Ramadan tempo doeloe (16): Project BuBar
BukBer (Buka Bersama) atau BuBar (Buka Bareng) telah menjadi fenomena dahsyat beberapa tahun belakangan ini. Tidak lagi hanya terbatas pada kelompok kecil individu atau keluarga dekat, bahkan korporasi dan organisasi besar telah pula menjadikannya agenda wajib setiap Ramadan. Seorang kawan di Jakarta bahkan menerima undangan buka bersama melebihi jumlah hari dibulan Ramadan. Dari kantor sendiri, supplier, clients, kelompok alumni dari TK hingga S-2, ormas, asosiasi industri, RT/RW dan sebagainya. Terus, kapan mau tarawih dan nguber khatam Quran nya? Hehehe...rupanya kita makin terjebak dengan festivalisasi Ramadan.
Anyway, kita tak hendak membahas topik serius itu. Mari mengenang kembali bagaimana kita menikmati buka bersama dimasa lalu, seperempat abad yang lalu. Semasa SMA, buka bersama telah menjadi agenda tahunan sekolah kami setiap Ramadan. Ia adalah proyek besar and we took it very seriously.
Biasanya sekolah mengumumkan hari buka bersama diawal bulan puasa, paling tidak seminggu sebelum hari H. Sejak itu, proyek maha penting dengan kode 'BuBar' dicanangkan. Setiap wali kelas adalah project owner dan ketua kelas adalah project manager. Pada hari itu juga, seusai jam pelajaran, sang project owner masuk kelas untuk memimpin rapat pertama proyek 'BuBar'.
Target kita sudah jelas, buka bersama ini haruslah merupakan yang terbaik dan kelas kita mesti menjadi yang terbaik, mengalahkan kelas-kelas lain. Padahal, tidak ada kompetisi resmi antar kelas. Tidak ada segerombolan chef professional yang menjadi dewan juri yang akan masuk ke kelas masing-masing untuk mencicipi kuliner yang disajikan serta mencemooh presentasinya. Tiada hadiah piala atau uang berjuta untuk kelas dengan buka bersama terbaik.
Namun tetap saja setiap kelas bertekad bulat untuk melaksanakan jamuan terbaik tanpa cela, semua dipersembahkan untuk semua warga kelas dan guru-guru yang ikut berbuka bersama kita. Jangan beri peluang kelas lain menggunjingkan hal negatif tentang acara buka puasa kelas kita.
Hari-hari berikutnya menjelang hari H diliputi atmosfir persiapan buka bersama. Sepanjang waktu istirahat atau disela pergantian guru, ketua kelas sang project manager terus melakukan koordinasi.
Menu buka bersama ditetapkan, mulai dari pabukoannya, menu makan malam utama dan pencuci mulut. Disepakati pula makanan mana yang akan kita masak, mana yang harus dibeli. Siapa memasak apa dan siapa membeli apa.
Begitu menu disepakati, urusan tak kalah penting berikutnya adalah pendanaan. Sumber utama pastilah iuran para siswa. Agar iuran tidak terlalu memberatkan, maka diusahakan makanan yang dibeli sesedikit mungkin. Sedapat mungkin makanan-makanan itu kita masak sendiri. Kami galakkan pula para siswa untuk membujuk orang tuanya untuk menyumbang makanan tertentu, bukankah memberi makanan orang berbuka itu pahalanya setara dengan pahala orang yang berpuasa, tanpa mengurangi pahala yang berpuasa itu.
Dimasa itu belum ada peralatan makan seperti piring, sendok garpu dan gelas sekali pakai terbuat dari kertas atau plastik. Maka harus ada yang kebagian membawa berlusin-lusin peralatan makan dari rumah mereka. Lebih dari itu, kami juga mengupayakan ruang kelas kami benar-benar tampil beda, sebagaimana restoran bintang lima. Meja kursi ditata sedemikian rupa. Akan ada satu meja VIP yang akan dihias paling indah, tempat para guru yang dialokasikan berbuka dikelas kita menikmati makanannya. Maka ada yang ditugaskan untuk membawa berbagai dekorasi seperti taplak meja, bunga-bunga beserta vasnya, lampu-lampu hias dan lilin warna-warni. Ada pula yang membawa sound system. Karena ini acara istimewa, harus pula diabadikan, salah satu dari kami ditugaskan menjadi tukang kodak. Ia harus bawa kamera sendiri dan rol film 36 jepretan ditanggung bersama.
Selama masa persiapan, segala sesuatunya terus dinamis dan berubah, baik segi menu maupun urusan logistik lainnya. Kadang kita merubah detail menu karena kelas lain juga melakukannya. Biasanya baru pada H-1, project owner dan project manager harus memutuskan menu, konsep acara dan pembagian tugas. Kalau tidak maka tak akan pernah selesai, tak pernah tercapai kata sepakat.
H-1 ditandai dengan intensitas kesibukan kian meningkat. Untuk menu yang akan dimasak, pembelian bahan sudah mulai dilakukan. Sore hari selepas jam sekolah, kawan-kawan yang bertugas sudah mulai meluncur ke pasar membeli bahan-bahan. Bahan-bahan itu dibawa ke rumah yang telah disepakati dapurnya akan diobrak-abrik untuk memasak. Bahan yang sudah dapat dicicil pengolahannya akan dimulai hari itu juga, semisal memotong, menggiling atau mengiris.
Beruntunglah kelas yang punya murid yang orang tuanya punya rumah makan. Kelas kami adalah salah satunya. Dengan senang hati ia menawarkan diri memasak menu utama berupa rendang, ayam goreng dan gulai cubadak. Bahan-bahanpun mereka yang membelikan, kami tinggal terima beres saja. Ia nyaris tak ambil untung, biaya yang kami keluarkan sama saja dengan kami memasak sendiri. Ini jelas sangat melegakan, kami tinggal memikirkan memasak atau membeli makanan lain yang jauh lebih ringan.
Pagi-pagi dihari H, suasana baralek semakin kental. Murid-murid yang kebagian menyediakan berbagai peralatan telah mulai membawanya pagi itu. Kami belajar ditengah-tengah tumpukan barang pecah belah. Ada tumpukan piring, mangkok, panci, gelas dan sendok garpu. Lampu hias, vas bunga, taplak meja diparkir dipojok belakang.
Begitu pelajaran hari itu usai, panitia seksi tempat dan dekorasi langsung beraksi. Meja kursi ditata sesuai dengan lay-out yang telah disepakati. Meja VIP dirias sedemikian rupa. Meja yang lain dibaris memanjang atau melingkar.
Semakin sore semakin rame. Yang bertugas memasak atau berbelanja ke pasa mambo mulai berdatangan. Berbagai macam honda datang dan pergi membawa makanan atau peralatan. Ada honda astrea, honda suzuki, honda yamaha, honda vespa pun ada. Memang tak dapat dihindari yang punya honda memang harus dikerahkan sebagai transportasi utama antar jemput makanan dan peralatan bahkan orang. Teman-teman yang memasak dengan penuh semangat dan dikejar waktu, juga dijemput oleh honda-honda itu. Sudah sepatutnya jerih payah mereka dibalas sedikit dengan memberi kenyamanan tumpangan honda. Sungguh durhaka bagi yang membiarkan mereka berjalan kaki ke sekolah dalam keadaan letih dan berpuasa.
Tidak cukup honda, bendipun beraksi. Terutama untuk mengangkut yang besar-besar yang sulit diseimbangkan diatas honda, semacam termos nasi raksasa, panci besar berisi gulai cubadak, belanga gadang penuh rendang. Dari pada gigit jari karena makanan tumpah dijalan, tak apalah berbagi rezeki dengan kusir bendi.
Kurang dari seperempat jam menuju bedug maghrib, situasi semakin kalang kabut, hiruk pikuk. Ada saja yang tidak berjalan sesuai rencana. Sudah payah habis-habisan mendekorasi ruangan, eh lampu kelap kelip tak bisa menyala. Semua makanan utama telah siap disantap, pabukoan belum juga tibo. Telah siap segala sesuatunya, makanan minuman sudah sedia, semua orang telah duduk manis menghitung masa, tiba-tiba gelap gulita. Rupanya, colokan sound system korslet pula.
Akhirnya, detik-detik yang dinanti itu tiba. Bedug ditabuh dan azan berkumandang dari segala penjuru. Dari masjid dan surau sekeliling sekolah, dari surau sekolah dan dari radio yang diputar di kelas-kelas. Sesaat segarnya es buah atau cindua melewati kering kerongkongan, sontak hilang dahaga menguap penat. Itulah saat-saat paling membahagiakan, bersama menikmati buah kerja bersama. Yang nampak muka-muka cerah belaka. Maka nikmat-Nya mana lagi yang kau dustakan.
Selepas sesi berbuka, sebagian besar beranjak ke surau sekolah dibelakang perpustakaan untuk menunaikan shalat maghrib. Namun banyak juga yang segera lanjut menghajar hidangan utama, nasi dan lauk pauknya. Dari pada shalat tak khusyuk membayangkan makanan, baiknya makan sambil memikirkan shalat. Begitu kilah diplomatis mereka.
Selepas maghrib, hanya ada tiga mata acara yaitu makan, makan dan makan lagi. Banyak yang melahap hidangan seperti kesurupan, terutama murid laki-laki, seakan tak ada hati esok. Namun setelah kerja keras berhari-hari, mungkin layak mereka menikmatinya.
Satu jam berlalu selepas maghrib, keadaan mulai beranjak tenang. Tidak ada lagi pemandangan orang-orang kalap berpesta. Berganti dengan wajah-wajah lelah kekenyangan. Tarangah.
Mereka duduk-duduk bercengkerama, tapi tak bisa lama-lama. Ketua kelas sang project manager mulai memberi komando untuk berkemas-kemas. Satu persatu mulai bergerak malas. Tidak ada pilihan lain, kecuali kalau mereka mau menginap di kelas.
Hiruk pikuk kembali. Segala dekorasi dan hiasan ditanggalkan. Segala peralatan pecah belah dikumpulkan. Makanan tersisa dibungkus untuk dibawa pulang. Meja kursi ditata seperti sedia kala, sebagaimana layaknya ruang kelas. Pasukan honda mulai hilir mudik mengantar orang dan barang. Tidak ada lagi bendi dimalam hari.
Aku sampai dirumah jauh malam. Adikku melaporkan bahwa tadi beberapa anak SMA datang pakai honda mengantar makanan. Itulah barokah Ramadan untuk anak kos.
Anyway, kita tak hendak membahas topik serius itu. Mari mengenang kembali bagaimana kita menikmati buka bersama dimasa lalu, seperempat abad yang lalu. Semasa SMA, buka bersama telah menjadi agenda tahunan sekolah kami setiap Ramadan. Ia adalah proyek besar and we took it very seriously.
Biasanya sekolah mengumumkan hari buka bersama diawal bulan puasa, paling tidak seminggu sebelum hari H. Sejak itu, proyek maha penting dengan kode 'BuBar' dicanangkan. Setiap wali kelas adalah project owner dan ketua kelas adalah project manager. Pada hari itu juga, seusai jam pelajaran, sang project owner masuk kelas untuk memimpin rapat pertama proyek 'BuBar'.
Target kita sudah jelas, buka bersama ini haruslah merupakan yang terbaik dan kelas kita mesti menjadi yang terbaik, mengalahkan kelas-kelas lain. Padahal, tidak ada kompetisi resmi antar kelas. Tidak ada segerombolan chef professional yang menjadi dewan juri yang akan masuk ke kelas masing-masing untuk mencicipi kuliner yang disajikan serta mencemooh presentasinya. Tiada hadiah piala atau uang berjuta untuk kelas dengan buka bersama terbaik.
Namun tetap saja setiap kelas bertekad bulat untuk melaksanakan jamuan terbaik tanpa cela, semua dipersembahkan untuk semua warga kelas dan guru-guru yang ikut berbuka bersama kita. Jangan beri peluang kelas lain menggunjingkan hal negatif tentang acara buka puasa kelas kita.
Hari-hari berikutnya menjelang hari H diliputi atmosfir persiapan buka bersama. Sepanjang waktu istirahat atau disela pergantian guru, ketua kelas sang project manager terus melakukan koordinasi.
Menu buka bersama ditetapkan, mulai dari pabukoannya, menu makan malam utama dan pencuci mulut. Disepakati pula makanan mana yang akan kita masak, mana yang harus dibeli. Siapa memasak apa dan siapa membeli apa.
Begitu menu disepakati, urusan tak kalah penting berikutnya adalah pendanaan. Sumber utama pastilah iuran para siswa. Agar iuran tidak terlalu memberatkan, maka diusahakan makanan yang dibeli sesedikit mungkin. Sedapat mungkin makanan-makanan itu kita masak sendiri. Kami galakkan pula para siswa untuk membujuk orang tuanya untuk menyumbang makanan tertentu, bukankah memberi makanan orang berbuka itu pahalanya setara dengan pahala orang yang berpuasa, tanpa mengurangi pahala yang berpuasa itu.
Dimasa itu belum ada peralatan makan seperti piring, sendok garpu dan gelas sekali pakai terbuat dari kertas atau plastik. Maka harus ada yang kebagian membawa berlusin-lusin peralatan makan dari rumah mereka. Lebih dari itu, kami juga mengupayakan ruang kelas kami benar-benar tampil beda, sebagaimana restoran bintang lima. Meja kursi ditata sedemikian rupa. Akan ada satu meja VIP yang akan dihias paling indah, tempat para guru yang dialokasikan berbuka dikelas kita menikmati makanannya. Maka ada yang ditugaskan untuk membawa berbagai dekorasi seperti taplak meja, bunga-bunga beserta vasnya, lampu-lampu hias dan lilin warna-warni. Ada pula yang membawa sound system. Karena ini acara istimewa, harus pula diabadikan, salah satu dari kami ditugaskan menjadi tukang kodak. Ia harus bawa kamera sendiri dan rol film 36 jepretan ditanggung bersama.
Source: www.tribunnews.com |
H-1 ditandai dengan intensitas kesibukan kian meningkat. Untuk menu yang akan dimasak, pembelian bahan sudah mulai dilakukan. Sore hari selepas jam sekolah, kawan-kawan yang bertugas sudah mulai meluncur ke pasar membeli bahan-bahan. Bahan-bahan itu dibawa ke rumah yang telah disepakati dapurnya akan diobrak-abrik untuk memasak. Bahan yang sudah dapat dicicil pengolahannya akan dimulai hari itu juga, semisal memotong, menggiling atau mengiris.
Beruntunglah kelas yang punya murid yang orang tuanya punya rumah makan. Kelas kami adalah salah satunya. Dengan senang hati ia menawarkan diri memasak menu utama berupa rendang, ayam goreng dan gulai cubadak. Bahan-bahanpun mereka yang membelikan, kami tinggal terima beres saja. Ia nyaris tak ambil untung, biaya yang kami keluarkan sama saja dengan kami memasak sendiri. Ini jelas sangat melegakan, kami tinggal memikirkan memasak atau membeli makanan lain yang jauh lebih ringan.
Pagi-pagi dihari H, suasana baralek semakin kental. Murid-murid yang kebagian menyediakan berbagai peralatan telah mulai membawanya pagi itu. Kami belajar ditengah-tengah tumpukan barang pecah belah. Ada tumpukan piring, mangkok, panci, gelas dan sendok garpu. Lampu hias, vas bunga, taplak meja diparkir dipojok belakang.
Begitu pelajaran hari itu usai, panitia seksi tempat dan dekorasi langsung beraksi. Meja kursi ditata sesuai dengan lay-out yang telah disepakati. Meja VIP dirias sedemikian rupa. Meja yang lain dibaris memanjang atau melingkar.
Semakin sore semakin rame. Yang bertugas memasak atau berbelanja ke pasa mambo mulai berdatangan. Berbagai macam honda datang dan pergi membawa makanan atau peralatan. Ada honda astrea, honda suzuki, honda yamaha, honda vespa pun ada. Memang tak dapat dihindari yang punya honda memang harus dikerahkan sebagai transportasi utama antar jemput makanan dan peralatan bahkan orang. Teman-teman yang memasak dengan penuh semangat dan dikejar waktu, juga dijemput oleh honda-honda itu. Sudah sepatutnya jerih payah mereka dibalas sedikit dengan memberi kenyamanan tumpangan honda. Sungguh durhaka bagi yang membiarkan mereka berjalan kaki ke sekolah dalam keadaan letih dan berpuasa.
Tidak cukup honda, bendipun beraksi. Terutama untuk mengangkut yang besar-besar yang sulit diseimbangkan diatas honda, semacam termos nasi raksasa, panci besar berisi gulai cubadak, belanga gadang penuh rendang. Dari pada gigit jari karena makanan tumpah dijalan, tak apalah berbagi rezeki dengan kusir bendi.
Kurang dari seperempat jam menuju bedug maghrib, situasi semakin kalang kabut, hiruk pikuk. Ada saja yang tidak berjalan sesuai rencana. Sudah payah habis-habisan mendekorasi ruangan, eh lampu kelap kelip tak bisa menyala. Semua makanan utama telah siap disantap, pabukoan belum juga tibo. Telah siap segala sesuatunya, makanan minuman sudah sedia, semua orang telah duduk manis menghitung masa, tiba-tiba gelap gulita. Rupanya, colokan sound system korslet pula.
Akhirnya, detik-detik yang dinanti itu tiba. Bedug ditabuh dan azan berkumandang dari segala penjuru. Dari masjid dan surau sekeliling sekolah, dari surau sekolah dan dari radio yang diputar di kelas-kelas. Sesaat segarnya es buah atau cindua melewati kering kerongkongan, sontak hilang dahaga menguap penat. Itulah saat-saat paling membahagiakan, bersama menikmati buah kerja bersama. Yang nampak muka-muka cerah belaka. Maka nikmat-Nya mana lagi yang kau dustakan.
Selepas sesi berbuka, sebagian besar beranjak ke surau sekolah dibelakang perpustakaan untuk menunaikan shalat maghrib. Namun banyak juga yang segera lanjut menghajar hidangan utama, nasi dan lauk pauknya. Dari pada shalat tak khusyuk membayangkan makanan, baiknya makan sambil memikirkan shalat. Begitu kilah diplomatis mereka.
Selepas maghrib, hanya ada tiga mata acara yaitu makan, makan dan makan lagi. Banyak yang melahap hidangan seperti kesurupan, terutama murid laki-laki, seakan tak ada hati esok. Namun setelah kerja keras berhari-hari, mungkin layak mereka menikmatinya.
Satu jam berlalu selepas maghrib, keadaan mulai beranjak tenang. Tidak ada lagi pemandangan orang-orang kalap berpesta. Berganti dengan wajah-wajah lelah kekenyangan. Tarangah.
Mereka duduk-duduk bercengkerama, tapi tak bisa lama-lama. Ketua kelas sang project manager mulai memberi komando untuk berkemas-kemas. Satu persatu mulai bergerak malas. Tidak ada pilihan lain, kecuali kalau mereka mau menginap di kelas.
Hiruk pikuk kembali. Segala dekorasi dan hiasan ditanggalkan. Segala peralatan pecah belah dikumpulkan. Makanan tersisa dibungkus untuk dibawa pulang. Meja kursi ditata seperti sedia kala, sebagaimana layaknya ruang kelas. Pasukan honda mulai hilir mudik mengantar orang dan barang. Tidak ada lagi bendi dimalam hari.
Aku sampai dirumah jauh malam. Adikku melaporkan bahwa tadi beberapa anak SMA datang pakai honda mengantar makanan. Itulah barokah Ramadan untuk anak kos.
Comments