Sejarah FC Barcelona Bermula di Ranah Minang
Dunia sepakbola Indonesia bolehlah sedang dirundung malang. Pemerintah melalui Kemenpora telah mengintervensi dengan membekukan PSSI, yang disisi lain konon penuh intrik dan faktanya belum mampu mempersembahkan prestasi berarti yang konsisten untuk bangsa Indonesia yang sejatinya gila bola. Puncaknya, akibat intervensi pemerintah itu, FIFA menjatuhkan sanksi dan Indonesia tidak boleh bermain diajang Internasional.
Bagi klub liga Indonesia, benarlah kata pepatah 'sudah jatuh tertimpa tangga'. Klub terancam bubar dan para pemain kehilangan mata pencarian, dengan apa anak istri diberi makan. Bermain untuk klub asing tidak mudah, karena sanksi FIFA itu. Lagi pula takkan lah semua pemain liga Indonesia dapat ditampung liga-liga asing. Mungkin mereka harus kembali ke turnamen-turnamen Tarkam (Antar Kampung) yang telah membesarkan mereka. Ternyata, segala sesuatu yang kampungan belum tentu negatif, bukan?
Saat ini marilah kita berbaik sangka dulu dengan menanti realisasi janji pemerintah untuk membenahi sepakbola Indonesia secara mendasar. Kalaupun mereka tak mampu memenuhi janjinya, bukankah kita telah terbiasa pasrah termakan janji-janji? Mungkin benar kata pepatah yang lain 'hidup tidaklah selalu semanis janji Jokowi'.
Tapi, sudahlah...daripada larut dalam galau...mari kita menengok kebelakang, mengenang kejayaan silam. Bukankah kita piawai dalam hal yang satu ini, menghibur diri dengan romantisme masa lalu?
Salah satunya adalah tentang klub terbaik dunia, FC Barcelona, yang baru saja menjadi juara UEFA Champion League dengan meluluhlantakkan Juventus. Tahukah anda bahwa sesungguhnya FC Barcelona berawal di Indonesia, tepatnya di Ranah Minang? Begini sejarahnya.
Diabad ke-19, dibawah penjajahan kolonial Belanda, Urang Awak belumlah mengenal sepak bola. Mereka justru tergila-gila dengan olah raga racing. Pokoknya segala sesuatu yang terkait dengan kecepatan seperti pacu kudo, pacu jawi, pacu itiak dan pacu anjiang. Selain itu tentu mereka juga bermain gasiang dan silek (pencak silat).
Tapi, orang-orang Belanda yang ditugaskan di Minang Kabau sebenarnya sudah bermain sepak bola sesama mereka. Lama kelamaan meneer-meneer itu merasa jenuh dan muncullah ide untuk mencari lawan dari luar tangsi mereka. Maka mulailah mereka menghembuskan wacana ini ke penduduk pribumi, terutama melalui kelompok-kelompok diskusi di lapau-lapau kopi. Caranya dengan menyusupkan pribumi-pribumi bayaran kedalam kelompok-kelompok diskusi lapau kopi untuk mengangkat isu ini. Pribumi-pribumi pengkhianat bangsa ini kurang lebih beroperasi seperti LSM-LSM masa kini yang dimodali asing. Uang telah membutakan mereka dan harga diri bangsapun rela mereka gadaikan.
Tidak berapa lama, ide ini menggelembung, berawal dari lapau kopi, para ninik mamak dan kaum cerdik pandai akhirnya melihat bahwa sepakbola membawa lebih banyak manfaat dari pada mudharatnya. Singkat cerita, mulailah urang awak bermain sepak bola.
Kaum muda di berbagai nagari mulai berlatih sepakbola disore hari, sepulang dari ladang, sawah atau pasar. Lalu mulailah disusun rencana untuk menjawab adu bola yang dilontarkan penjajah berkulit pucat itu.
Waktu dan tempat pertandingan telah pun disepakati. Tinggal kini satu masalah tersisa, nama klub pribumi belum ditetapkan. Akhirnya, setelah ninik mamak cerdik pandai bermusyawarah kembali, setelah melalui perenungan dan perdebatan panjang di rumah gadang, disepakatilah bahwa klub baru ini diberi nama Perhimpunan Sepakbola Basarawa.
Basarawa artinya memakai celana. Nama ini dipilih karena sebagai bangsa yang terbelit kemiskinan akibat penjajahan, para pemain pribumi tidak mampu membeli sepatu bola dan jersey. Mereka bermain telanjang kaki dan hanya memakai celana. Celana ini sepenuhnya produk lokal tanpa komponen impor sama sekali, ditenun di Silungkang dan dijahit di Ampek Angkek. Para pendukung dan penggemar yang ingin memiliki celana serupa tim kesayangannya dapat pula membelinya di official store PS Basarawa di Pasa Ateh, Bukit Tinggi. Yang KW tentu tersedia pula dilapak-lapak kaki lima seantero negeri.
Tibalah hari yang ditunggu-tunggu dan pertandingan dilangsungkan. Hasilnya sungguh tak disangka-sangka, tim underdog PS Basarawa, yang bermain tanpa sepatu, menghancurleburkan tim Belanda yang lebih berpengalaman dan berperalatan lengkap. Skornya pun telak 3-1, persis seperti skor FC Barcelona melumat Juventus di Olympia Stadium Berlin, dalam final UEFA Champion League 2014-2015. Jadi, jauh sebelum era Johan Cruyf, Ruud Gullit, Marco Van Basten dan Robin Van Persie, Belanda belum ada apa-apanya dibandingkan klub lokal Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, PS Basarawa aktif di liga Indonesia. Namun, dikampung sendiri mereka kalah pamor dari dua klub yang lahir belakangan yaitu PSP Padang dan Semen Padang. Akhirnya PS Basarawa memutuskan untuk merantau ke tanah Jawa dan agar terasa lebih Indonesia, klub pun berganti nama menjadi PS Bercelana. Bertukar nama, sama maknanya.
Akan tetapi, lagi-lagi keberuntungan tak kunjung hinggap. PS Bercelana tidak juga berprestasi, sehingga menghantarkan mereka pada kesulitan finansial. Sponsor enggan merapat, gaji pemain tertunggak dan stadion merana tak terurus.
Maka apa hendak dikata, keputusan pahitpun harus diambil. Pengurus tidak membekukan atau membubarkan klub sebagaimana yang dilakukan Kemenpora terhadap PSSI, melainkan menjualnya ke pihak asing. Ternyata pembeli asing itu datang dari negeri yang sangat jauh yaitu Spanyol. Orang Spanyol sangat bangga dengan bahasanya, yang konon merupakan bahasa paling seksi didunia. Mereka kesulitan menyebutkan Bercelana, maka digantilah nama klub itu menjadi Barcelona, hingga kini. Lebih seksi dan terdengar sangat Espana.
Demikianlah sejarah FC Barcelona. Bung Karno pernah berpidato dengan judul Jas Merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Satu pesan saya, jangan menganggap tulisan ini terlalu serius. Bila anda berniat mengutipnya untuk buku, tesis atau disertasi, baiknya mintalah dulu pendapat ahli sejarah yang sesungghuhnya.
Comments