Kerbau Mak si Koyo dan Harimau Sumatera

Rumah kami terletak di kaki bukit, bukit Sitangis namanya.  Sebagaimana kebanyakan tempat, ada legenda dibalik nama itu, tapi saya tidak ingat lagi detailnya.  Konon, dulu kala, ada seorang puteri yang meluapkan kesedihannya dan menangis di bukit itu.  Mengapa ia menangis, saya tak ingat lagi ceritanya.  Sejak itu bukit itu dinamakan Bukit Sitangis.

Bukit itu tidaklah terlalu besar dan tinggi.  Separuh hingga pinggangnya telah menjadi ladang berbagai tanaman.  Ada yang bilang setengah bagian diatasnya hingga puncak belum terjamah oleh manusia, alias masih perawan.  Pendapat yang saya ragukan kesahihannya.  Memang hutan di setengah bagian atas itu terlihat lebat, tapi, itu tadi...bukit itu tidaklah tinggi sekali dan berada dekat dengan pemukiman penduduk yang ramai.  Masak sih...tidak satu pun manusia pernah menginjak puncaknya...paling tidak puteri yang menangis tadi dan para punggawa atau inang-inangnya.  Ah sudah lah...kita lupakan dulu status keperawanan setengah bukit itu, kita kita mau bercerita tentang hal lain.

Kawasan di kaki bukit itu ramai dihari kerja, tapi lengang diakhir pekan.  Itu karena disitu ada dua sekolah negeri, satu SMP dan satu SD.  Ada pula deretan kantor pemerintahan kecamatan, mulai dari Kantor Camat, Dinas Pendidikan, Puskesmas, Polsek, Koramil dan Dinas Perkebunan.  Agak berjarak dari kantor-kantor itu ada Kantor Urusan Agama (KUA) dan Kantor PLN, sekaligus tempat pembangkit tenaga diesel berada, yang mengaliri desa-desa sekitarnya dengan aliran listrik yang hingga kini masih selalu hidup mati tak tentu.

Tepat diseberang SMP, ada lapangan sepakbola, lengkap dengan tribun disalah satu sisinya.  Lapangan itu akan sangat ramai dan riuh bila musim turnamen sepakbola antar desa dan antar RT tiba.  Paling tidak sekali dalam setahun, ada turnamen sebagai bagian dari Kenduri Sko, pesta rakyat selepas panen.  Selebihnya lapangan itu dipakai berolah raga atau latihan pramuka oleh murid-murid SMP dan SD didekatnya.  Sekali-sekali ada sekelompok anak muda yang menghabiskan senja mereka dengan bermain bola.  Kadang lapangan itu dipakai pula untuk upacara tingkat kecamatan, peringatan Kemerdekaan 17 Agustus misalnya.

Yang paling sering memanfaatkan lapangan itu sesungguhnya adalah gerombolan kerbau.  Hampir tiap hari mereka disitu, memakan rumputnya, atau duduk malas sambil memamah rumput yang sebelumnya telah mereka telan.  Mereka hanya perlu menjauh bila ada turnamen sepak bola.  Kalau hanya untuk latihan sepakbola anak-anak muda, kerbau-kerbau itu cukup menepi saja.

Bila tidak menghabiskan hari di lapangan itu, kerbau-kerbau itu berkubang (merendam diri didalam lumpur), dipersawahan atau paya (rawa) tak jauh dari lapangan.

Adalah Mak si Koyo yang punya kerbau-kerbau itu.  Tak tahu aku nama sebenarnya, tetapi mengikut kebiasaan penduduk dikampung itu, anak tertuanya pastilah bernama Koyo, sehingga ia dipanggil Mak si Koyo (ibunya di Koyo).  Wanita tua berperawakan kecil itu pula yang menggembala mereka, setiap hari.  Kandang kerbau-kerbau itu berada dibelakang rumah kami, diantara kebun-kebun tanaman muda, di kaki Bukit Sitangis.  

Kandang itu sederhana saja, hanya berupa sebidang tanah berukuran sekitar 20 meter x 20 meter yang dipagari setinggi dada orang dewasa di keempat sisinya.  Pagarnya tidaklah begitu rapat, bilah bambu melintang bertingkat empat yang dipaku pada tiang-tiang kayu.  Mak Sikoyo tak perlu mengeluarkan banyak uang untuk membuat kandang itu, cuma beberapa ribu rupiah untuk membeli paku dan upah tukang pembuat kandang.  Sementara bambu tersedia melimpah dan siapapun boleh menebangnya.  Adapun kayu, ia tinggal meminta kepada petani yang baru saja menebang pohon kayu manis mereka.  Disalah satu pojok kandang itu ada pintu untuk keluar masuk kerbau.  Dimalam hari ketika semua kerbaunya telah masuk kandang, pintu itu ditutup dan diikat dengan tali.  Dan Mak si Koyo pun pulang kerumah di Dusun.

Demikianlah Mak si Koyo, perempuan tangguh yang setiap pagi ia membuka pintu kandang, lalu menggiring kerbau-kerbaunya, lewat didepan rumah kami, menyeberang jalan raya menuju lapangan sepak bola atau tempat lain dimana kerbau-kerbaunya bisa makan dan berkubang.  Aku lupa berapa ekor tepatnya jumlah kerbau Mak si Koyo, tetapi cukup banyak untuk ukuran setempat, mungkin antara tujuh hingga sepuluh ekor.  Tanah itu memberikan segalanya, tidak perlu Mak si Koyo berpayah-payah menanam dan menyabit rumput.  Senja menjelang Maghrib kami akan melihatnya lagi melintas, berjalan dibelakang kerbau-kerbaunya menuju kandang.  Ditangannya sebatang ranting kering untuk melecut kerbau yang malas berjalan atau menjauh dari rombongan.

Suatu pagi kampung kami gempar, oleh sebuah berita.  Seekor kerbau Mak si Koyo hilang dari kandang.  Diduga kuat hewan malang itu diterkam harimau.  Ada jejak kaki harimau disekitar kandang.  Belakangan memang banyak terdengar peladang yang melihat jejak harimau.  Sepertinya memang ada  harimau yang meninggalkan rimba dan mencari makan disekitar kampung.  Ini jelas menakutkan bagi kami, rasa lapar bisa membuat harimau itu tidak hanya memangsa hewan ternak.  Bukan tak mungkin ia menerkam manusia, apalagi banyak peladang yang tidur diladangnya, di dalam sudung, sebutan pondok bambu seadanya ditengah ladang.  Banyak pula yang pulang kerumah lewat senja, dikeremangan menjelang gelap.

Dimasa itu, harimau adalah momok yang menakutkan bagi warga kampung.  Dalam percakapan sehari-hari, penduduk berusaha untuk tidak menyebut kata 'harimau' dan menggantinya dengan 'nenek' atau 'Inyiak'.  Ada nuansa kegentaran dan hormat didalam sebutan itu.

Tapi bila terornya sudah meresahkan seperti ini, maka 'nenek' inipun harus dilawan dan ditaklukkan agar kehidupan kampung kembali tenteram.  Ini adalah ancaman keamanan terhadap kampung secara keseluruhan, maka penduduk kampung dipimpin oleh kepala dusun dan para tetua duduk berunding, merencanakan tindakan untuk menaklukkan si 'nenek'.  Seperti ancaman-ancaman serupa dimasa lalu, solusinya adalah memasang jerat dikawasan dimana jejak kaki ditemukan.  

Setiap kampung punya ahli membuat jerat.  Seekor kambing didalam kandang bambu kecil akan menjadi umpan.  Jerat ini akan bekerja sedemikian sehingga harimau yang mendekati kambing akan terjerat kakinya dan ia akan tergantung dengan kaki diatas.  Itu yang aku dengar, sayang aku belum pernah memiliki kesempatan melihat jerat harimau dengan mata kepala sendiri.

Jerat pun dipasang tidak jauh dari kandang kerbau Mak si Koyo.  Namun untuk beberapa hari kampung tetap mencekam.  Sang 'Nenek' belum juga terjerat, sementara masih terdengar laporan peladang yang melihat jejak baru.

Sampai pada suatu pagi, kami sedang belajar dikelas, tiba-tiba ada orang berteriak dari belakang SD kami "nenek sudah tertangkap...nenek sudah tertangkap" sambil berlari mengarah ke kandang kerbau Mak si Koyo.  Ini jelas berita penting dan kelaspun bubar, kami semua turut berlari mengikuti orang itu.

Belum sampai di kandang kerbau Mak si Koyo kami lihat kerumunan orang, mengelilingii sebuah mobil kijang pick-up berwarna milik kepolisian.  Didalam box mobil itu seekor kucing besar belang terkapar.  Itulah sang 'nenek' yang tak lagi bernyawa.  Dilehernya terlihat lubang bekas tembakan.  Ini sungguh hari bersejarah bagiku, untuk pertama kalinya aku melihat makhluk yang menakutkan bernama harimau, dengan mata kepala sendiri, meski ia sudah mati.

Seingatku dimasa itu, setiap harimau yang terjerat selalu ditembak mati.  Tak tahu mengapa hewan itu tidak dibiarkan hidup dan dikirim ke kebun binatang misalnya.  Khusus untuk 'nenek' didepan mata ku ini, aku dengar orang-orang dikerumunan berbincang bahwa ia terpaksa ditembak mati oleh polisi karena jerat tidak mengikatnya dengan sempurna, sehingga ia bisa lepas sewaktu-waktu.  Entahlah...

Tiga puluh tahun berlalu, kini tidak pernah terdengar lagi kabar ancaman si "nenek", mungkin sekali karena populasi Harimau Sumatera turun drastis, menuju kepunahan.  Apakah karena setiap kali berjumpa manusia ia selalu ditembak mati? 
                   

              

Comments

Popular posts from this blog

Lampu togok dan lampu strongkeng

Kopi cap "Rangkiang", kue sangko & saudagar tembakau

TV Pertama Kami (bagian 3)