Ramadan tempo doeloe (21): Warung nasi Buk Inah

Buk Inah adalah perempuan tua pemilik warung nasi di Jalan Mantarena, sekitar tiga puluh meter saja dari gedung SMA 2 Bogor.  Dugaan saya, dua puluh tahun silam usianya paling tidak sudah lima puluh lima tahun.  Warung kecilnya menempel ke tembok sisi kanan dari Toko Terang, dekat dengan lapangan tenis yang persis dibelakang toko.  Warung itu sederhana sekali.  Ada satu etalase tempat meletakkan makanan, ada dua kompor yang digunakan Buk Inah untuk memasak sepanjang hari dan satu termos besar nasi.  Ada dua set meja dan bangku panjang yang disusun membentuk huruf L.  Meja yang lebih panjang diletakkan merapat ke tembok kanan toko Terang.  Lauk-pauk yang dipajang di etalasenya standar warung nasi Sunda.  Ada ayam goreng, empal daging, ikan, tempe, sayur lodeh, lalapan, oncom, kerupuk dan telor ceplok.

Buk Inah barangkali adalah orang yang paling besar jasanya kepada anak-anak penghuni Asrama Mahasiswa Jambi dibelakang Pasar Devries, Mantarena.  Hampir semua penghuni asrama lintas angkatan adalah pelanggan tetap Buk Inah.  Yang berhenti berlangganan  biasanya mahasiswa tahun-tahun akhir yang tidak punya jadwal kuliah tetap lagi.  Mereka menjadi mobile, mengunjungi berbagai tempat untuk waktu tak tentu, karena KKN, praktek lapangan, mengerjakan penelitian atau ikut proyek dosen. 

Kesepakatannya kami membayar bulanan untuk dua kali makan dalam sehari, satu macam lauk ditambah sayur.  Namun prakteknya tidak selalu begitu.  Malah lebih sering Buk Inah menambahkan sepotong tempe atau kerupuk atau oncom atau bahkan telor ceplok.  Bahkan Buk Inah tak menghitung berapa kali seorang anak asrama datang kewarungnya untuk makan atau membungkus makanan.  Mau datang tiga kali seharipun Buk Inah tak pernah protes.

Buk Inah baru akan bertanya bila ada mahasiswa langganannya yang dua tiga hari tak tampak batang hidungnya. "Neng Budi mana, Neng? Kok lama nggak keliatan."  Buk Inah memanggil semua anak asrama dengan panggilan "Neng".  Panggilan halus khas Sunda yang mengisyaratkan kasih sayang dan penghormatan.  Biasanya Buk Inah akan menitipkan sebungkus nasi untuk anak yang hilang tak tentu rimbanya itu.

Ada setidaknya dua alasan mengapa anak asrama pada saat tertentu tidak datang ke warung Buk Inah.  Pertama, bosan dengan masakan Buk Inah.  Ini tentu sangat manusiawi.  Alasan kedua adalah wesel dari kampung tak kunjung tiba, terpaksalah menunggak tidak bayar makan kepada Buk Inah.  Malu rasanya minta makan padahal uang makan bulan lalu belum dibayar.  Padahal Buk Inah sama sekali tak pernah bertanya.  Ketika tiba waktu membayar uang makan, Buk Inah bahkan tak menghitung, langsung dimasukkan ke laci.  Tak sekalipun Buk Inah bertanya kenapa terlambat membayar.

Aku membayar lima puluh ribu sebulan dan resminya tetap sebanyak itu selama empat tahun.  Tak pernah Buk Inah minta kenaikan uang makan.  Inflasi tidak relevan bagi Buk Inah.  Biasanya kami sendiri yang berinisiatif menambahkan barang lima sepuluh ribu.  Dan Buk Inah tetap tak berkata apa-apa.

Kadang kala kami pulang terlambat lewat jam makan siang.  Makanan dietalase habis tuntas oleh ramainya orang makan siang itu.  Melihat kami datang, Buk Inah akan menyuruh kami duduk sebentar dan ia akan memasak lauk apapun yang ada, menggoreng potongan ayam terakhir atau sekedar menceplok telor.  Di hari lain, saking ludesnya, Buk Inah kadang meminjam nasi atau telor untuk diceplok dari warung sebelah.  Pokoknya anak-anak asrama harus makan.

Ketika Ramadan tiba, Buk Inah semakin luar biasa, terutama saat makan sahur.  Buk Inah akan memastikan bahwa semua anak-anak asrama kebagian makanan.  Ketika waktu semakin mendekati shubuh, Buk Inah pasti menitipkan makanan untuk anak-anak yang belum juga sampai diwarungnya, kemungkinan ketiduran.

Pada hari-hari akhir Ramadan, asrama mulai sepi, lebih dari dua per tiga penghuni pulang kampung.  Hari-hari itu menjadi paling kritis bagi penghuni yang tersisa, resiko malalu karena ketiduran semakin besar.  Tiba-tiba pintu depan asrama diketok keras, "Assalamualaikum...punten....".  Rupanya tukang becak yang biasa mangkal didekat warung Buk Inah.  Tangannya menjinjing kantong plastik hitam besar.  Isinya adalah nasi bungkus dari Buk Inah sejumlah anak asrama yang tertinggal di Bogor, tidak pulang kampung karena berbagai alasan.

Satu lagi tentang Buk Inah, salah satu cucu perempuannya dipersunting oleh seorang penghuni asrama.  Sering kami berkelakar, bagaimanapun kebaikan Buk Inah takkan pernah terbalaskan, meski kita telah serahkan satu penghuni sebagai tumbal.

Terima kasih, Buk Inah.  Biar Allah saja yang membalas segala kebaikan Ibu dengan kebaikan yang berlipat-lipat, dianugerahi-Nya kesehatan, kesejahteraan dan kebahagian dihari senja.

Comments

Popular posts from this blog

Lampu togok dan lampu strongkeng

Kopi cap "Rangkiang", kue sangko & saudagar tembakau

TV Pertama Kami (bagian 3)