Ramadan tempo doeloe (9): Malalu
Source: www.dinomarket.com |
Kami tidak punya jam wekker alias jam dengan alarm. Kami mengandalkan jam biologis untuk terjaga setiap pagi pada saat yang sama. Selama bulan Ramadan tentu kami harus bangun lebih awal. Rumah kami jauh dari perkampungan sehingga tidak ada anak-anak muda yang begadang sepanjang malam dan keliling dusun sembari memukul kaleng-kaleng cempreng untuk membangunkan sahur. Jadilah seisi rumah semata-mata mengandalkan jam biologis Ibu yang memang harus bangun paling awal untuk menyiapkan sahur.
Tingkat akurasi jam biologis Ibu sangat tinggi, meski tidak sempurna 100%. Namun Ibu juga manusia, mungkin saja karena terlalu sibuk disiang harinya, Ibu menjadi kelelahan, tidur terlalu lelap dan tidak terjaga pada waktu biasa. Maka jadilah hari itu kami puasa malalu. Malalu adalah bahasa Minang untuk orang yang berpuasa tanpa makan sahur, umumnya karena ketiduran. Sebulan puasa, kami mungkin malalu sekali dua saja. Selain itu kami mungkin satu dua kali nyaris malalu, dimana Ibu baru terbangun beberapa menit saja sebelum masuk waktu subuh. Kalau sudah begitu kami menelan apa saja yang sempat, meski hanya seteguk air putih.
Bila kami malalu, memasuki waktu zhuhur Ibu mulai mengkhawatirkan anak-anaknya dan mulai membujuk agar kami berbuka saja. Namun bagi kami anak-anak, malalu ataupun tidak sesungguhnya tak jauh berbeda. Apalagi bila kami tidak lagi berada di hari-hari awal puasa, malalu boleh dikatakan tidak lagi membawa pengaruh apa-apa. Lagi pula, siapa yang rela kehilangan seratus rupiah hanya karena malalu. Lihat kabacarito: Ramadan tempo doeloe (5): Orang Kaya Baru (OKB).
Ketika kami bertiga bersekolah di Sungai Penuh dan tinggal di rumah kontrakan, Ibu membelikan jam weker. Model klasik yang legendaris. Berbentuk silinder yang ditegakkan diatas sisi lengkungnya. Disisi depannya ada gambar Mickey Mouse. Agar stabil ia diberi tiga kaki kecil. Diatasnya ada dua lonceng seperti dua kubah kecil ditelungkupkan. Diantara kedua lonceng itu ada besi kecil yang berfungsi sebagai martil. Ketika waktu yang ditunjuk tercapai, maka martil kecil itu akan memukul kedua lonceng dengan sangat cepat bergantian, mengeluarkan suara teramat nyaring.
Tidak seperti jam digital masa kini, suara lonceng tidak bisa disetel. Begitu sampai waktunya, martil itu langsung menghantam kedua lonceng dengan kecepatan maksimum. Kriiing....kriiiing....! Berisik sekali. Manusia normal sepatutnya terjaga, bahkan kebanyakan sambil terkejut. Masalahnya dalam kesadaran yang belum terhimpun itu tangan kami menjangkau jam itu dan memutar tombol disisi belakang, jam itupun terdiam seketika. Maka kamipun kembali lelap dan malalu. Bahkan lebih sering dari pada ketika masih tinggal di dusun bersama Ibu.
Comments