Hiruk Pikuk Setengah Hati
Blog ini ditulis diatas bis Damri dari Bandara Soekarno Hatta menuju Bekasi. Lama sudah saya tidak menggunakan jasa bis Damri Bandara, lebih dari delapan tahun. Karena lebih sering ke Jakarta untuk urusan pekerjaan, saya selalu menggunakan taksi. Kunjungan kali ini pun sebenarnya untuk urusan pekerjaan, tapi dua hari pertama yang kebetulan akhir pekan akan saya gunakan untuk menyelesaikan beberapa urusan pribadi. Menginappun tidak dihotel, tapi numpang dirumah adik. Tentu tak layak saya menggunakan fasilitas kantor untuk transportasi.
Maka saya putuskan untuk naik bis Damri saja. Taksi pasti mahal apalagi dengan kemacetan Jumat malam. Rupiah kini terasa mahal bagi TKI seperti saya, karena Ringgit saat ini adalah mata uang Asia dengan performa terburuk, bahkan terhadap rupiah pun ia terdepresiasi.
Mendarat diterminal 2D, saya berjalan cukup jauh menyusuri plaza terminal bandara untuk mencapai Shelter Bus disebelah terminal 2F, diujung yang lain.
Sebenarnya tidaklah tepat disebut sekedar shelter bus, tempat itu menurut saya adalah sebuah terminal bis. Ini jelas ide bagus, sudah selayaknya bandara Internasional memiliki terminal memadai untuk penumpang yang meneruskan perjalanan menggunakan bus.
Sesampai di terminal bus itu, saya terkesan. Ada empat atau lima jalur tempat bis-bis Damri yang tiba menurunkan dan menaikkan penumpang. Ada bangku-bangku yang berbaris, jumlahnya mencukupi untuk para penumpang melepas penat sembari menanti bis. Loket-loket penjual tiket berjajar rapi. Selain Damri, ada loket bis Primajasa dan angkutan travel ke Bandung. Ada toilet dan mushalla. Sekilas, keren punya.
Saya langsung menuju loket tiket Damri untuk beli tiket ke Bekasi, empat puluh lima ribu rupiah harganya. Petugas mencetak tiketnya dan ternyata ada barcode nya. Keren.
"Kapan bis ke Bekasi berangkat, mbak?", tanya saya kepada petugas penjual tiket. "Dua puluh menitan deh, Pak." "Nanti saya tahunya dari mana, ada pengumuman?". "Nggak sih Pak, tapi entar dikasih tau kok." Lha?
Ada TV layar datar dihadapan para penumpang yang duduk menunggu, saat itu sedang menayangkan acara Sule dan kawan-kawan. Tidak saya perhatikan TV, yang jelas terdengar bagi saya adalah gelak tawa riuh berulang-ulang.
Ada lagi TV layar datar yang lain, tapi tidak menayangkan acara salah stasiun TV nasional. Saya dekati ternyata itu adalah monitor yang menunjukkan bis-bis yang datang, nomor bisnya, waktu berangkatnya dan tentu yang paling penting tujuannya. Ini tentulah monitor yang paling penting diseantero terminal ini, jauh lebih penting dari pada banyolan Sule di TV yang lain. Tapi, kenapa tak seorangpun yang mengacuhkan TV ini, selain saya? Siapa yang nggak normal sebenarnya, saya atau mereka.
Selidik punya selidik, ternyata mereka yang benar. Tak ada gunanya melototi monitor itu karena sebenarnya ia tidak berfungsi lagi. Ini tidak keren.
Lalu dari mana para penumpang yang menunggu tahu bahwa bis Damri yang tiba adalah untuknya? Sedangkan tulisan destinasi di badan bis tidak mudah untuk dilihat.
Ternyata, begitu ada bis yang mendekat, segera terdengar teriakan-teriakan yang semakin bergemuruh 'Gambir...Gambir....', beberapa menit kemudian 'Blok M...Blok M..Blok M...(yang semakin lama terdengar seperti Blem...Blem...Blem)', lalu 'Binong...binong...' (maksudnya Cibinong), dan sejurus kemudian 'Kasi...Kasi...Kasi...' (Aha...ini tentu Bekasi). Ketika ada beberapa bis dengan tujuan berbeda tiba, teriakan-teriakan itu bertabrakan, saling menimpali, suasana kian hiruk dan pikuk...Dan nama-nama destinasi itu tidak lagi terdengar jelas, bercampur aduk tak karuan...
Lalu terlihat orang-orang yang duduk bergegas berkemas lalu berlari atau paling tidak berjalan cepat menuju bis. Banyak yang tidak yakin yang mana bis untuk mereka dan harus bertanya lagi "Mangga dua yang mana? Rawamangun yang mana?". Saya bertanya "Bekasi mana?"
Mereka bergegas karena khawatir tidak kebagian tempat duduk. Meski semua bis yang tiba hampir kosong malam itu, tapi mungkin berbeda pada puncak-puncak arus mudik atau balik. Pada tiket keren dengan barcode itu ternyata tidak ada urutan penumpang untuk naik bis. Anda boleh datang dan beli tiket lebih awal, tapi tidak menjadi jaminan anda naik bis lebih dulu dari pada orang yang membeli tiket belakangan. Hidup ini keras Tuan, siapa cepat dia dapat!
Mereka yang berteriak itu kebanyakan berseragam Kementerian Perhubungan. Asumsi saya mereka adalah pegawai terminal ini. Teriakan mereka disahuti pula oleh kernet bis yang baru tiba, yang turun dari bisnya dan menghampiri para penumpang yang duduk menunggu didepan TV, menonton Sule. Sesekali petugas kebersihan dan troli bandara ikut pula berteriak dengan suara cemprengnya, mungkin ingin beramal atau sekedar membunuh rasa bosannya.
Tidak sekalipun terdengar pengumuman dari pengeras suara. Nggak keren.
Teriakan-teriakan itu seperti membawa saya ke alam Dejavu! Ia membawa saya ke terminal Pulogadung, Kalideres, Bogor, Bekasi, Leuwipanjang dan terminal-terminal lain diseluruh persada Indonesia.
Ini Indonesia, bung! Indonesia mendefinisikan terminal bis sebagai tempat berjubelnya banyak orang, para penumpang dengan barang bawaan (tidak lupa kardus diikat tali rapia), supir, kernet, penjual tiket, calo, buruh angkut, penjual asongan dan pencopet. Suasananya haruslah hiruk pikuk riuh rendah oleh teriakan kernet, penjual tiket, calo, penjual tahu, penjual rokok, penjual minuman dan anak-anak yang menangis kegerahan. Dan akhirnya semua orangpun harus berteriak, bahkan sekedar untuk berbicara dengan orang disebelahnya.
Bila mengikuti definisi itu maka terminal bis Bandara belumlah pantas disebut terminal bis sejati. Ia hiruk pikuk, tapi tidak ada buruh angkut, penjual asongan dan pencopet serta saat itu tidaklah padat berjubel. Meski udara terasa gerah, karena tidak semua kipas angin berputar, entah rusak entah hendak hemat energi.
Terminal bis bandara ini bagi saya sungguh menyedihkan. Bagaimana bisa, di Bandara Internasional, gerbang utama Indonesia, ada terminal bis yang dengan suasana gaduh seperti itu. Mengapa sulit sekali bagi kita untuk memberikan kenyamanan bagi publik. Kadang upaya memperbaiki itu ada, seperti kasus terminal ini, tetapi kenapa setengah-setengah, tidak tuntas.
Bangunan fisiknya sudah bagus dan representatif, namun pelayanannya masih amatiran.
Kenapa monitor pemantau kedatangan bis tidak difungsikan maksimal? Kenapa sistem tiket elektronik dengan barcode itu tidak disempurnakan dengan system urutan naik bis? Kenapa tidak ada pengumuman dari pengeras suara setiap ada bis yang tiba, dengan suara jernih dan intonasi yang renyah didengar? Bukankah bila ketiganya saja berfungsi dengan baik, tidak perlu ada bapak-bapak berseragam kementerian perhubungan berteriak-teriak memekakkan telinga. Tidak perlu calon penumpang berjibaku sekedar memastikan dapat tempat duduk. Kita sesungguhnya tidak memerlukan hiruk pikuk itu.
Bukankah dengan begitu terminal menjadi lebih manusiawi dan memberikan rasa nyaman dan aman bagi para penumpang?
Saya bisa survive dan menemukan bis karena saya sudah terbiasa dengan ketidakteraturan ini. Tapi, bagi orang asing, terminal ini pasti menakutkan dan memberi kesan buruk di wajah Indonesia. Padahal tidak semua mereka berkantong cukup tebal untuk membayar taksi. Maka berbagai slogan mengundang wisatawan asing untuk menikmati keajaiban Wonderful Indonesia hanya omong kosong saja.
Diatas bis menuju Bekasi, saya menjadi melankolis. Mengapa berat sekali untuk menjadi orang biasa di negeri tercinta ini. Hanya karena kantong tak cukup dalam untuk membayar taksi mengkilap beraneka warna yang berbaris anggun sepanjang pelataran bandara, maka semua harus diperjuangkan dengan keras. Mengapa mereka tak pernah tulus menghadiahkan sedikit kenyamanan kepada orang biasa. Mereka bangun semuanya dengan megah, tapi tidak mereka letakkan manusia pada pusat segalanya. Jadilah segala kemegahan itu terasa kaku, dingin dan angkuh.
Mungkin saya terlalu melankolis. Untung ada Sule yang masih bisa membuat kita tertawa.
Udah gitu aja!
Comments