esok kamu kerja disini sebagai staf housekeeping.  Esok pagi kamu akan dibagi uniform cleaning services.  Tapi jangan tidur kat surau, kamu boleh pakai store room."  Imam itu juga memberikannya beberapa lembar pakaian.  Abdul Rahman tak mampu berkata-kata.

Maka, mulai malam itu, Abdul Rahman tidur di gudang Gedung Tabung Haji, bersama puluhan gulungan karpet.  Karpet-karpet itu dihamparkan sepekan sekali menutupi lobby dan halaman Gedung Tabung Haji, untuk menampung jamaah shalat Jumat.

Sepanjang hari ia bergabung dengan tim kebersihan gedung.  Ia secara sukarela mengajukan diri untuk bertanggung jawab  atas kebersihan surau. Waktu istirahat dan malam hari ia gunakan untuk belajar mengaji kepada para Imam dan muadzin surau Tabung Haji.  Hatinya begitu tertambat pada surau.


Senandung Azan
Saya sepatutnya buru-buru pulang malam itu, karena pagi-pagi selepas Subuh harus berangkat menuju Bandara.  Namun kisah Abdul Rahman terlalu menarik untuk diputus.

"Abdul Rahman, ceritakan pada saya bagaimana kamu tertarik pada Islam," pinta saya.
"Selepas Ibu Bapa saya meninggal, saya sebatang kara.  Saya lalu tinggal bersama Pak Cik - Mak Cik yang rumahnya di belakang Masjid besar.  Saya senang sekali mendengar suara azan.  Saya pasti terbangun saat azan Subuh.  Setiap mendengar azan, selalu saya tinggalkan apapun yang sedang saya kerjakan.  Walaupun saya tak faham maknanya, bagi saya azan itu macam senandung yang indah.  Saya tak nak lewatkan begitu sahaja."  Ia mulai berkisah.

"Ketika beranjak remaja, saya mulai senang mendengar ceramah agama dari Masjid, antara shalat Maghrib dan Isya.  Biasanya saya duduk di pondok bambu di sudut belakang Masjid.  Saya mulai faham konsep agama Islam sedikit demi sedikit."

"Setelah dewasa, saya bekerja bawa lorry Pak Cik saya.  Beliau usahawan cukup sukses, punya banyak lorry (truk).  Saya mulai giat mencari tahu tentang agama-agama, tidak hanya Islam.  Saya mula membanding-bandingkan.  Semua saya lakukan sendiri dengan membaca buku atau browsing internet.  Memang, kerana sibuk bekerja, kegiatan itu kadang ditinggalkan atau saya buat tak begitu kerap.  Tapi saya tak pernah lupa mendengar azan setiap hari."

"Setelah pencarian puluhan tahun itu, barulah sekitar tujuh bulan lepas saya benar-benar yakin bahwa saya nak jadi Muslim.  Saya terus cakap Tuan Haji kat Masjid. Dia kata esok pagi, tunggu saksi dan pencatat dari Jabatan Agama.  Rupanya malam tu juga Pegawai Jabatan Agama datang.  Saya mengucap syahadat selepas Isya.  Tuan Haji terkejut saya laju ucap syahadat, tak payah diulang. Lepas tu saya dah hafal Al Fatihah.  Saya cakap, tentulah hafal, saya dah dengar berpuluh-puluh tahun."

"Apa yang membuat kamu yakin bahwa Islam adalah agama yang benar?", selidik saya.
"Konsep Ketuhanan Islam yang bagi saya paling masuk akal.  Kalau Tuhan adalah pencipta dan penguasa segala sesuatu, maka Ia mestilah satu saja, tak boleh ramai.  Ia mestilah tak boleh dilihat atau ditangkap oleh indera manusia.  Mestinya ia tak mampu digambarkan bentuk atau rupanya oleh manusia, melalui lukisan atau statue.  Tapi saya yakin Dia ada dan mendengar do'a-do'a saya." 

Abdul Rahman sangat mensyukuri dan menikmati hidup barunya.  Dua hari lalu ia menolak tawaran seseorang untuk bekerja sebagai supir lorry di Johor Baru dengan gaji RM 1,800.  Jumlah yang sangat menggiurkan baginya.  

"Duduk kat sini dah paling best, Bang.  Gaji memang kecik, tapi cukup lah.  Saya boleh lama-lama kat surau. Lepas tu ada ramai Ustadz yang boleh ajar saya agama setiap hari."

"Saya dah berazzam dalam hati, Bang.  Saya kena istiqamah dan tak boleh menyerah dengan cabar-cabaran selepas bersyahadat.  Tuan Haji kata hidayah lebih berharga dari pada alam semesta dan Allah beri hanya pada insan terpilih.  Allah telah memilih saya.  Tiga puluh tahun Allah menunggu, semenjak saya mula tertarik dengar suara azan hingga akhirnya bersyahadat.  Sekali memilih, Allah tak pernah lepaskan, paling tidak melalui ikatan saya dengan seruan azan. Tak kan lah saya pula lepaskan begitu sahaja hidayah dari-Nya."

Meski sederhana, kisah mualaf menjemput hidayah selalu mengharukan, terutama pencariannya akan kebenaran.  Begitu bertemu, kukuhnya Iman mereka membuat cemburu orang terlahir Islam seperti saya. (KL20190102)

Comments

Popular posts from this blog

Lampu togok dan lampu strongkeng

Kopi cap "Rangkiang", kue sangko & saudagar tembakau

TV Pertama Kami (bagian 3)