Sekolah Kami
Bendi
Kami tumbuh di Sungai Penuh, kota mungil yang tersuruk jauh di bibir lembah Kerinci, dikurung kerimbunan hutan hujan tropis Taman Nasional Kerinci Seblat, di ketinggian pegunungan Bukit Barisan. Di kota ini semua tempat dapat dicapai dengan berjalan kaki. Sekolah, pasar, terminal, rumah kawan, masjid, rumah sakit, lapangan sepak bola, semuanya. Maka sebagian besar dari kami tumbuh sebagai pejalan kaki yang tangguh.
Suatu hari di bulan Juli 1990, kami menginjakkan kaki untuk pertama kali di SMA Negeri 1 Sungai penuh, sekolah tua di Jalan Arif Rahman Hakim. Hampir semua murid datang dengan berjalan kaki, kecuali beberapa kawan yang memang tinggal di daerah jauh dari kota kecil kami. Mereka naik sepeda motor, atau naik angkutan umum dari kampung mereka menuju terminal dan disambung dengan berjalan kaki atau naik bendi.
Bendi adalah satu-satunya angkutan umum untuk jarak dekat di dalam kota yang tersedia, belum ada ojek waktu itu. Bendi adalah kereta beroda dua, disisi kiri dan kanan, yang ditarik oleh seekor kuda. Keretanya sebagian besar terbuat dari kayu, termasuk rodanya, yang sisi luarnya dilapisi lilitan ban bekas. Janganlah menggerutu soal ketidaknyamanan bila anda menumpang bendi. Goncangan keras ketika roda menerobos jalan berlubang, bau tak sedap kotoran kuda dan pesingnya kencing kuda sudah menjadi paket tak terpisahkan dari pengalaman naik bendi, dan sudah diperhitungkan dalam ongkos yang anda bayar kepada pak kusir. Satu hal yang pasti, tidak seperti mobil, roda bendi tak pernah kempes.
Bagi kami anak laki-laki, hari pertama di SMA adalah hari bersejarah karena hari itu kami mulai bersekolah dengan menggunakan celana panjang, setelah sembilan tahun (bahkan lebih, bagi yang beruntung mengecap Taman Kanak-kanak atau punya pengalaman tidak naik kelas) bersekolah mengenakan celana pendek diatas lutut yang kerempeng kecuali lutut Deded (mudah-mudahan kita sempat menjelaskan siapa dia diepisode yang akan datang.
L dan U Tidak Sama Lengan
Sekolah kami adalah sekolah tua, SMA pertama di Kabupaten Kerinci. Sisi muka sekolah kami menghadap ke timur, menyambut mentari baru setiap pagi. Didepannya melintas Jalan Arif Rahman Hakim. Disisi kanannya ada sekolah lain yaitu SMA 4. Disebelah kiri berbatasan dengan perumahan penduduk Desa Gedang. Di belakang sekolah kami mengalir Sungai Batang Bungkal. Tidak ada rumah atau bangunan diantara tembok belakang sekolah dan bibir sungai, hanya semak belukar menutupi tanah sempit memanjang itu.
Bangunan utama sekolah kami (saya yakin ini juga bangunan yang pertama kali dibangun di komplek sekolah) berbentuk huruf L. Lengan tegaknya menjulur dari sisi tembok paling kanan, yang berbatasan langsung dengan SMA 4, hingga ke gerbang utama di bagian tengah sisi muka. Antara pagar depan dan bangunan tua ini hanya dipisahkan tanah sempit yang ditanami bunga-bunga. Jadi, lapangan utama ada dibagian dalam. Lengan tegak L ini dipertemukan dengan lengan mendatarnya oleh koridor utama yang menghubungkan mulut gerbang utama dengan area bagian dalam komplek sekolah. Lengan mendatar L ini menjulur dari bagian depan kearah dalam area sekolah.
Lengan tegak L terdiri dari enam ruang kelas, mulai dari kelas 1A diujung kanan hingga ruang kelas 2A1 diujung kiri, yang bersebelahan langsung dengan koridor utama. Sementara lengan mendatar L itu terdiri dari kantor tata usaha yang berada paling depan, lalu berturut-turut ke bagian dalam sekolah, ada ruang tamu dan ruang kepala sekolah, koridor lain sebagai akses ke belahan kiri komplek sekolah kami, kemudian ada empat ruang kelas yaitu 2A2, 2A31, 2A32 dan 2A4. Ternyata lengan mendatar L ini tidak terus menjulur lurus kebagian belakang area sekolah, tetapi ia berbelok kekiri. Ruang kelas terakhir, kelas 2A4, seperti memulai lengan tegak baru dan ia sejajar dengan lengan tegak yang berada dibagian depan area sekolah.
Tepat disebelah ruang kelas 2A4, ada rumah Mamok Hajri, yang bertugas menjaga keamanan sekolah dan sebagai pembantu umum. Mamok adalah kata yang sepadan dengan Mamak dalam bahasa Minang, yang artinya Paman dalam bahasa Indonesia. Mamok Hajri mungkin orang yang punya paling banyak kemenakan sejagat. Paling tidak keluarga besar SMA 1 dan SMA PGRI 1, termasuk guru-guru dan alumni, tua muda, berbagai angkatan, memanggilnya Mamok. Dirumahnya, Mamok Hajri dan istrinya berjualan bermacam kue-kue, snack dan lontong sayur yang menyelamatkan kami dari kelaparan selama sesi istirahat.
Disebelah kanan rumah Mamok Hajri ada satu bangunan lagi yang lebih baru yang digunakan sebagai ruang Koperasi Siswa (Kopsis) dan OSIS. Anda masih ingat kepanjangan OSIS? Banyak yang tidak pernah ingat kepanjangannya, bahkan sejak masih menjadi siswa. Baiklah, saya bantu, OSIS adalah singkatan dari Organisasi Siswa Intra Sekolah.
Rumah Mamok Hajri dan bangunan Kopsis/OSIS ini sejajar dengan dengan lengan tegak dari bangunan tua yang berbentuk huruf L. Dengan demikian, bila dilihat secara menyeluruh, bangunan L, rumah Mamok Hajri dan bangunan KOPSIS/OSIS, ketiganya membentuk huruf U yang lengannya tidak sama panjang. Lengan U sebelah kanan lebih pendek, karena rumah Mamok Hajri dan bangunan KOPSIS/OSIS tidak menjulur jauh hingga tembok pembatas dengan SMA 4.
Lapangan ditengah-tengah huruf U inilah yang menjadi pusat berbagai kegiatan di sekolah kami. Disana kami melaksanakan upacara bendera setiap Senin pagi. Disana ada pula lapangan bola basket dan bola voli. Berbagai acara lain yang melibatnya banyak orang juga dilaksanakan dilapangan ini. Pastilah banyak cerita yang tertinggal dilapangan ini.
Jamaknya bangunan tua, bangunan L sekolah kami sungguh kokoh. Temboknya sangat kukuh, tiada retak sama sekali. Beratap seng. Warna putih mendominasi, baik dinding, kusen, pintu dan jendela. Tidak ada jendela kaca. Semua kusen, daun pintu dan daun jendela terbuat dari kayu yang sangat keras bermutu tinggi. Daun jendela dan pintu bergaya klasik dua bilah, berbelah tengah.
Disetiap bilah pintu dan jendela, setengah bagian sebelah atas terdapat kisi-kisi udara yang dibuat dari bilah-bilah kayu yang dipasang miring. Kedua bilah daun setiap jendela mestilah dibuka disepanjang sesi pelajaran, agar ruang kelas tersiram cahaya. Dibagian dalam jendela dipasang pula jeruji besi bermotif bunga, agar terhambat siapapun berniat jahat menyelusup.
Disisi dalam bangunan berbentuk L itu ada teras yang memanjang dari ujung ke ujung, selebar kira-kira 3 meter, ditopang tonggak-tonggak kayu kekar. Teras itu adalah pusat lalu lalang murid dan guru, tempat bercengkerama dimasa istirahat, tempat berdesak-desakan bila hujan turun. Tentu banyak pula cerita yang tertinggal diteras panjang ini.
Bisikan Lembut tapi Cempreng
Beberapa langkah didepan ruang tamu di lengan mendatar bangunan L, berdiri tegak dengan angkuhnya sebuah perangkat yang maha penting disetiap sekolah, paling tidak pada masa itu. Ia terdiri dari dua pipa besi yang berdiri sejajar berdampingan, dibeton kokoh kedalam tanah. Kira-kira pada setinggi tegak orang dewasa, melintang pipa lainnya yang menghubungkan kedua pipa tegak sejajar itu. Pada pipa melintang ini tergantung sebuah besi berbentuk piala terbalik. Setiap hari pada saat-saat tertentu, piala terbalik ini akan mengeluarkan suara nyaring dan sebenarnya tidak enak didengar, akibat hantaman sebatang besi ditangan Mamok Hajri atau guru yang sedang piket.
Suara itu adalah penanda perpindahan sesi atau jam pelajaran. Suara itu disambut oleh para murid dengan berbagai rasa. Rasa pilu dan patah semangat mengikutinya bila suara itu pertanda mulainya sesi pelajaran untuk mata pelajaran yang dibenci. Diwaktu lain, suka cita mengiringinya, bila suara itu memberi aba-aba untuk menikmati istirahat misalnya.
Suara terakhir dari piala terbalik itu disetiap harinya, meski sejatinya cempreng, terdengar seperti bisikan lembut ditelinga para murid, karena itu pertanda waktu pulang telah tiba. Bisikan cempreng itu menghembus pergi semua beban yang menghimpit pundak sedari pagi. Ya...anda benar, piala terbalik itu adalah lonceng sekolah.
Sepuluh langkah didepan lonceng itu, berdiri tegak, dengan kokoh dan angkuhnya pula, sebatang besi lain yang jangkung. Dialah tiang bendera. Diujungnya melambai Sang Merah Putih yang dikibarkan setiap Senin pagi dengan seutas tali yang setia menemani batang besi itu menjalani kesendiriannya.
Belahan Kiri
Yang kita gambarkan sejauh ini baru setengah dari komplek sekolah kami, yaitu belahan kanannya saja. Masih ingat koridor kecil yang merupakan bagian dari lengan mendatar bagunan L? Koridor itu menghubungkan area kanan dan kiri dari sekolah kami. Dinding kanan koridor itu, bila anda berjalan menuju belahan kiri area sekolah, ada papan pengumuman sekolah dan majalah dinding yang dikelola OSIS.
Begitu sampai diujung koridor, bila anda menengok ke kiri, akan anda temukan satu ruang kelas yang terpisah sendiri, tidak tersambung dengan ruang kelas yang lain. Itu adalah ruang kelas 3A1. Disebelahnya, kearah belakang area sekolah, ada ruang majelis guru. Bila anda menengok kekanan ada satu bangunan panjang terdiri dari empat ruang kelas. Kelas 3A2 diujung dekat, 3A31, 3A32 dan 3A4 diujung jauh.
Ruang kelas 3A1 dekat sekali dengan ruang majelis guru. Pintu kedua bangunan mungkin terpisah 2 meter saja. Keadaan ini memaksa anak-anak 3A1 menjadi agak 'ja'im' alias jaga image, tidak sebebas anak-anak kelas lain dalam melakukan hal-hal 'gila' atau sekedar teriak-teriak tak menentu. Kasihan mereka...
Bangunan panjang kelas 3A2 hingga 3A4 adalah bangunan yang posisi paling depan di belahan kiri ini. Tapi dibandingkan bagian depan dari bangunan lama L, ia lebih menjorok kedalam. Area diantara bangunan ini dengan pagar depan yang cukup lebar dimanfaatkan sebagai area parkir. Untuk parkir kendaraan roda dua, ada area parkir beratap di pojok kiri bagian depan, mepet ke tembok kiri komplek sekolah. Tepat dibalik tembok itu, terletaklah warung bakso Mas Encul yang melegenda itu. Menu andalannya adalah bakso plus telor rebus.
Sederet dengan bangunan panjang 3A2-3A4, ada laboratorium bahasa. Ini adalah bangunan paling kiri dibarisan depan.
Disisi lain, selepas ruang kelas 3A1 dan ruang majelis guru ada perpustakaan, kemudian berturut-turut kearah tembok kiri, ada laboratorium fisika dan laboratorium biologi.
Dibelakang laboratorium biologi ada laboratorium kimia. Jadi tiga laboratorium, yaitu laboratorium bahasa di depan, kemudian labotarium biologi dan paling belakang laboratorium kimia, merupakan tiga bangunan yang letaknya paling diujung kiri komplek sekolah kami.
Dibelakang laboratorium biologi ada laboratorium kimia. Jadi tiga laboratorium, yaitu laboratorium bahasa di depan, kemudian labotarium biologi dan paling belakang laboratorium kimia, merupakan tiga bangunan yang letaknya paling diujung kiri komplek sekolah kami.
Lalu, ada bangunan kecil yang letaknya paling terpencil, mepet ke batas belakang area sekolah kearah sungai batang bungkal. Itu adalah WC murid, yang tidak terpelihara, air tidak mengalir sempurna dan bau pesingnya juara dunia. Untung letaknya jauh dari mana-mana, sehingga tidak mengganggu kualitas udara bagian lain dari komplek sekolah.
Kalender Mesum
Sementara itu, ada tanah kosong dibelakang bangunan perpustakaan. Pada masa angkatan 93 masih bersekolah, sekolah kami mendapat bantuan dana dari Departemen Agama untuk pembangunan masjid sekolah. Maka, diatas tanah kosong itupun dibangun masjid. Dana bantuan itu tidak memadai, hanya cukup untuk pondasi saja. Pihak sekolah dan OSIS kemudian berusaha mengumpulkan tambahan dana untuk masjid itu.
Seingat saya, OSIS paling tidak melakukan dua inisiatif untuk mendapatkan dana. Pertama dengan mencetak kalender dinding dengan logo dan tulisan OSIS SMA 1 Sungai Penuh untuk dijual kepada seluruh siswa dan juga donatur dari luar. Pada masa itu, kalender dinding yang umum berukuran sekitar setengah karton manila. Setengah bagian atas ada gambar dengan tema tertentu, seperempat bagian bawah ada kalender untuk 2 bulan (jadi satu set kalender ada 6 lembar) dan seperempat bagian ditengah adalah area kosong. Di bagian kosong itulah logo, tulisan OSIS dan alamat sekolah akan dicetak. Kalau tidak salah, OSIS memesan kalender itu dari toko buku Rajawali.
Pada waktu yang telah ditentukan, kalender-kalender itu diantar kesekolah. Upss..., ada sedikit masalah, ternyata sekitar 40% sampai 50% kalender memampang gambar yang tidak layak. Sangat tidak pas kalau dibawahnya ada logo OSIS SMA 1. Semakin ironis, karena hasil keuntungan dari menjual kalender itu sepenuhnya akan digunakan untuk pembangunan masjid. Gambar-gambar itu berupa model-model wanita berpakaian terbuka dan sebagian dibumbui dengan ekspresi wajah genit dan nakal.
Buya jelas tidak setuju, haram katanya. Pembina OSIS, Pak Mudiyum Hasan, mengkhawatirkan reputasi SMA 1. Akhirnya diputuskan untuk mengembalikan kalender bergambar tak pantas itu ke toko Rajawali dan menuntut mereka menggantinya dengan gambar yang lebih sesuai. Tragedi ini sepenuhnya kesalahan pencetak. Pada saat pemesanan OSIS telah memilih beberapa tema gambar tertentu dari katalog yang diperlihatkan oleh pencetak. Tema-tema yang dipilih adalah gambar majid, pemandangan dan mobil-mobil balap. Tetapi karena kehabisan stok, pencetak mengambil inisiatif menggantinya dengan foto-foto perempuan 'miskin' itu. Maka tanpa perlawanan sama sekali, pihak pencetak setuju untuk mengganti semua kalender salah gambar itu.
Inisiatif kedua adalah berkeliling pasar Sungai Penuh untuk meminta sumbangan dari toko-toko, lapak-lapak kaki lima dan para pembeli. Maka, dipagi suatu hari minggu, sekitar 15 orang relawan yang semuanya siswa SMA 1 berkumpul dipelataran gedung nasional.
Setelah briefing singkat, mereka dibagi kedalam beberapa kelompok dengan area sasaran berbeda-beda. Berbekal map berisi surat pengantar Kepala Sekolah dan Pengurus OSIS, serta list kosong untuk menampung nama dan tanda tangan donatur serta jumlah donasi, para relawan itu menyusuri jalan-jalan dan gang-gang dipasar Sungai Penuh, keluar masuk toko, menemui penjaga-penjaga lapak dipasar becek, untuk meminta sumbangan.
Setelah briefing singkat, mereka dibagi kedalam beberapa kelompok dengan area sasaran berbeda-beda. Berbekal map berisi surat pengantar Kepala Sekolah dan Pengurus OSIS, serta list kosong untuk menampung nama dan tanda tangan donatur serta jumlah donasi, para relawan itu menyusuri jalan-jalan dan gang-gang dipasar Sungai Penuh, keluar masuk toko, menemui penjaga-penjaga lapak dipasar becek, untuk meminta sumbangan.
Menjelang siang, satu per satu kelompok kembali ke markas di pelataran Gedung Nasional, dimana nasi bungkus telah menanti mereka. Saya lupa pastinya, yang jelas jumlah sumbangan yang berhasil dikumpulkan sungguh lumayan dan menggembirakan. Nasi bungkus jelas tak mampu membayar keikhlasan dan jerih payah para relawan itu.
Comments