Hijrah ke Sudung Palupuh
Dua puluh tiga Oktober seribu sembilan ratus delapan puluh, adik bungsuku lahir. Ibu mengajar di SMP yang jaraknya dua kilo meter dari rumah. Abak mulai sering menginap di ladang, setelah beberapa anak ladang (peladang penggarap yang bekerja sama dengan pemilik ladang melalui skema bagi hasil) tidak ada yang becus. Abak marabo (marah besar) dan memutuskan untuk menggarap sendiri ladangnya. Waktu itu usiaku lima tahun dan adik perempuan dibawahku tiga tahun. Tiga orang anak yang masih kecil dan jarak yang relatif jauh ke tempat kerja menimbulkan kerepotan bagi Abak dan Ibu. Kami tidak punya pembantu rumah. Satu-satunya kendaraan yang kami punya adalah sepeda tua yang biasa dipakai Abak berkelana dari pekan (pasar) ke pekan ketika ia masih menjadi penjahit keliling. Tidak ada yang tahu bila sepeda itu dibuat, tapi kuat dugaanku tidak lama setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, atau bahkan sebelumnya. Persoalannya, sepeda...