Ramadan tempo doeloe (22) : Rendang ningrat
Selain galamai (Ramadan tempo doeloe (20) : Galamai juara dunia http://kabacarito.blogspot.com/2016/06/ramadan-tempo-doeloe-20-galamai-juara.html) dan berbagai jenis kue rayo (Ramadan tempo doeloe (18): Kue rayo http://kabacarito.blogspot.com/2016/06/ramadan-tempo-doeloe-18-kue-rayo.html), makanan utama sebangsa nasi dan kamwan-kawan mestilah pula istimewa dihari raya. Bagi kami istimewa artinya makan nasi dengan lauk daging. Hanya empat kali setahun kami menikmati daging, yaitu saat kenduri sko, awal puasa, hari raya Idul fitri dan Idul Adha. Ramadan sungguh istimewa, kami makan daging diawal dan diakhirnya. Daging tidak kami beli dipasar, melainkan dusun kami diempat kesempatan itu menyembelihkan satu atau dua ekor kerbau (kadang sapi tapi jarang) dan dagingnya dinikmati oleh seluruh warga tanpa terkecuali. Berpalinglah sejenak kesini (Mambantai dan Makan Daging Empat Kali Setahun http://kabacarito.blogspot.com/2013/07/makan-daging-empat-kali-setahun.html), untuk kisah suasana penyembelihan kerbau.
Setiap ekor kerbau yang disembelih, dagingnya dibagi dua bagian, yaitu daging wajib dan daging lelang. Daging wajib artinya diwajibkan bagi setiap keluarga untuk membeli paling tidak satu onggok. Harganya pastilah dibawah harga pasar. Kampung jelas jual rugi untuk daging wajib ini. Dengan ini kami memastikan bahwa setiap orang, miskin kaya, bapitih indak bapitih, tidak ada yang ketinggalan untuk makan daging dihari istimewa. Adapun daging lelang adalah bagian yang dilelang keseluruh warga. Yang berhak membawa pulang adalah yang menawarkan harga tertinggi. Dari sinilah kampung kami mendapatkan keuntungan dari setiap penyembelihan, lebih dari cukup untuk menutup jual rugi daging wajib.
Proses pelelangan adalah atraksi paling menarik, selain prosesi penyembelihan itu sendiri. Mengasyikkan sekali menyaksikan persaingan memperebutkan daging atau bagian hewan yang dilelang itu. Kepala kerbau, kaki dan ekor adalah bagian-bagian yang pelelangannya berlangsung paling sengit. Saya dapat merasakan bahwa pamer dan pamor memainkan peranan disini. Pemenang lelang, terutama kepala, akan 'tersebut' namanya dan menjadi buah bibir untuk waktu yang lama, setidaknya hingga penyembelihan berikutnya.
Pada hari mambantai, Ibu tinggal dirumah, menyibukkan diri dengan mempersiapkan bumbu memasak daging. Kami berempat, Abak dan tiga anak, berangkat ketanah lapang dimana mambantai diadakan, dengan motivasi sepenuhnya berbeda. Misi Abak sangat jelas, selain mengambil daging wajib jatah keluarga kami, Abak juga ditugaskan untuk memenangkan lelang daging padat dan kalau dapat ditambah hati. Pasalnya adalah rendang merupakan masakan daging yang wajib hukumnya tersedia dihari raya dan daging wajib tidak layak dibuat rendang. Daging wajib terdiri dari daging kualitas nomor dua yang tidak padat dan kadang bercampur gajih lalu dicampur pula dengan jeroan. Sementara bagi kami anak-anak, motivasinya adalah melihat prosesi penyembelihan kerbau dan menikmati keramaian.
Setiba dirumah, bumbu-bumbu sudah siap. Daging padat dan hati kerbau perolehan lelang sehera dibersihkan dan dipotong-potong. Sementara Ibu mulai memasak santan dan beberapa bumbu. Sebagaimana galamai, untuk mendapatkan rendang kelas ningrat kwalitet nomor satu, mestilah dimasak secara perlahan dengan api kecil namun stabil, sambil sesekali diaduk, begitu terus berjam-jam lamanya hingga rendang berwarna coklat tua. Kalaulah tak sabar hendak mencicipi daging, sebenarnya begitu dagingnya matang, meski kuahnya belum kering, ia sudah bisa dimakan. Tahapan setengah rendang itulah yang disebut kalio.
Bagi kami, rendang yang disajikan di rumah makan-rumah makan, yang berwarna coklat bahkan kadang coklat muda pucat, tidaklah pantas disebut rendang. Itu adalah kalio yang dikeringkan paksa secara tergesa-gesa dengan api besar. Yang mereka lakukan itu adalah sangat jahat dan memalukan, sungguh menodai kesakralan dan martabat rendang asli.
Comments