Ramadan tempo doeloe (28): Dua Syawal Hari Pelajar

Kampung dimana aku dilahirkan, dimasa kecilku secara administratif, dibagi menjadi empat dusun (desa).  Setiap dusun (tentu) punya kepala desa atau lurah sendiri. Masing-masing juga punya masjid sendiri, karang taruna sendiri, klub sepak bola sendiri dan gedung serbaguna sendiri.  Warga dusun menyebut gedung serbaguna itu sebagai "gedung" saja, sebagaimana mereka menyebut sepeda motor segala merek sebagai "honda" saja.  Dikampung kami honda artinya sepeda motor. 

Gedung ini merupakan pusat kegiatan masyarakat untuk acara-acara yang melibatkan banyak orang seperti rapat besar, penyuluhan, majelis penyambutan pejabat, perayaan-perayaan, pemutaran filem dan tak ketinggalan pertunjukan dangdut.  Seingatku gedung-gedung itu tidak pernah dipakai untuk resepsi pernikahan, karena dimasa itu akad nikah hingga resepsi dilaksanakan dirumah pengantin wanita.  Dihari-hari tanpa kegiatan, gedung tidak dikunci, masyarakat bebas keluar masuk untuk main bulutangkis.  Memang dilantai setiap gedung ada garis-garis yang membentuk lapangan bulutangkis, tiang-tiang penyangga net pun telah terpasang.  Siapapun yang mau main bulutangkis, tinggal bawa peralatan sendiri, raket, shuttlecock dan net.

Tanggal dua Syawal setiap tahun, hari raya kedua, adalah hari istimewa dimana keempat dusun bergabung dalam kemeriahan sebuah perayaan penting dan acaranya dipusatkan disalah satu gedung.

Pagi hari lebaran kedua, simpang tiga (kini telah menjadi simpang empat), yang merupakan pusat keramaian kampung kami, mulai didatangi banyak orang, tua dan muda.  Anak-anak datang dengan baju raya lebaran kedua.  Anak-anak perempuan dengan baju warna-warni yang bagian roknya mengembang berenda-renda seperti gaun pesta Cinderalla.  Anak laki-laki banyak yang mengenakan baju seragam lengkap angkatan bersenjata, lengkap dengan tanda pangkat, asesoris dan topi bundar. Semua datang dengan penampilan terbaik.

Para pedagang berbagai makanan dan minuman turut meramaikan suasana.  Tukang sate, lontong sayur, martabak, kue pancong, es lilin, es krim, es tebak, kacang goreng, kembang gula, semua tumpah ruah disana.  Tidak ketinggalan tentu para pedagang mainan dari boneka, mobil-mobilan senapan air hingga petasan.  Anak-anak sedang berada dalam puncak kekayaan, berfoya-foya mereka membelanjakan uang hasil salam tempel.   

Ada sekelompok orang dewasa yang mengenakan jas dan berpeci, ada yang mengenakan baju batik, ada pula yang mengenakan sorban.  Mereka adalah para tokoh masyarakat dan pemerintahan, ada Lurah, bahkan Camat, para perangkat desa dan para Buya.  

Tidak jauh dari mereka ada sekelompok orang dewasa yang mengenakan pakaian tradisional, baju teluk belanga dan celana berwarna hitam, songket atau sarung melilit dipinggang, penutup kepala yang khas.  Mereka tampak berwibawa.  Mereka adalah para pemuka adat, umumnya bergelar Depati.

Dan, yang paling menarik perhatian adalah sekelompok anak muda, laki-laki dan perempuan, dalam jubah hitam-hitam, lengkap dengan toga segi lima yang ada benang beraneka warna menjulur dari bagian tengahnya.  Persis seperti pakaian kebesaran yang dikenakan para guru besar dan anggota Senat universitas dan para wisudawan. 

Para anak muda itu adalah bintang pada hari itu.  Merekalah yang menjadi alasan semua orang tumpah ruah di simpang tiga dengan penampilan terbaik beraneka corak warna.  Segala kemeriahan dan kegembiraan itu adalah untuk mereka.   

Mereka adalah putra-putri kampung kami yang berjaya menyelesaikan pendidikan mereka dalam satu tahun terakhir hingga menyandang gelar sarjana.  Umumnya mereka telah diwisuda dikampus masing-masing.  

Setelah semua orang berkumpul di Simpang Tiga, dimulailah arak-arakan berkeliling kampung. Para sarjana bertoga itu berada paling depan, diikuti para pemuka adat, pemerintahan dan agama.  Dibelakangnya semua warga kampung lainnya dan anak-anak yang tak henti membuat gaduh, berlarian atau sambil bermain dengan mainan baru mereka.  Disepanjang jalan, banyak warga, terutama ibu-ibu dan anak-anak kecil yang menyaksikan arak-arakan dari halaman rumah masing-masing, atau sambil duduk-duduk di palanta rumah panggung mereka, atau paling tidak mencogokkan kepalanya melalui jendela.

Arak-arakan itu berakhir di gedung pertemuan salah satu dusun yang mendapat giliran sebagai tuan rumah. Lagi-lagi para sarjana bertoga itu mendapat penghormatan maksimal, mereka duduk paling dimuka, bersama-sama para tokoh adat, agama dan pemerintahan.  Didalam gedung itu dilaksanakan upacara resmi, dimana ada sambutan-sambutan dari berbagai tokoh seperti lurah, camat atau bupati apabila hadir serta pemuka adat.  Semua sambutan bernada sama.  Mensyukuri keberhasilan anak-anak muda itu menyelesaikan pendidikannya.  Sanjungan atas ketangguhan mereka meretasi semua tantangan selama belajar di negeri yang jauh.  Ucapan selamat kepada orang tua yang telah bersusah payah membesarkan dan mendidik mereka.  Tak lupa tentunya, petuah bijak agar mereka tak melupakan ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk.  Dititipkan pula harapan besar keatas pundak-pundak mereka, bahwa merekalah yang menentukan nasib negeri dimasa depan, menggantikan para orang tua yang satu per satu akan dipanggil pulang oleh yang Maha Kuasa.  Sebagai warga berpendidikan tinggi tentulah beban dan tanggung jawab yang mereka harus pikul lebih berat dari pada orang kebanyakan.

Ada pula prosesi mirip acara wisuda di kampus-kampus, dimana para sarjana baru itu dipanggil satu per satu keatas panggung untuk menerima cendera mata dan bersalaman dengan para tokoh yang telah menanti disana.  Sambil berjalan menuju panggung, MC membacakan nama mereka lengkap dengan gelar kesarjanaan, nama kedua orang tua serta informasi singkat tentang pendidikan yang mereka telah genapkan.  Acara biasanya diakhiri dengan santap siang bersama.    

Begitulah kampung kami menghargai dan menyanjung tinggi pencapaian akademik.  Tersirat betapa pentingnya pendidikan bagi penduduk kampung yang pada umumnya adalah petani itu.  Sehingga setiap tanggal dua Syawal, telah ditetapkan sebagai hari pelajar.  Selain kemeriahan festival dan arak-arakan, kedua orang tua para sarjana itu mendapat hadiah setara seekor kambing untuk digunakan oleh keluarga mereka untuk merayakan pencapaian itu.  Hari itu, tanggal 2 Syawal setiap tahunnya, dikenal dikampung kami sebagai Hari Pelajar, Pemuda dan Sarjana.  Singkatnya lebih sering disebut hari Sarjana saja.  Peringatan dan kemeriahan ini telah dilakasanakan sejak 1960.   

(Hong Kong - 11 Agustus 2016)

  

Comments

Popular posts from this blog

Lampu togok dan lampu strongkeng

Kopi cap "Rangkiang", kue sangko & saudagar tembakau

TV Pertama Kami (bagian 3)