Ramadan tempo dulu (6): Toa tua cempreng
Ini kisah berpuasa ketika saya sudah tinggal di Sungai Penuh, ibukota kabupaten kami. Saya pindah ke Sungai Penuh untuk belajar mengaji dan tinggal dirumah Tek Da, adik Ibu. Di dusun kami waktu itu tidak ada tempat belajar mengaji yang dekat rumah dan cukup baik.
Di dekat rumah Tek Da ada surau kecil, namanya surau Madaniatul Islamiyah. Disitu pula saya belajar mengaji setiap malam bersama puluhan anak-anak lain, dibawah bimbingan dua orang buya muda berdedikasi tinggi, Uda Acang dan Uda Jamang.
Selama bulan Ramadan, kelas mengaji anak-anak dihentikan karena surau dipakai untuk shalat tarawih. Namun bukan berarti kami berhenti belajar mengaji. Anak-anak yang sudah lancar membaca Alquran, meski tajwidnya masih centang perenang, diwajibkan bergabung dengan rombongan tadarus keliling. Tadarus dilakukan selepas shalat tarawih. Rombongan ini terdiri dari para jamaah surau Madaniatul Islamiyah, tua dan muda, tentu saja yang pandai mengaji. Mereka berkeliling setiap malam sepanjang bulan Ramadan, dari satu rumah kerumah yang lain. Jadwal rumah yang menjadi tuan rumah biasanya telah disusun sebelum Ramadan.
Pada dasarnya tuan rumah hanya perlu menyediakan tempat dan air putih. Pada kenyataannya, every host went extra miles, selalu saja ada penganan menarik yang disuguhkan, bisa berupa kolak, cendol, martabak, kue-kue dan sebagainya. Minumanpun beraneka, ada kopi, teh dan sirup. Tentulah ini menjadi daya tarik tersendiri bagi rombongan tadarus, terutama anak-anak seperti kami. Pulang dijamin kenyang.
Sementara itu rombongan tadarus membawa perangkat pengeras suara milik surau yang terdiri dari dua microphone, amplifier set dan satu speaker corong besar warna biru tua yang biasa digantung diatas atap atau menara masjid dan surau. Kami menyebutnya Toa, yang sebenarnya adalah merek perangkat pengeras suara itu. Persis kasus sepeda motor, apapun jenis dan mereknya, semuanya kami sebut Honda. Di dusun saya lebih ekstrim, semua jenis pena disebut Pilot.
Toa ini sungguh berjasa, suara kerasnya menghantar lantunan ayat-ayat suci Al Quran kesetiap sudut kampung kami, hingga jauh malam. Ia menghidupkan suasana Ramadan lebih hidup.
Hanya saja ada satu persoalan kecil, toa ini sudah tak muda lagi. Tidak setiap malam ia tampil prima. Sesekali ia mengeluarkan suara kresek-kresek seperti ada yang meremas kertas. Kadang tiba-tiba keluar suara melengking tinggi sekali...tuiiiiing...tuiiiiiinng. Namun yang paling menyebalkan adalah bila toa itu bersuara cempreng, seperti suara ABG (Anak Baru Gede) lelaki yang pita suaranya sedang mengembang, bahkan lebih buruk lagi. Betapapun merdunya suara asli qari dan qariah, keluarnya tetap cempreng. Biasanya, sekali suara cempreng itu keluar, dia akan tetap cempreng hingga akhir tadarus malam itu, meski semua tombol telah diutak-atik dan setiap sambungan kabel sudah dikilik-kilik. But, the show must go on.... Tarik maang. Dan kita tetap pulang kenyang.
Source: www.olx.co.id
Di dekat rumah Tek Da ada surau kecil, namanya surau Madaniatul Islamiyah. Disitu pula saya belajar mengaji setiap malam bersama puluhan anak-anak lain, dibawah bimbingan dua orang buya muda berdedikasi tinggi, Uda Acang dan Uda Jamang.
Selama bulan Ramadan, kelas mengaji anak-anak dihentikan karena surau dipakai untuk shalat tarawih. Namun bukan berarti kami berhenti belajar mengaji. Anak-anak yang sudah lancar membaca Alquran, meski tajwidnya masih centang perenang, diwajibkan bergabung dengan rombongan tadarus keliling. Tadarus dilakukan selepas shalat tarawih. Rombongan ini terdiri dari para jamaah surau Madaniatul Islamiyah, tua dan muda, tentu saja yang pandai mengaji. Mereka berkeliling setiap malam sepanjang bulan Ramadan, dari satu rumah kerumah yang lain. Jadwal rumah yang menjadi tuan rumah biasanya telah disusun sebelum Ramadan.
Pada dasarnya tuan rumah hanya perlu menyediakan tempat dan air putih. Pada kenyataannya, every host went extra miles, selalu saja ada penganan menarik yang disuguhkan, bisa berupa kolak, cendol, martabak, kue-kue dan sebagainya. Minumanpun beraneka, ada kopi, teh dan sirup. Tentulah ini menjadi daya tarik tersendiri bagi rombongan tadarus, terutama anak-anak seperti kami. Pulang dijamin kenyang.
Sementara itu rombongan tadarus membawa perangkat pengeras suara milik surau yang terdiri dari dua microphone, amplifier set dan satu speaker corong besar warna biru tua yang biasa digantung diatas atap atau menara masjid dan surau. Kami menyebutnya Toa, yang sebenarnya adalah merek perangkat pengeras suara itu. Persis kasus sepeda motor, apapun jenis dan mereknya, semuanya kami sebut Honda. Di dusun saya lebih ekstrim, semua jenis pena disebut Pilot.
Toa ini sungguh berjasa, suara kerasnya menghantar lantunan ayat-ayat suci Al Quran kesetiap sudut kampung kami, hingga jauh malam. Ia menghidupkan suasana Ramadan lebih hidup.
Hanya saja ada satu persoalan kecil, toa ini sudah tak muda lagi. Tidak setiap malam ia tampil prima. Sesekali ia mengeluarkan suara kresek-kresek seperti ada yang meremas kertas. Kadang tiba-tiba keluar suara melengking tinggi sekali...tuiiiiing...tuiiiiiinng. Namun yang paling menyebalkan adalah bila toa itu bersuara cempreng, seperti suara ABG (Anak Baru Gede) lelaki yang pita suaranya sedang mengembang, bahkan lebih buruk lagi. Betapapun merdunya suara asli qari dan qariah, keluarnya tetap cempreng. Biasanya, sekali suara cempreng itu keluar, dia akan tetap cempreng hingga akhir tadarus malam itu, meski semua tombol telah diutak-atik dan setiap sambungan kabel sudah dikilik-kilik. But, the show must go on.... Tarik maang. Dan kita tetap pulang kenyang.
Source: www.olx.co.id
Comments