Ramadan tempo doeloe (15): Pusara yang hilang
Salah satu kebiasaan menjelang bulan Ramadan tiba adalah menziarahi makam orang tua atau keluarga dekat. Ketika aku masih kecil dulu, ada empat kerabat dekat yang telah berpulang. Kedua orang tua Ibu, Iyak (Nenek) yang wafat setahun sebelum aku lahir dan Inyiak (Kakek) yang berpulang ketika aku berumur tiga tahun. Lalu sepasang adik ibu yang aku tak pernah bertemu karena mereka meninggal ketika masih kanak-kanak dan aku belum lahir. Mereka semua dimakamkan di lahan pekuburan APL, perkumpulan para perantau dari Agam, Pasaman dan Lima Puluh Koto. Pemakaman itu terletak di Bukit Sentiong.
Suatu malam menjelang Ramadan, Mak Inal, adik laki-laki Ibu yang bungsu, datang kerumah Tek Da, adik perempuan Ibu nomor dua. Saat itu aku tinggal di rumah Tek Da. Mak Inal mengabarkan bahwa ia baru saja mengunjungi Bukit Sentiong, namun pusara Iyak dan Inyiak tidak ditemukan. Kemungkinan besar tertimbun longsor karena saat itu sedang musim penghujan. Inyiak dan Iyak dimakamkan berdampingan dan pusara mereka memang terletak ditepi tebing. Diatas tebing itu adalah jalan raya yang melingkari pinggang Bukit Sentiong. Diatas jalan itu adalah lahan pekuburan perantau Cina dengan tembok-tembok yang besar. Demikianlah sehingga bukit itupun dinamakan Sentiong.
Mak Inal mengajakku untuk besok ikut dengannya ke Bukit Sentiong untuk mencari kedua pusara itu sampai ketemu. Ia tak mau pusara Inyiak dan Iyak hilang selamanya sebagaimana pusara dua adik Ibu yang kemungkinan telah ditimpa makam orang lain.
Esok paginya, Mak Inal datang lagi dengan hondanya dan membawa perkakas lengkap, cangkul, parang, sabit dan keranjang rotan pengangkut tanah. Mak Inal punya semua peralatan itu, karena selain pegawai negeri ia juga seorang petani, yang menggarap sendiri sawahnya. Mengingat pencarian itu mungkin memakan waktu lama, Tek Da membekali kami dengan nasi dan lauk untuk makan siang.
Kami meluncur. Setiba dikaki Bukit Sentiong, honda kami titipkan di sebuah rumah disebelah bioskop Purnama, yang termasyur dengan matine show itu.
Mulailah pencarian itu. Mak Inal coba menerka-nerka posisi makam dan kami mulai membabat belukar dan menyingkirkan tanah longsor. Seperti diduga, pencarian itu tidak mudah. Matahari bersinar terik, kami berdua telah bersimbah peluh. Akhirnya, beberapa menit menjelang azan Zuhur, sesudut nisan ditemukan dan Mak Inal yakin itu adalah makam Iyak atau Inyiak. Kepastian itu seperti tambahan energi tiba-tiba bagi kami. Kami semakin bersemangat mencangkul tanah dan membuangnya dengan keranjang rotan. Namun karena telah masuk waktu zuhur dan perutpun lapar, kami beristirahat di surau dekat pemakaman itu.
Suatu malam menjelang Ramadan, Mak Inal, adik laki-laki Ibu yang bungsu, datang kerumah Tek Da, adik perempuan Ibu nomor dua. Saat itu aku tinggal di rumah Tek Da. Mak Inal mengabarkan bahwa ia baru saja mengunjungi Bukit Sentiong, namun pusara Iyak dan Inyiak tidak ditemukan. Kemungkinan besar tertimbun longsor karena saat itu sedang musim penghujan. Inyiak dan Iyak dimakamkan berdampingan dan pusara mereka memang terletak ditepi tebing. Diatas tebing itu adalah jalan raya yang melingkari pinggang Bukit Sentiong. Diatas jalan itu adalah lahan pekuburan perantau Cina dengan tembok-tembok yang besar. Demikianlah sehingga bukit itupun dinamakan Sentiong.
Source: www.google.com |
Mak Inal mengajakku untuk besok ikut dengannya ke Bukit Sentiong untuk mencari kedua pusara itu sampai ketemu. Ia tak mau pusara Inyiak dan Iyak hilang selamanya sebagaimana pusara dua adik Ibu yang kemungkinan telah ditimpa makam orang lain.
Esok paginya, Mak Inal datang lagi dengan hondanya dan membawa perkakas lengkap, cangkul, parang, sabit dan keranjang rotan pengangkut tanah. Mak Inal punya semua peralatan itu, karena selain pegawai negeri ia juga seorang petani, yang menggarap sendiri sawahnya. Mengingat pencarian itu mungkin memakan waktu lama, Tek Da membekali kami dengan nasi dan lauk untuk makan siang.
Kami meluncur. Setiba dikaki Bukit Sentiong, honda kami titipkan di sebuah rumah disebelah bioskop Purnama, yang termasyur dengan matine show itu.
Mulailah pencarian itu. Mak Inal coba menerka-nerka posisi makam dan kami mulai membabat belukar dan menyingkirkan tanah longsor. Seperti diduga, pencarian itu tidak mudah. Matahari bersinar terik, kami berdua telah bersimbah peluh. Akhirnya, beberapa menit menjelang azan Zuhur, sesudut nisan ditemukan dan Mak Inal yakin itu adalah makam Iyak atau Inyiak. Kepastian itu seperti tambahan energi tiba-tiba bagi kami. Kami semakin bersemangat mencangkul tanah dan membuangnya dengan keranjang rotan. Namun karena telah masuk waktu zuhur dan perutpun lapar, kami beristirahat di surau dekat pemakaman itu.
Selepas shalat dan menyantap bekal makan siang, kami melanjutkan pekerjaan. Satu jam kemudian, kedua pusara telah bersih. Semua nisan dan temboknya telah terlihat jelas. Semua tanah longsor, belukar dan rerumputan yang menutupi telah disingkirkan. Pusara itu siap menerima ziarah keluarga besar kami menjelang Ramadan. Kamipun beranjak pulang. Mission accomplished!
Comments