Ramadan tempo doeloe (20) : Galamai juara dunia

Satu lagi kuliner khas bulan Ramadan, dalam bahasa Minang kami menyebutnya galamai.  Ditempat lain ia dinamakan jenang atau dodol.  Galamai biasa dibuat dalam rangka hari-hari istimewa seperti baralek dan tentu saja hari raya.

Galamai dibuat dari tiga bahan utama yaitu tepung beras ketan, santan kelapa dan gula enau (aren).  Karena tidak mudah mendapatkan gula enau, kami biasanya menggunakan gula jawa yang terbuat dari tebu.  Ia dapat digantikan pula oleh gula kelapa.  Namun gula enau tetap memberikan cita rasa terbaik.

Sebagaimana kue rayo, membuat galamai adalah proyek besar, menguras tenaga dan masa seharian.  Dibandingkan membuat cookies, pembuatan galamai lebih berat, memerlukan pekerja kuat bertenaga kuda.  Karena itulah pembuatan galamai lebih sering dilakukan dengan bergotong royong sesama anggota sebuah keluarga besar atau bersama jiran tetangga.  Setiap keluarga berkontribusi sejumlah tertentu untuk membeli bahan-bahan serta menyumbang tenaga pada hari-h pembuatan galamai. 

Memasak galamai partai besar secara berkelompok tentu memerlukan peralatan-peralatan raksasa.    Wadah tempat memasaknya adalah sebuah kuali besi sangat besar yang biasa digunakan untuk memasak rendang atau gulai cubadak bila ada keluarga yang baralek (pesta atau kenduri).  Drmikian besarnya kuali raksasa itu, kadang disebut kawah. Dapur rumah biasa tak memadai, maka memasak galamai dilakukan diluar rumah.  Kawah dijerangkan diatas tungku yang terdiri dari tiga batu besar.  Ia mestilah duduk dengan mantap dan kokoh tak bergerak bila nanti para pemasak harus mengaduk galamai kental dengan kekuatan ekstra.  Untuk kekokohan maksimal memang diperlukan tepat tiga batu sebagai tungku.

Bahan bakarnya adalah kayu bakar, yang terbaik adalah batang kayu manis (casia vera atau cinnamon) yang telah kering.

Untuk melindungi para chef itu dari terik matahari, biasanya di pasangkan atap sementara dari plastik.

Pengaduknya adalah logam pipih seperti spatula didapur, tapi yang ini diberi tangkai panjang.  Bisa juga menggunakan bilah bambu panjang yang ujungnya dibentuk seperti spatula.

Pekerjaan paling berat adalah mengaduk adonan galamai tanpa henti hingga sempurna masaknya.  Sebenarnya pekerjaan memarut kelapa dan memeras santan juga berat dan melelahkan bila dilakukan manual, tetapi dimasa itu sudah ada mesin pemarut kelapa bertenaga generator diesel kecil.  Mula-mula pengadukan enteng saja, saat santan dan tepung beras ketan dimasak perlahan.  Ketika santan dan tepung mulai matang dan mengental, gula enau atau gula jawa dimasukkan secara bertahap.  Lama-kelamaan, seiring dengan perubahan warna menuju coklat tua, adonan kian kental dan berat untuk diaduk.  Ketika galamai mendekati sempurna masaknya, ia semakin kental dan lengket.  Benar-benar diperlukan tenaga ekstra untuk menarik dan mendorong tangkai pengaduk.

Biasanya proyek galamai ini dimulai setelah Subuh dan saat galamai mendekati masak sempurna disekitar waktu Zuhur, matahari memanggang dengan teriknya.  Adonan galamai semakin kental, tapi mengaduk tak boleh berhenti.  Itulah saat dimana godaan terbesar tiba untuk membatalkan puasa bagi para pembuat galamai.  Dan memang jamaknya yang terjadi adalah para chef galamai itu kalah dan membatalkan puasanya.  Entah mengapa mereka tak mau memasak galamai dimalam hari.  Mungkin karena gelap dan listrik PLN sering mati atau biar ada kesempatan untuk tak berpuasa...?

Abak adalah penganut garis keras dari mazhab yang meyakini bahwa galamai harus ada disetiap hari raya.  Namun Abak tak sudi bergabung ke salah satu grup pemasak galamai itu.  Apa pasal? Paling tidak ada dua alasan.

Pertama, Abak tak rela membatalkan puasa hanya karena kehausan mengaduk galamai.

Kedua, dan ini adalah yang paling fundamental, bagi Abak galamai hasil gotong royong kelompok-kelompok itu adalah galamai bermutu rendah karena ia dimasak secara tergesa-gesa dengan api besar.  Masaknya terpaksa dan tidak sempurna.  Galamai itu tidak tahan lama.

Demi menghasilkan galamai kualitas premium, tidak ada pilihan lain, Abak harus memasaknya sendiri.  Dan itulah yang Abak lakukan setiap tahun.  Sebab kami memerlukan galamai dalam kuantitas kecil saja maka kuali besi yang biasa dipakai Ibu memasak rendang telah memadai.  Abak pun begadang di dapur, mulai memasak galamai kami selepas Isya dan baru selesai selepas subuh bahkan hingga fajar menyingsing esok harinya.  Hasilnya, tidaklah sia-sia, galamai kualitas nomor satu, rasanya juara dunia.  Demikian setidaknya pendapat kami sekeluarga.

Comments

Popular posts from this blog

Lampu togok dan lampu strongkeng

Kopi cap "Rangkiang", kue sangko & saudagar tembakau

TV Pertama Kami (bagian 3)