TV Pertama Kami (bagian 1)
Sore tadi, ketika memilih-milih laga English Premier League yang mau ditonton malam harinya, tiba-tiba ingatanku meluncur ke momen ketika keluarga sederhana kami memiliki TV untuk pertama kalinya, antara tahun 1981-1982.
TV pertama kami adalah TV hitam putih berdiagonal 14 inchi, mereknya National. Panjang, lebar dan tingginya hampir sama, nyaris seperti kubus. Disisi mukanya ada layar 14 inchi yang cembung dan panel kontrol yang terdiri dari tombol on/off, pengatur volume suara, pengatur kontras, pengatur intensitas terang dan pencari saluran (channel). Tidak ada remote control, tentu saja. Sisi kiri, atas dan bawah terbuat dari papan plywood (triplex) bermotif coklat. Sisi belakang ditutup dengan lembaran seperti asbes, berwarna coklat. Di bagian tengah sisi belakang itu, ada bagian menonjol seperti kubus berwarna hitam, sejajar dengan ujung tabung layar kacanya. Kurang lebih penampakannya seperti gambar dibawah ini.
Kedatangan TV ini adalah sebuah kejutan. Kami tidak pernah mendiskusikan atau merencanakan untuk membeli TV. Waktu itu, Ibu yang guru bahasa Inggris di SMP kampung kami terpilih mengikuti Penataran selama satu minggu di Jambi, ibukota propinsi kami, yang jaraknya sekitar 420km dari kampung kami. Di kota itu tinggal tiga orang adik Ibu. Ide membeli TV datang dari salah seorang paman. Uang Ibu sebenarnya tidak cukup, sang pamanlah yang menambahkan. Kalau tidak salah harganya seratus dua puluh ribu rupiah, jumlah yang besar bagi kami waktu itu.
Hari menjelang sore ketika Ibu tiba kembali dirumah dengan membawa kejutan itu. Benda itu langsung kami keluarkan dari kotaknya dan diletakkan diatas meja kecil di pojok ruangan. Ibu juga membeli baterai aki untuk sebagai sumber energi TV kami. Sesungguhnya waktu itu rumah pelupuh bambu kami sudah dialiri listrik dari pembangkit desa milik PLN. Persoalannya, listrik hanya menyala malam hari mulai dari sekitar waktu azan maghrib hingga selepas azan subuh. Itu pun waktu menyala dan matinya tidak konsisten, terserah mood petugasnya. Padahal siaran TVRI telah dimulai 4.30 petang dan Ibu tahu acara untuk anak-anak justru tayang sebelum gelap.
Kami menunggu jarum jam menunjuk 4.30 petang dengan debaran yang tak biasa. Waktu berjalan terasa begitu lamban. Ketika tiba waktunya, TV dinyalakan Ibu yang sudah mengatahui caranya ketika uji coba di Jambi. Tapi sayang, tidak ada gambar yang terlihat dan tidak ada suara yang terdengar selain gambar seperti semut hitam berkerumun dan suara mendesau datar. Rupanya antenna kecil yang menempel dibagian belakang TV tidak cukup kuat menangkap sinyal TVRI dari kampung kami dipelosok pulau Sumatera, dikurung jajaran Bukit Barisan.
Kami perlu peralatan tambahan berupa antenna TV luar. Seminggu kemudian, Ibu and Abak berangkat ke Sungai Penuh, ibu kota kabupaten kami, dengan misi utama membeli antenna TV. Antenna TV jaman dulu terdiri dari batang-batang aluminium yang disusun seperti tulang ikan. Bagi yang lupa bentuknya atau terlalu muda untuk mengenal teknologi ini, ini dia contohnya.
Untuk mendapatkan gambar dan suara terbaik, antenna ini harus ditempatkan dilokasi yang tepat dengan ketinggian tepat pula. Justru inilah tantangannya, sungguh tidak mudah untuk mendapatkan the best spot itu. Setelah dua jam mencoba dengan bantuan para tetangga, titik itupun ditemukan. Pipa besi yang digunakan sebagai tiang antenna pun dipancangkan dititik keramat itu. Pada batang besi itu juga ditempel tangkai dari besi, diketinggian setikar sate meter dari tanah. Gunanya adalah untuk memutar-mutar arah antena apabila terjadi gangguan pada gambar atau suara. Dan rupanya, hal itu memang sering kali terjadi. Sejak saat itu, rumah kami berubah dengan hadirnya acara-acara TVRI, satu-satunya stasiun TV masa itu. Kami jadi lebih sering menerima kunjungan tetangga. Ia jelas merubah hidup kami. (bersambung)
Comments