TV Pertama Kami (bagian 4)
Beginilah kira-kira Bung Sambas, dengan intonasi yang khas, membius pemirsanya, "Saudara-saudara sebangsa setanah air...dimanapun anda saat ini berada..marilah kita bersama-sama berdo'a sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing..semoga Yang Maha Kuasa memberikan kekuatan agar pemain bulu tangkis kebanggaan kita Icuk Sugiarto dapat mengalahkan Yang Yang, lawan yang begitu tangguh dari Republik Rakyat China...tentu merupakan dambaan kita semua Piala Thomas kembali kepangkuan Ibu Pertiwi..."
TV pulalah yang membuatku gila (nonton) olah raga. Selain bulu tangkis, TVRI di tahun 80-an cukup rajin menyiarkan siaran langsung sepak bola (meski tidak setiap akhir pekan dengan liga-liga Eropa, seperti TV-TV jaman sekarang) dan tinju. Piala Dunia 1986 di Mexico adalah awal mula aku mengikuti perkembangan sepakbola. Berkat TVRI, kami menjadi saksi gol tangan Tuhan Diego Maradona ke gawang Inggris yang dijaga Peter Shilton. Kami menjadi saksi pula serunya babak final antara Argentina dan Jerman Barat yang berkesudahan 3-2 untuk Argentina.
TVRI juga akan menayangkan secara langsung bila Tim Nasional Indonesia bertanding. Diantara bintang sepakbola nasional yang aku masih ingat adalah sang kiper Hermansyah, Adjat Sudradjat, Adolf Kabo, Yonas Sawor, Rully Nere, Nasrul Koto, Herry Kiswanto, Robby Darwis, Bambang Nurdiansyah, Zulkarnaen Lubis, Ricky Yakob, Marzuki Nyak Mat...siapa lagi ya...
Tahun 1988, aku makin serius dengan siaran langsung Piala Eropa di Jerman Barat. Sebagian pertandingan penyisihan group dan semua pertandingan selanjutnya dari perempat final sampai final disiarkan langsung oleh TVRI. Aku menjadi saksi keperkasaan tim oranye Belanda dengan trio jagoannya, Ruud Gullit, Frank Rijkard dan Marco Van Basten. Londo waktu itu jago sekali, diperempat final mereka menundukkan Inggris 3-1 dan Van Basten bikin hattrick. Tuan rumah Jerman Barat adalah korban mereka di semi final dengan 2-1. Dan akhirnya dibabak final Uni Sovyet diganyang dengan skor 2-0, salah satunya dengan tendangan voli cantik oleh Van Basten dari sudut yang sempit menundukkan Rinat Dasayev, yang disebut-sebut kiper terbaik dunia pada masa itu. Itulah gol terindah sepanjang sejarah Piala Eropa.
Sejak itu Trio Londo Gullit, Van Basten dan Rijkard jadi idolaku hingga mereka sama-sama merumput bersama AC Milan dan memaksaku rajin mengikuti liga Serie-A Italia. Mereka pula yang membuatku rajin membeli Tabloid olahraga 'Bola' setiap hari Sabtu di Toko Buku Sumber di Pasar Beringin, Sungai Penuh. Sebenarnya tabloid ini terbit hari Jumat, tapi baru sampai Kerinci hari Sabtu. Kalau tidak salah harganya waktu itu 350 rupiah. Tiap pekan, hampir selalu ada foto dan berita tentang mereka.
Sementara itu, bicara olah raga tinju professional dekade 80-an tidak bisa lepas dari Ellyas Pical dan si leher beton Mike Tyson. Ellyas Pical menjadi juara dunia kelas Bantam yunior versi IBF tahun 1985 setelah mengalahkan Ju-do Chun dari Korea Selatan dengan TKO. Pertarungan-pertarungan Pical selanjutnya dengan Wayne Muholland, Cesar Polanco (2 kali), Lee Dong-Chun hingga kekalahan TKO dironde 14 dari jagoan Thailand Khaosai Galaxy, semua juga disiarkan langsung oleh TVRI. Pical waktu itu adalah pahlawan Indonesia, sakit dan sedih rasanya melihat sang jagoan terhuyung-huyung dan jatuh babak belur dihajar Galaxy. Ingin rasanya masuk kedalam TV itu, meloncat keatas ring dan menghajar muka songong orang Thailand itu.
Sedangkan Mike Tyson jelas fenomenal. Pertarungannya biasa digelar malam hari di Las Vegas, itu artinya pagi hari waktu Indonesia. Siaran langsung Mike Tyson mampu meliburkan kantor-kantor (pemerintah) dan menghentikan pelajaran disekolah-sekolah. Ia mampu memaksa Abak menunda jadwal berangkat ke ladangnya. Rumah sederhana kami berada di komplek SMP dimana Ibu mengajar. Disekitarnya adalah perkantoran pemerintahan kecamatan, mulai dari Kantor Camat, Puskesmas, Polsek, Koramil dan Kantor Dinas Perkebunan. Ada juga sebuah Sekolah Dasar, tempat aku belajar sampai kelas 5, yang terletak diantara Puskesmas dan Kantor Polsek. Setiap kali Tyson bertarung, kawasan itu langsung sepi seperti kota mati. Semua orang berada didepan TV yang jumlahnya belum banyak, mungkin dirumah dinas Pak Camat, rumah dinas Kapolsek atau rumah dinas Danramil. Dirumah kami yang sempit, guru-guru SMP yang meninggalkan kelasnya berdesak-desakan dan murid-murid yang nekad mengintip dari celah jendela.
Mike Tyson begitu tangguh dan buas. Sebagian besar lawannya dirobohkan di ronde-ronde awal. Penantang yang keok di ronde pertama bukanlah hal yang luar biasa. Pertarungan kilat itu justru menjadi masalah bagi kami. Kampung kami berada di pedalaman Bukit Barisan Sumatera, di ketinggian, dikurung ngarai, jurang dan perbukitan. Stasiun relay TVRI terletak di Rawang, sekitar 40km jauhnya, terhalang oleh gugusan bukit-bukit itu. Jadi, meski antenna TV tinggi menjulang, sinyal TVRI tidak selalu kuat, gambar dan suara tidak selalu jernih. Bila gangguan terjadi, kami harus memutar-mutar tiang antenna TV untuk merubah arah antenna.
Bayangkan, ketika Tyson and lawannya sedang diperkenalkan oleh master of ceremony, tiba-tiba gambar menghilang dan suara hanya berdesau. Salah satu penonton segera berlari menuju tiang antenna TV, sigap meraih pegangan besi yang menancap di pipa tiang. Si pemutar berteriak, "udah belum?". Disambut jawaban dari dalam bersahutan riuh tak sabar, "..belum...yaa....dikit lagi...yaah hilang lagi.....Oop...oop...yaa..yaa...tahan-tahan....gitu aja..oop...yahh...aduh...jangan digeser lagi ooi...onde mande...." Gangguan ini bisa saja tidak sebentar, begitu gambar dan suara kembali, sang penantang sudah terlentang dan si leher beton mengangkat kedua tangannya ke udara. (bersambung)
Comments