Misteri Angka 2 dan Tali Sepatu (bagian 2)
Seminggu berlalu, dua misteri tetap tak terpecahkan.
Setiap hari aku bergulat dengan tali sepatu dan angka dua. Keduanya benar-benar menjajahku. Segenap jiwa, raga, rasa dan masa direnggutnya. Setiap pagi, aku bergelut dengan tali sepatu, sampai Abak atau Ibu datang membantu, agar aku bisa berangkat sekolah. Di sekolah aku harus selalu dalam kewaspadaan tingkat tinggi agar tak seorang pun sengaja atau tidak menginjak tali sepatuku. Kalau itu terjadi, matilah aku, tidak ada Abak atau Ibu yang akan membantu mengikatnya kembali. Lebih parah lagi, dunia akan tahu bahwa aku tidak bisa mengikat tali sepatu. Betapa memalukan itu!
Angka dua menyiksaku hampir sepanjang waktu, kecuali ketika aku tidur atau sedang sibuk dengan tali sepatu. Entah berapa lembar kertas telah menghitam dan berlubang, tapi kepala angsa itu tetap menghadap ke kanan. Pak Hasyim pun terlihat sudah mulai putus asa. Barangkali ini adalah kasus paling aneh sepanjang dua puluh tahun lebih karirnya sebagai guru sekolah desa yang penuh pengabdian.
Hanya Abak dan Ibu yang tetap tenang. "Suatu saat kamu pasti bisa", begitu kata mereka.
Hari yang dinantikan itu pun tiba. Suatu pagi di pekan kedua aku masuk sekolah. Setelah beberapa kali mengulang, jari jemariku tiba-tiba berhasil mengikat tali sepatu dengan sempurna. Bukan simpul mati. Aku terkejut sejenak. Untuk meyakinkan diri, aku coba lagi untuk kaki yang lain, dan berhasil lagi. Aku segera berlari kearah Abak yang sedang duduk, sambil minum kopi dan memperlihatkan kedua sepatuku yang telah tersimpul rapi. "Abak kan sudah bilang, wa'ang pasti bisa", itu saja komentarnya.
Aku lalu meneruskan sarapan pagiku sambil menjepit pensil, terus mencoba peruntungan dengan angka dua. Ajaib! Lagi-lagi, secara tiba-tiba, aku berhasil menuliskan angka dua dengan benar, kepala angsanya kini menghadap ke kiri. Aku tertegun lagi. Aku ulangi beberapa kali, sempurna, kepala angsa itu tidak sekalipun berpaling ke kanan.
Aku berlari lagi dengan buku tulis dan pensil ditangan. Tujuanku adalah sebuah mata air di tepi jalan, berjarak sekitar lima puluh meter dari rumah. Disana Ibu sedang mencuci pakaian.
"Ibu, aku sudah bisa menulis angka dua. Mengikat tali sepatu juga', teriakku dari sisi tebing.
Ibu terkejut, tapi segera menguasai diri begitu melihatku. "Haa, iyo santiang. Kan tu ha, wa'ang pasti bisa". (Ha, pintar. Betul kan? kamu pasti bisa). Kepalaku membesar tiba-tiba, hatiku membuncah dan aku merasa terbang.
Tak pelak lagi, pagi itu adalah pagi tercerah dalam hidupku. Secerah-cerahnya. Dua misteri terbesar pecah dalam satu pagi.(Kuala Lumpur, 29.11.2012)
Setiap hari aku bergulat dengan tali sepatu dan angka dua. Keduanya benar-benar menjajahku. Segenap jiwa, raga, rasa dan masa direnggutnya. Setiap pagi, aku bergelut dengan tali sepatu, sampai Abak atau Ibu datang membantu, agar aku bisa berangkat sekolah. Di sekolah aku harus selalu dalam kewaspadaan tingkat tinggi agar tak seorang pun sengaja atau tidak menginjak tali sepatuku. Kalau itu terjadi, matilah aku, tidak ada Abak atau Ibu yang akan membantu mengikatnya kembali. Lebih parah lagi, dunia akan tahu bahwa aku tidak bisa mengikat tali sepatu. Betapa memalukan itu!
Angka dua menyiksaku hampir sepanjang waktu, kecuali ketika aku tidur atau sedang sibuk dengan tali sepatu. Entah berapa lembar kertas telah menghitam dan berlubang, tapi kepala angsa itu tetap menghadap ke kanan. Pak Hasyim pun terlihat sudah mulai putus asa. Barangkali ini adalah kasus paling aneh sepanjang dua puluh tahun lebih karirnya sebagai guru sekolah desa yang penuh pengabdian.
Hanya Abak dan Ibu yang tetap tenang. "Suatu saat kamu pasti bisa", begitu kata mereka.
Hari yang dinantikan itu pun tiba. Suatu pagi di pekan kedua aku masuk sekolah. Setelah beberapa kali mengulang, jari jemariku tiba-tiba berhasil mengikat tali sepatu dengan sempurna. Bukan simpul mati. Aku terkejut sejenak. Untuk meyakinkan diri, aku coba lagi untuk kaki yang lain, dan berhasil lagi. Aku segera berlari kearah Abak yang sedang duduk, sambil minum kopi dan memperlihatkan kedua sepatuku yang telah tersimpul rapi. "Abak kan sudah bilang, wa'ang pasti bisa", itu saja komentarnya.
Aku lalu meneruskan sarapan pagiku sambil menjepit pensil, terus mencoba peruntungan dengan angka dua. Ajaib! Lagi-lagi, secara tiba-tiba, aku berhasil menuliskan angka dua dengan benar, kepala angsanya kini menghadap ke kiri. Aku tertegun lagi. Aku ulangi beberapa kali, sempurna, kepala angsa itu tidak sekalipun berpaling ke kanan.
Aku berlari lagi dengan buku tulis dan pensil ditangan. Tujuanku adalah sebuah mata air di tepi jalan, berjarak sekitar lima puluh meter dari rumah. Disana Ibu sedang mencuci pakaian.
"Ibu, aku sudah bisa menulis angka dua. Mengikat tali sepatu juga', teriakku dari sisi tebing.
Ibu terkejut, tapi segera menguasai diri begitu melihatku. "Haa, iyo santiang. Kan tu ha, wa'ang pasti bisa". (Ha, pintar. Betul kan? kamu pasti bisa). Kepalaku membesar tiba-tiba, hatiku membuncah dan aku merasa terbang.
Tak pelak lagi, pagi itu adalah pagi tercerah dalam hidupku. Secerah-cerahnya. Dua misteri terbesar pecah dalam satu pagi.(Kuala Lumpur, 29.11.2012)
Comments