Ramadan tempo doeloe (23) : Penguasa lintas Sumatera

Source: wallpaperbis.blogspot.com
Awal sembilan puluhan, bepergian naik pesawat terbang adalah kemewahan. Hanya untuk kaum ningrat, kaya raya dan pengawai negeri pejabat teras. Di pulau Jawa barangkali kereta api adalah alat transportasi jarak jauh paling populer. Namun pulau Sumatera yang indah permai tak seberuntung Jawa, tak ada koneksi rel kereta api. Maka bis antar kota adalah andalan satu-satunya bagi rakyat jelata. Pada masa itu berkibarlah nama-nama besar perusahaan otobus (PO) yang melegenda sepanjang lintas Sumatera seperti Pelangi, ALS, SDH, ANS, Gumarang Jaya, Lubuk Basung Jaya, NPM, Jambi Indah, Sago Sejati, Putra Remaja, Kramat Jati dan lain-lain.

Untuk menyesuaikan dengan kantong penumpang, biasanya bis-bis ini menawarkan dua kelas, eksekutif dan ekonomi. Kelas eksekutif tentu lebih nyaman, full AC, reclining seat, toilet on-board, selimut tebal, video karaoke dan kursi lebih lebar karena sebaris hanya 4 penumpang dengan konfigurasi 2-2.

Kelas ekonomi jauh lebih murah, sekitar setengah harga tiket kelas eksekutif bahkan bisa lebih murah, namun jangan terlalu banyak cincong soal kenyamanan. Lebih sesak dengan konfigurasi 2-3, tidak ada AC, tidak ada toilet dan tidak ada gunanya selimut tebal. Namun, kalau beruntung, mungkin masih ada video karaoke. Udara segar sepenuhnya datang dari jendela yang bagaimanapun harus ditutup rapat bila hujan turun. Bila bis berhenti pedagang asongan menambah sesak menjajakan kacang rebus, kacang rendang, rokok, minuman, nasi bungkus, permen dan mainan anak-anak. Tidak berhenti disitu, diantara penumpang hampir selalu ada perokok yang tak menenggang. Setelah semalam diperjalanan, mulai ada penumpang (laki-laki) yang buka baju. Ada pula yang menggantung baju atau handuk di kaca kiri kanan. Dan suara anak-anak menangis karena kegerahan. Aroma didalam kabin bis tak lagi dapat digambarkan dengan kata-kata.

Diantara perusahaan otobus yang merajai jalanan pada masa itu, PO Lorena barangkali yang paling ternama. Bis yang bermarkas di Ciawi Bogor itu dikenal memiliki kualitas layanan terbaik, karena itu harga tiketnya pun paling mahal. Lorena juga menawarkan dua kelas, eksekutif dan Super eksekutif. Tidak ada kelas ekonomi yang tak manusiawi itu. Kelas super eksekutif, sesuai namanya, berlebihan mewahnya, begitu setidaknya penilaian anak dusun seperti saya. Sebaris hanya ada tiga kursi, lebar dan empuk. Awak bis lorena berseragam rapi dan wangi. Supirnya berseragam warna hijau tua dan stokar (kenek) warna ungu. Didada kanan tertulis nama awak tersebut, didada kiri ada tulisan 'driver' atau 'pengawas'. Pengawas adalah kosa kata Lorena untuk stokar. Terdengar terhormat bukan?

Macam di kapal terbang, setiap hendak berangkat atau berhenti ada pengumuman dari supir atau pengawas.

Dibanding PO lain, jadwal PO Lorena lebih rapi dan terprediksi. Selalu berangkat tepat waktu dan bila berhenti di rumah makan sepanjang lintas Sumatera, dibatasi selama tiga puluh menit saja.

Sesampai di pelabuhan penyeberangan Bakauheni atau Merak, PO Lorena tak lama menunggu, seperti mendapat prioritas. Sepanjang perjalananpun selalu lancar tak ada gangguan preman tak jelas. Ada rumor bahwa itu semua karena pemilik PO Lorena adalah purnawirawan TNI. Entah iya, entah tidak. Wallahu'alam!

Sekitar bulan Mei 1993, tiba surat dari IPB bahwa saya diterima sebagai mahasiswa dengan jalur undangan. Ternyata ada dua orang lainnya dari Kabupaten kami. Ketiganya belum pernah meninggalkan pulau Sumatera. Demikian pula dengan orang tua ketiganya. Ketiganya pula dari keluarga pas-pasan, pegawai negeri dan petani. Atas situasi itu, disimpulkan bahwa tak kan ada gunanya para orang tua berbondong-bondong mengantarkan anak-anak mereka, seperti naik haji saja. Bisa jadi orang-orang tua itu malah menjadi beban diperjalanan. Maka diputuskanlah satu orang saja orang tua yang mendampingi tiga anak kampung itu. Karena keempatnya belum pernah bepergian sejauh itu, maka disepakati untuk naik PO Lorena dari Jambi. Ini dianggap pilihan paling aman, apalagi pool Lorena ada di Ciawi, Bogor dan semua bis Lorena akan berakhir disitu. Jadi tidak ada resiko turun di Jakarta lalu tersesat dan tak pernah mencapai Bogor.

Bis Lorena jurusan Jambi-Bogor itu sungguh alat transportasi paling mewah dan canggih yang pernahku tumpangi hingga saat itu. Kepalaku membesar, gairahku membuncah dan aku merasa jadi orang terhebat didunia. Tiba-tiba aku merasa iba pada mereka yang tak seberuntungku dan harus rela bersempit-sempit dan gerah terpanggang dalam kabin bis ekonomi yang berpapasan disepanjang lintas Sumatera. Entah sensitif entah lebai. Aku menikmati setiap detik kenyamanan bis semaksimal mungkin dan ingin rasanya perjalanan itu sepanjang mungkin, kalau perlu tak pernah berakhir. Ndeso sekali...!

Mulailah kami tinggal di Bogor sebagai mahasiswa daerah, hidup antara wesel ke wesel yang sering mepet dan kadang datang terlambat. Allah sungguh Maha Kasih karena Ia menurunkan malaikat bernama Buk Inah, yang punya warung nasi disamping toko Terang, yang tidak mempedulikan apakah kami menunggak uang makan atau tidak. Yang ia tahu, setiap kami datang ke warungnya maka harus diberi makan. Klik kabacarito: Ramadan tempo doeloe (21): Warung nasi Buk Inah untuk kisah lebih lengkap tentang Buk Inah.

Tarif angkot 03 Baranangsiang-Merdeka waktu adalah tigaratus rupiah. Tapi Mahasiswa boleh membayar dua ratus saja. Tak perlulah memamerkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) kepada supir angkot, cukup pastikan ada sembarang atribut IPB di badan, bisa kaos IPB, topi IPB, jaket IPB atau sekedar emblem IPB menempel di tas kuliah. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya tanpa simbol-simbol itupun, penampilan kami sebenarnya sudah khas mahasiswa prihatin, ceking, tirus, gondrong, pakaian butut tak disetrika, tas punggung dan aroma minyak wangi sinyongnyong murahan.

Dihari-hari sayup bulan, menjelang jadwal wesel tiba, bahkan dua ratus perak pun rasanya terlalu sayang untuk dikeluarkan. Kami memilih jalan kaki ke kampus Baranangsiang, meliuk-liuk di gang sempit Mantarena, menyeberangi kali Cibalok, menelusuri jalan Paledang hingga bertemu jalan Ir. H. Djuanda. Berjalan terus mengikuti trotoar yang melingkari kebun raya, melintasi Museum Zoologi, lalu pintu gerbang Kebun Raya, terus bejalan menyusuri Jalan Otista, disebelah kanan terlihat tempat kos bernama Aputis yang penuh kenangan itu. Menyeberang simpang tiga Tugu Kujang, maka tibalah di kampus Baranangsiang.

Beberapa bulan hidup dalam keprihatinan itu sungguh mencerahkan dan melahirkan kesadaran baru betapa jumlah uang yang kami bayar kepada PO Lorena untuk mengantar kami sampai ke Bogor waktu itu sungguh tidak masuk akal mahalnya. Hanya orang pandir saja yang akan melakukannya. Well...bila anda kaya, sebenarnya tak perlu jadi pandir untuk naik Lorena.

Ramadan tiba, kuliah pun libur. Waktu terbaik untuk pulang kampung. Hidup masihlah prihatin dan aku tak pandir, PO Lorena bukan pilihan. Belajar dari pengalaman para senior, maka dimulailah misi dengan tujuan tiba selamat dikampung dengan biaya semurah mungkin.

Meninggalkan asrama pagi hari dengan mental siap menghadapi berbagai kemungkinan. Bawaan ringan, cukup satu tas punggung saja. Cegat angkot 03 menuju terminal Baranangsiang. Lalu naik bis ekonomi Arimbi berwarna kuning terang kehijauan menuju Merak. Mendekati Merak, bis itu keluar tol di Cilegon. Tak jauh dari exit tol ada deretan warung-warung dipinggir jalan, aku turun disitu. Ditempat itu semua bis-bis penguasa lintas Sumatera akan berhenti untuk mendapatkan tambahan penumpang, kecuali Lorena yang mengharamkan menaikkan penumpang dijalan. Beberapa bis berhenti, artinya mereka punya bangku kosong. Bernegosiasi sebentar dengan stokar lalu melompat ke atas bis.

Dilain kesempatan pencarian bis ini dilakukan di pelabuhan Merak atau bahkan diatas ferry yang sedang menyeberangi selat Sunda. Lumayan, harga yang disepakati hanya separuh dari harga tiket resmi, bahkan bisa lebih murah lagi. Konon, ongkos tambahan penumpang dijalan ini sepenuhnya jatah supir dan stokar, tidak disetor ke perusahaan otobusnya.
 
Sehari semalam kemudian, bis sampai di terminal bus Bangko dan aku turun disitu. Lalu menunggu bis jurusan Sungai Penuh dan bernegosiasi lagi dengan stokar.  Sembari menunggu bis, biasanya cukup waktu untuk mandi di kamar mandi umum terminal Bangko. Lumayan menyegarkan setelah sekian lama berdesak-desakan didalam kabin bis ekonomi yang pengap.

Empat hingga lima jam kemudian tiba di terminal Sungai Penuh.  Almost there...satu ruas terakhir, satu jam diatas L-300 atau bis tiga perempat, dibelai keindahan Danau Kerinci dan hijau menghampar dikiri kanan. And finally...Home sweet home!


Comments

Popular posts from this blog

Lampu togok dan lampu strongkeng

Kopi cap "Rangkiang", kue sangko & saudagar tembakau

TV Pertama Kami (bagian 3)