Salah satu yang kusyukuri sebagai generasi yang dilahirkan medio dekade 1970-an di dusun kecil di pedalaman Sumatera adalah kesempatan mengalami zaman yang berubah sangat pesat. Barangkali magnitud perubahan yang terjadi dalam empat puluh tahun terakhir setara dengan apa yang mungkin dicapai dalam empat ribu tahun dimasa lampau. Dan ia terjadi di semua aspek kehidupan. Aku mengalami masa ketika kampung kami belum dialiri listrik. Begitu senja menyapa, seisi rumah sibuk menyiapkan lampu minyak tanah yang digantung didinding atau ditaruh dimeja. Kami menyebutnya lampu togok. Senja hampir selalu kalang kabut dengan kesibukan memasukkan segala macam ternak kekandang. Kadang ada saja ayam atau kambing yang lupa pulang meski petang telah meremang, kami terpaksa menjemput dan menggiring mereka. Tiba-tiba kami kehabisan minyak tanah atau sumbu lampu togok ternyata sudah terlalu pendek untuk mengalirkan minyak ke lidah api, maka aku mengayuh sepeda mini biruku...
(sumber:www.gedangsari.com) Mari bercerita tentang kopi. Sama sekali bukan karena warung kopi paling sukses sedunia, Starbuck, ternyata pendukung LGBT yang saya kutuk itu. Sementara kasusnya saya tutup dengan berazam bahwa saya tidak akan pernah minum kopi starbuck lagi. Lu, gua, end! Sesungguhnya kopi memiliki tempat tersendiri dalam hikayat keluarga kami. Tidak hanya karena abak (ayah), ibu dan saya sendiri adalah peminum kopi. Lebih dari itu almarhum Abak pada suatu waktu dulu adalah petani kopi dan kemudian mengembangkan sayap usahanya dengan memproduksi bubuk kopi sendiri dengan merek dagang 'Rangkiang'. Rangkiang mungkin bukan nama yang mudah dipahami oleh kebanyakan orang, Nama itu diambil dari bahasa Minang yang berarti lumbung padi. Cobalah google gambar rumah gadang, rangkiang biasanya berdiri anggun di sudut depan kiri dan/atau kanan dari rumah gadang. Ia berupa bangunan panggung, langsing karena lingkar pinggangnya lebih kecil dari pada lingkar bah...
Setelah mengandalkan radio sebagai sumber informasi dan hiburan selama bertahun-tahun, akhirnya kami punya TV. Waktu itu TVRI (Televisi Republik Indonesia) adalah satu-satunya stasiun TV yang bisa kami tangkap. Belum ada TV swasta yang glamor, belum ada antenna parabola, apalagi TV kabel. Siaran TVRI bermula pukul 4.30 petang. Sekitar lima belas menit sebelum siaran dimulai sebenarnya dilayar kaca sudah ada gambar statis berbentuk lingkaran dengan motif kotak-kotak didalamnya. Didalam lingkaran itu pula ada penunjuk waktu dengan format hh:mm:ss. Lima menit menjelang pukul 4.30, lagu Indonesia Raya berkumandang sebagai penanda bahwa stasiun TV kebanggaan Indonesia itu mulai mengudara. Selanjutnya seorang penyiar cantik menyapa penonton dan membacakan susunan acara hingga lewat tengah malam nanti. Acara pertama selama tiga puluh menit biasanya bernuansa pendidikan dengan target penonton anak-anak TK hingga sekolah dasar, diantara yang saya ing...
Comments