Ramadan tempo doeloe (18): Kue rayo
Disebut kue rayo karena kami membuatnya spesial untuk hari raya, diluar itu tidak pernah. Kadang kami menyebutnya kue mentega, karena bahan utamanya adalah mentega atau margarine dari merek yang melegenda, Blue Band. Ia sebenarnya adalah kue kering atau cookies yang dibuat dengan berbagai kombinasi adonan dan dicetak dengan bentuk berbagai rupa. Kue mentega sebenarnya bukanlah makanan lebaran yang paling diminati, ia sebenarnya kalah pamor dari kacang goreng, kacang tojin, kue bawang, galamai atau lamang tapai. Tapi bagaimanapun ia harus ada, karena namanya kue rayo.
Seingatku, selain mentega, bahan lainnya adalah tepung terigu, tepung jagung, gula, telur, kelapa parut, serbuk kakao (coklat), kayu manis, vanilla, serta berbagai asesoris yang mempercantik seperti butiran coklat (meisis), almond, kismis dan sebagainya.
Membuat kue rayo adalah proyek sehari penuh, dimulai selepas subuh dan baru selesai jelang berbuka. Tentu saja Ibu adalah pimpinan proyeknya, project owner merangkap project manager. Sementara kami berempat, Abak dan tiga anak, adalah anggota project team dengan berbagai spesialisasi. Abak dan aku membantu untuk pekerjaan-perkerjaan yang lebih mengandalkan tenaga tanpa banyak mikir, seperti mengocok telur, mengaduk adonan hingga mengembang sempurna, mengikis kulit kayu manis kering menjadi bubuk cinnamon, mengiris-iris kismis dan mencuci alat-alat. Pekerjaan-pekerjaan lain yang memerlukan kehalusan tangan, ketekunan, perasaan dan ketelitian seperti mencetak atau membentuk kue, menambahkan hiasan serta memanggang di oven adalah bagian Ibu dibantu dua adik perempuanku. Pernah Abak dan aku mencobanya, hasilnya Ibu justru menggerutu karena kuenya menjadi rusak, bentuknya yang tidak konsisten atau hangus kelamaan di oven. Sementara itu, perihal takaran komposisi bahan-bahan adalah sepenuhnya hak prerogatif Ibu yang tak dapat diganggu gugat.
Seingatku, selain mentega, bahan lainnya adalah tepung terigu, tepung jagung, gula, telur, kelapa parut, serbuk kakao (coklat), kayu manis, vanilla, serta berbagai asesoris yang mempercantik seperti butiran coklat (meisis), almond, kismis dan sebagainya.
Membuat kue rayo adalah proyek sehari penuh, dimulai selepas subuh dan baru selesai jelang berbuka. Tentu saja Ibu adalah pimpinan proyeknya, project owner merangkap project manager. Sementara kami berempat, Abak dan tiga anak, adalah anggota project team dengan berbagai spesialisasi. Abak dan aku membantu untuk pekerjaan-perkerjaan yang lebih mengandalkan tenaga tanpa banyak mikir, seperti mengocok telur, mengaduk adonan hingga mengembang sempurna, mengikis kulit kayu manis kering menjadi bubuk cinnamon, mengiris-iris kismis dan mencuci alat-alat. Pekerjaan-pekerjaan lain yang memerlukan kehalusan tangan, ketekunan, perasaan dan ketelitian seperti mencetak atau membentuk kue, menambahkan hiasan serta memanggang di oven adalah bagian Ibu dibantu dua adik perempuanku. Pernah Abak dan aku mencobanya, hasilnya Ibu justru menggerutu karena kuenya menjadi rusak, bentuknya yang tidak konsisten atau hangus kelamaan di oven. Sementara itu, perihal takaran komposisi bahan-bahan adalah sepenuhnya hak prerogatif Ibu yang tak dapat diganggu gugat.
Source: www.suksesbisnisusaha.com |
Sepanjang proses pembuatan kue rayo, ada saja bahan yang kurang atau Ibu lupa membeli, maka tugasku juga untuk mengayuh sepeda mini biru legendarisku ke kedai Pak Safar. Kadang aku harus ngebut, kata Ibu menunggu terlalu lama dapat merusak adonan. Untungnya, kedai Pak Safar adalah langganan Ibu. Kami tidak lagi perlu membayar tunai semua yang dibeli sepanjang bulan. Apapun yang kami beli akan dicatat dalam buku besar Pak Safar dan secarik kertas yang menjadi nota untuk kami simpan. Setelah Ibu gajian diawal bulan, membayar hutang kepada kedai Pak Safar atas belanja rumah tangga sebulan terakhir adalah pengeluaran wajib. Dengan demikian, transaksi bahan kue pun dapat berlangsung sangat cepat dan aku segera putar balik pulang.
Proyek kue rayo sepenuhnya kami kerjakan manual dengan alat-alat sederhana. Dimasa itu belum ada mixer dan blender listrik atau oven listrik. Untuk pencampur dan pengaduk adalah alat pengaduk berbentuk spiral terbuat dari kawat. Ada beberapa ukuran alat itu, dari yang kecil untuk mengaduk sebutir telur hingga yang besar untuk mengaduk dan mencampur adonan kue dipanci besar. Ini adalah no-brain job, yang diperlukan adalah kekuatan lengan semata. Adonan selalu dimulai dengan telur yang ringan, lalu ditambahkan mentega, adonan mulai kental. Puncaknya bila tepung terigu telah pula dimasukkan, adonan semakin solid dan semakin berat untuk mengaduknya.
Proses pencetakan dan pembentukan kue juga dilakukan manual mengandalkan keahlian tangan, kesabaran dengan bantuan alat-alat sederhana. Tidak ada mesin atau alat-alat listrik. Ada kue yang adonannya diratakan terlebih dahulu membentuk lapisan setipis setengah sentimenter. Hal ini dilakukan dengan bantuan roller kayu. Lalu kue-kue itu dibentuk dengan cetakan terbuat dari seng berbagai rupa. Hasilnya adalah cookies berbentuk kupu-kupu atau berbagai macam bunga.
Ada pula alat pencetak kue yang cukup canggih karena berbagai macam desain dapat dihasilkannya, namun tetap harus didukung keahlian tangan. Bagiku bentuknya seperti pistol. Bagian utamanya adalah sebuah silinder sepanjang dua puluh sentimeter dengan diameter sekitar lima atau enam sentimeter, didalamnya ada plat lingkaran yang berfungsi menekan adonan kebawah. Adonan kue dimasukkan ke dalam silinder itu. Bagian yang seperti gagang pistol terdiri dari dua bilah yang bila didekatkan dengan menggenggam keduanya, seperti rem tangan sepeda, ia akan menekan plat lingkaran didalam silinder kebawah sehingga adonan akan keluar. Bentuk cookie yang dihasilkan tergantung pada pola cetakan pada dasar silinder itu serta keahlian tangan ketika adonan itu perlahan keluar dan langsung ditempatkan pada baki atau nampan (tray) oven.
Untuk memanggang cookies kami menggunakan oven yang terbuat dari plat besi atau seng. Bentuknya seperti kubus dengan rusuk sepanjang lima puluh hingga enam puluh sentimeter. Pintunya ada disalah satu sisi vertikal dan pintu itu didominasi oleh kaca bening untuk memonitor pemanggangan cookies. Diperlukan pula bantuan lampu baterai (senter) untuk melongok kedalam. Oven itu cukup untuk menampung tiga baki sekali bakar. Sekali lagi tidak ada listrik. Energi panas oven itu berasal dari kompor minyak tanah. Jadi oven itu diletakkan diatas kompor dan lidah api dari kompor itulah yang diteruskan kesekujur badan oven dan memanggang cookies didalamnya. Tentu saja oven itu tidak punya sembarang tombol untuk mengatur temperatur atau parameter lainnya. Semuanya tergantung sepenuhnya pada feeling Ibu. Satu-satunya yang dapat diatur adalah besar kecilnya nyala api kompor.
Untuk menghasilkan nyala api terbaik, biru tanpa jelaga, kompor haruslah bersih maksimal, terutama sumbu dan minyak tanahnya. Maka adalah tugas Abak untuk membersihkannya setelah sekian lama tak dipakai. Kompor itu jarang dipakai karena Ibu menggunakan kayu bakar untuk memasak sehari-hari. Keseluruhan kompor itu dibongkar dan dicuci menggunakan minyak tanah bersih, agar karat-karat hilang. Sumbu-sumbu pun dirapikan, ujung yang berjelaga dipangkas. Sumbu yang telah terlalu pendek diganti dengan yang baru. Setelah bagian-bagian kompor itu disatukan kembali, tangki minyaknya diisi dengan minyak tanah yang sepenuhnya baru. Dan, komporpun siap mengabdi untuk misi pembuatan kue rayo.
Cookies yang telah sempurna pemanggangannya, dikeluarkan dari oven dan didinginkan. Untuk desain-desain tertentu, proses masih dilanjutkan dengan memberi hiasan atau asesoris diatasnya. Setelah itu cookies itu dipindahkan toples-toples yang telah disediakan dan siap dipamerkan dimeja tamu. Toples biasanya tak cukup untuk menampung semuanya, cookies-cookies itu juga disimpan didalam kaleng-kaleng biskuit Khong Guan, Nissin atau Le Monde.
Pembuatan kue rayo adalah proyek yang menguras tenaga dan masa, baru selesai jelang maghrib. Karenanya hari itu kami berbuka seadanya, tanpa pabukoan, cukup teh manis, nasi panas dan lauk-pauk sisa sahur.
Proyek kue rayo sepenuhnya kami kerjakan manual dengan alat-alat sederhana. Dimasa itu belum ada mixer dan blender listrik atau oven listrik. Untuk pencampur dan pengaduk adalah alat pengaduk berbentuk spiral terbuat dari kawat. Ada beberapa ukuran alat itu, dari yang kecil untuk mengaduk sebutir telur hingga yang besar untuk mengaduk dan mencampur adonan kue dipanci besar. Ini adalah no-brain job, yang diperlukan adalah kekuatan lengan semata. Adonan selalu dimulai dengan telur yang ringan, lalu ditambahkan mentega, adonan mulai kental. Puncaknya bila tepung terigu telah pula dimasukkan, adonan semakin solid dan semakin berat untuk mengaduknya.
Proses pencetakan dan pembentukan kue juga dilakukan manual mengandalkan keahlian tangan, kesabaran dengan bantuan alat-alat sederhana. Tidak ada mesin atau alat-alat listrik. Ada kue yang adonannya diratakan terlebih dahulu membentuk lapisan setipis setengah sentimenter. Hal ini dilakukan dengan bantuan roller kayu. Lalu kue-kue itu dibentuk dengan cetakan terbuat dari seng berbagai rupa. Hasilnya adalah cookies berbentuk kupu-kupu atau berbagai macam bunga.
Ada pula alat pencetak kue yang cukup canggih karena berbagai macam desain dapat dihasilkannya, namun tetap harus didukung keahlian tangan. Bagiku bentuknya seperti pistol. Bagian utamanya adalah sebuah silinder sepanjang dua puluh sentimeter dengan diameter sekitar lima atau enam sentimeter, didalamnya ada plat lingkaran yang berfungsi menekan adonan kebawah. Adonan kue dimasukkan ke dalam silinder itu. Bagian yang seperti gagang pistol terdiri dari dua bilah yang bila didekatkan dengan menggenggam keduanya, seperti rem tangan sepeda, ia akan menekan plat lingkaran didalam silinder kebawah sehingga adonan akan keluar. Bentuk cookie yang dihasilkan tergantung pada pola cetakan pada dasar silinder itu serta keahlian tangan ketika adonan itu perlahan keluar dan langsung ditempatkan pada baki atau nampan (tray) oven.
Untuk memanggang cookies kami menggunakan oven yang terbuat dari plat besi atau seng. Bentuknya seperti kubus dengan rusuk sepanjang lima puluh hingga enam puluh sentimeter. Pintunya ada disalah satu sisi vertikal dan pintu itu didominasi oleh kaca bening untuk memonitor pemanggangan cookies. Diperlukan pula bantuan lampu baterai (senter) untuk melongok kedalam. Oven itu cukup untuk menampung tiga baki sekali bakar. Sekali lagi tidak ada listrik. Energi panas oven itu berasal dari kompor minyak tanah. Jadi oven itu diletakkan diatas kompor dan lidah api dari kompor itulah yang diteruskan kesekujur badan oven dan memanggang cookies didalamnya. Tentu saja oven itu tidak punya sembarang tombol untuk mengatur temperatur atau parameter lainnya. Semuanya tergantung sepenuhnya pada feeling Ibu. Satu-satunya yang dapat diatur adalah besar kecilnya nyala api kompor.
Untuk menghasilkan nyala api terbaik, biru tanpa jelaga, kompor haruslah bersih maksimal, terutama sumbu dan minyak tanahnya. Maka adalah tugas Abak untuk membersihkannya setelah sekian lama tak dipakai. Kompor itu jarang dipakai karena Ibu menggunakan kayu bakar untuk memasak sehari-hari. Keseluruhan kompor itu dibongkar dan dicuci menggunakan minyak tanah bersih, agar karat-karat hilang. Sumbu-sumbu pun dirapikan, ujung yang berjelaga dipangkas. Sumbu yang telah terlalu pendek diganti dengan yang baru. Setelah bagian-bagian kompor itu disatukan kembali, tangki minyaknya diisi dengan minyak tanah yang sepenuhnya baru. Dan, komporpun siap mengabdi untuk misi pembuatan kue rayo.
Cookies yang telah sempurna pemanggangannya, dikeluarkan dari oven dan didinginkan. Untuk desain-desain tertentu, proses masih dilanjutkan dengan memberi hiasan atau asesoris diatasnya. Setelah itu cookies itu dipindahkan toples-toples yang telah disediakan dan siap dipamerkan dimeja tamu. Toples biasanya tak cukup untuk menampung semuanya, cookies-cookies itu juga disimpan didalam kaleng-kaleng biskuit Khong Guan, Nissin atau Le Monde.
Pembuatan kue rayo adalah proyek yang menguras tenaga dan masa, baru selesai jelang maghrib. Karenanya hari itu kami berbuka seadanya, tanpa pabukoan, cukup teh manis, nasi panas dan lauk-pauk sisa sahur.
Comments