Ramadan tempo doeloe (19): Long distance massage

Pada suatu hari dibulan Ramadan, hujan turun sangat lebatnya.  Selokan kecil dibelakang rumah tak mampu menampung debit air dan airpun melimpah menggenangi dapur kami.  Tidaklah tinggi sebenarnya, paling-paling semata kaki.  Namun cukup membuat lantai dapur menjadi licin.  Mujur tak dapat diraih, malangpun tak dapat ditolak.  Ibu tergelincir dan tangan kanannya secara refleks bertumpu ke lantai.  Sayangnya, Ibu tak muda lagi, tangan ibu tak cukup kuat menahan tubuhnya.  Pergelangan Ibu patah.

Tidak ada dokter ahli orthopedi di kabupaten kami.  Seingatku pada masa itu, selain para dokter umum di Puskesmas setiap kecamatan dan Rumah Sakit Umum di Sungai Penuh, hanya ada dokter ahli penyakit dalam.  Itupun hanya satu atau dua orang saja.  Baru ada satu atau dua dokter gigi.  Meski gigi keras bagai tulang, tapi dokter gigi tak dapat mengobati patah tulang pergelangan lengan.  Untuk pelayanan kesehatan lebih intensif oleh berbagai dokter spesialis, Padang adalah kota terdekat.  Dua ratus tujuh puluh kilometer jauhnya.  Delapan hingga sepuluh jam perjalanan darat, menyusuri lekuk lembah, ngarai dan gunung sepanjang Bukit Barisan.

Untuk kasus patah tulang, hampir selalu ditangani tukang urut spesialis patah tulang.  Adalah suatu kebetulan bahwa Ibu punya tetangga tukang urut spesialis tulang.  Ia sebenarnya suami dari kolega Ibu sesama guru.  Dengan begitu tangan Ibu mendapat penanganan segera.  Namun demikian, untuk orang seusia Ibu, pemulihan patah tulang tak akan secepat anak-anak atau orang muda.

Pastinya musibah patah pergelangan tangan Ibu mempengaruhi suasana puasa kami kala itu.  Kami tentu harus lebih realistis, menurunkan ekspektasi kami pada kualitas berbuka dan sahur kami.

Dan proyek tahunan kue rayo pun terancam gagal total tahun ini.  Untunglah tiba bala bantuan.  Mak Inal, adik laki-laki Ibu yang bungsu datang berkunjung untuk membezuk, setelah sampai kabar padanya akan musibah Ibu.  Ia bermalam beberapa hari.  Kesempatan itu tak kami sia-siakan.  Ibu segera memberdayakan Mak Inal sebagai tenaga utama pembuatan kue rayo.  Posisi Ibu sebagai project owner sekaligus project manager tetap tak tergantikan, namun Ibu kini lebih banyak menggunakan mulutnya untuk memberi instruksi ketimbang tangannya.  Jelang maghrib, proyekpun selesai.  Lagi-lagi, kami perlu menurunkan ekspektasi.  Kualitas cookies buatan kami tidaklah sebaik sentuhan langsung tangan Ibu.  Yang penting, lebaran tetap tiba tahun itu karena kami tetap punya kue rayo.

Menjelang hari raya, tukang urut Ibu pulang ke kampungnya di Siulak, lima puluh kilometer ke utara jauhnya dari kampung kami.  Timbul masalah baru, pergelangan tangan Ibu harus diurut secara rutin, kalau tak dapat setiap hari, setidaknya sekali dalam dua hari.  Apa akal? Haruskah Ibu pindah ke tukang urut lain?

Solusi dari sang tukang urut sungguh mencengangkan.  Menurutnya Ibu tak perlu mencari pengganti tukang urut, ia tetap akan mengurut tangan Ibu secara rutin seperti biasa, secara jarak jauh.  Modus operandinya adalah dikampungnya ia akan mengurut kaki seekor ayam, pada saat uang bersamaan hakikatnya pergelangan tangan ibu sedang ia urut.  Katanya Ibu akan merasakan bahwa pergelangan tangannya sedang diurut. Jangan minta aku menjelaskan bagaimana hal itu mungkin terjadi, aku pun tak mengerti.

Ketika Ibu kami tanyakan apakah ia merasakan bahwa pergelangan tangannya diurut jarak jauh, Ibu meyakini kebenarannya karena pada saat tertentu pergelangannya berdenyut-denyut atau terasa sakit seolah-olah sedang ada yang mengurut.  Wallahu'alam....

Comments

Popular posts from this blog

Lampu togok dan lampu strongkeng

Kopi cap "Rangkiang", kue sangko & saudagar tembakau

TV Pertama Kami (bagian 3)