Ramadan tempo doeloe (11): Baju rayo
Hari raya identik dengan baju baru, terutama bagi anak-anak. Bagi kami bertiga, ia bahkan menjadi teramat penting. Pasalnya, itu saja satu-satunya kesempatan kami untuk memiliki baju baru nan cukup rancak untuk dibawa bepergian atau mengahadiri acara-acara diluar rumah. Diluar bulan Ramadan, bisa saja kami membeli baju baru, tapi pastilah itu seragam sekolah. Atau, Ibu mungkin saja membeli baju-baju obral untuk anak-anaknya diluar bulan puasa, pastilah itu baju-baju berbahan kaos berkualitas rendah, untuk kami pakai bermain atau tidur.
Biasanya kami masing-masing mendapat jatah dua set baju rayo, satu untuk hari raya pertama dan yang lain untuk hari kedua. Bagi kami lebaran adalah dua hari, karena ada dua hari tanggal merah pada almanak.
Bagi kedua adik perempuanku, perkaranya sedikit lebih mudah. Ibu tinggal membawa mereka ke balai (pasar mingguan) disuatu hari Jumat dan memilih baju rayo dari pedagang-pedagang yang membuka lapak pakaian. Lebih sering urusannya berlangsung cepat tak bertele-tele, karena Ibu punya beberapa pedagang favorit, yang sudah Ibu kenal bertahun lamanya sejak masa kecil Ibu di Sungai Penuh. Begitu model dan ukuran sesuai, urusan harga diselesaikan dengan relatif cepat. Tidaklah perlu bersitegang urat leher atau berpindah-pindah dari satu lapak ke lapak lain.
Pada masa itu, ketika kami masih usia sekolah dasar dan tinggal didusun bersama Ibu, model baju rayo anak perempuan adalah terusan satu potong, beraneka warna dan berenda-renda. Bagian roknya mekar kebawah. Seperti gaun pesta Cinderella. Model itu relatif stabil dan bertahan bertahun-tahun dikampung kami.
Biasanya kami masing-masing mendapat jatah dua set baju rayo, satu untuk hari raya pertama dan yang lain untuk hari kedua. Bagi kami lebaran adalah dua hari, karena ada dua hari tanggal merah pada almanak.
Bagi kedua adik perempuanku, perkaranya sedikit lebih mudah. Ibu tinggal membawa mereka ke balai (pasar mingguan) disuatu hari Jumat dan memilih baju rayo dari pedagang-pedagang yang membuka lapak pakaian. Lebih sering urusannya berlangsung cepat tak bertele-tele, karena Ibu punya beberapa pedagang favorit, yang sudah Ibu kenal bertahun lamanya sejak masa kecil Ibu di Sungai Penuh. Begitu model dan ukuran sesuai, urusan harga diselesaikan dengan relatif cepat. Tidaklah perlu bersitegang urat leher atau berpindah-pindah dari satu lapak ke lapak lain.
Pada masa itu, ketika kami masih usia sekolah dasar dan tinggal didusun bersama Ibu, model baju rayo anak perempuan adalah terusan satu potong, beraneka warna dan berenda-renda. Bagian roknya mekar kebawah. Seperti gaun pesta Cinderella. Model itu relatif stabil dan bertahan bertahun-tahun dikampung kami.
Ketika kami bertiga sudah bersekolah dan tinggal di Sungai Penuh, biasanya Ibu datang disuatu hari Sabtu atau Minggu lalu membawa keduanya ke Pasar Beringin untuk membeli baju baru. Masa itu, baju rayo mereka bukan lagi gaun pesta Cinderella.
Namun bagiku, perkara baju rayo tidaklah sesederhana itu. Abak yang multi talenta itu suatu waktu pernah menjadi tukang jahit pakaian laki-laki dengan merek dagang 'Teliti Tailor'. Klik http://kabacarito.blogspot.my/2013/05/abak.html untuk kisah lebih detail tentang Abak. Meski tidak lagi aktif sebagai penjahit Abak tetap menjahit baju atau celana untuk dipakai sendiri. Maka ada aturan tak tertulis dirumah kami bahwa 'haram' hukumnya bagi para lelaki untuk membeli baju dan celana yang sudah jadi. Semua harus dijahit sendiri. Ada dua lelaki dirumah kami, Abak dan aku.
Jadilah saat kedua adikku mendapat gaun Cinderella baru, aku kebagian bahan kain yang belum dijahit, cukup untuk dua baju dua celana untuk dipakai di dua hari raya. Abak kemudian akan mengukur badanku dan memotong kain. Aku sendiri yang harus menjahitnya dengan mesin jahit Singer kami, dibawah supervisi Abak.
Pada awalnya, satu potong baju atau celana aku selesaikan dengan susah payah, bisa menghabiskan sehari penuh, bahkan lebih. Waktu itu badanku masih mungil. Kakiku belum cukup panjang, aku harus duduk diujung kursi agar dapat menjangkau tapak besi penggerak mesin jahit. Karena telapak kakiku masih kecil, aku belum mampu menjungkat-jangkit tapak besi itu dengan konstan sehingga mesin jahitpun tidak berputar dengan stabil. Alhasil, jahitan pada kain tidak rapi, bahkan kain jadi berkerut. Kalau sudah begitu, jahitan harus dilepas lagi dan diulang. Kadang aku menyambung dua potongan yang salah atau potongannya sudah benar tapi terbalik luar dalam atau terbalik antara kiri dan kanan. Lagi-lagi, jahitan harus dilepas lagi. Begitu terus.
Membuat kerah yang rapi merupakan bagian yang paling sukar untuk sebuah baju kemeja, karena lengkungnya yang seperti atap rumah gadang itu. Sementara untuk celana, bagian paling sulit dan pelik adalah membuat kantong belakang yang melibatkan melubangi permukaan kain. Satu kesalahan kecil dapat merusak satu potongan besar.
Tidak jarang aku jadi mutung dan ngamuk-ngamuk sendiri karena salah melulu. Lepas jahitan lagi, dijahit lagi. Sementara itu perut lapar karena sedang puasa. Keringatpun bercucuran. Melihat itu Abak akan menyuruhku berhenti dulu dan lanjutkan nanti atau besok saja. Tapi Abak tidak pernah mengambil alih, tetap aku harus selesaikan sendiri, sampai tuntas. Pernah aku merusak satu potong kain, Abak kembali ke penjual untuk membeli kain tambahan yang sama secukupnya.
Selesai menjahit dua baju, aku meluncur dengan sepeda mini biruku ke tukang jahit didusun yang punya mesin obras, untuk mengobras (jahit pinggir) agar benang-benang tidak terlepas dari tepi kain. Kemeja diobras selepas dijahit, sementara celana di obras dulu baru dijahit.
Alah bisa karena biasa, begitu pepatah lama. Ketika sudah sekolah di SMP, aku sudah bisa melakukan semuanya sendiri. Abak tak campur tangan lagi. Bahkan aku sudah mulai menerima orderan menjahit dari keluarga dekat atau tetangga. Lumayan.
Tidak jarang aku jadi mutung dan ngamuk-ngamuk sendiri karena salah melulu. Lepas jahitan lagi, dijahit lagi. Sementara itu perut lapar karena sedang puasa. Keringatpun bercucuran. Melihat itu Abak akan menyuruhku berhenti dulu dan lanjutkan nanti atau besok saja. Tapi Abak tidak pernah mengambil alih, tetap aku harus selesaikan sendiri, sampai tuntas. Pernah aku merusak satu potong kain, Abak kembali ke penjual untuk membeli kain tambahan yang sama secukupnya.
Selesai menjahit dua baju, aku meluncur dengan sepeda mini biruku ke tukang jahit didusun yang punya mesin obras, untuk mengobras (jahit pinggir) agar benang-benang tidak terlepas dari tepi kain. Kemeja diobras selepas dijahit, sementara celana di obras dulu baru dijahit.
Alah bisa karena biasa, begitu pepatah lama. Ketika sudah sekolah di SMP, aku sudah bisa melakukan semuanya sendiri. Abak tak campur tangan lagi. Bahkan aku sudah mulai menerima orderan menjahit dari keluarga dekat atau tetangga. Lumayan.
Comments