Ramadan tempo doeloe (26): Rantang empat tingkat

Sebelum pemekaran beberapa tahun belakangan, kampung kami terdiri dari empat desa.  Semasa gadis Ibu tinggal di Desa Batru Lempur.  Setelah menikah Ibu pindah ke sebuah rumah di Desa Lempur Mudik dan tinggal disana sekitar enam tahun.  Dirumah itu ketiga anak Ibu lahir.  Lalu Ibu dan Abak memutuskan pindah kerumah bambu yang dibangun sendiri disamping SMP tempat Ibu mengabdi menjadi guru.  Meski jauh dari keramaian, kawasan sekitar sekolahdd itu berada dibawah Kelurahan Lempur Tengah.  Dusun keempat adalah desa Lempur Hilir, namun Ibu tak pernah tinggal disitu.

Meski bertempat tinggal di Lempur Tengah selama sepuluh tahun, secara administratif kami sekeluarga tetap tercatat sebagai warga Lempur Mudik.  Untuk segala urusan seperti kenduri sko, mambantai dan kegiatan-kegiatan dusun lainnya, kami ikut Lempur Mudik.  Alasannya sangat emosional sebenarnya.  Ibu dan Abak, meski pendatang, namun merasa begitu terikat pada dan menjadi bagian tak terpisahkan dari Lempur Mudik.  Kami sudah begitu dekat dengan para tetangga.  Di Lempur Mudik pula ada sepasang orang tua yang menjadi orang tua angkat Ibu.  Mereka adalah pemilik rumah kayu tiga lantai, ditepi sungai yang bening airnya, dimana Ibu dan Ibu Lela tinggal ketika keduanya masih gadis.  Ketidakpatuhan administarif ini langgeng karena tidak dipermasalahkan oleh perangkat kedua desa.

Di setiap Idul Fitri, hari raya pertama, kami selalu shalat Ied di Masjid Lempur Mudik.  Karena rumah kami jauh, bahkan melintasi Masjid Lempur Tengah, kami berangkat berjalan kaki lebih awal, segera setelah shalat Subuh.  Lucu juga rasanya, berpapasan dengan penduduk Lempur Tengah yang bergegas menuju Masjid mereka, sementara kami menjauh.  Idul Fitri pertama atau kedua sejak kami pindah ke sudung palupuh, tentu banyak yang bertanya mengapa kami melawan arah.  Tahun-tahun berikutnya mereka faham bahwa kami shalat Ied di Lempur Mudik.

Selepas shalat Ied, kami langsung ke rumah Nenek, orang tua angkat Ibu, yang hanya tiga rumah jauhnya dari Masjid.  Rumah itu masih ditepi sungai yang jernih airnya, lebih kehilir dari rumah kayu tiga lantai dimana Ibu pernah tinggal.  Disana kami makan nasi dengan lauk daging kerbau hasil mambantai dihari sebelumnya.  Aktivitas selanjutnya sebagaimana layaknya hari raya, kami bersilaturahmi ke rumah-rumah yang merupakan keluarga atau kerabat dekat Nenek.  Kami biasanya baru pulang kerumah saat siang menjelang petang, berjalan kaki dengan perut kenyang dan tentengan kiri kanan.  Rumah-rumah yang kami kunjungi hampir selalu memaksa kami untuk membawa sesuatu dari rumah mereka, bisa rendang, galamai atau kue-kue.  Padahal dirumah kami juga punya semua itu. 

Dirumah kami sore itu, tetangga mulai pula datang bersilaturahmi.  Demikian pula dengan murid-murid Ibu, yang tiba dalam kelompok-kelompok kecil.  Dan mereka, terutama murid perempuan,  kebanyakan membawa buah tangan didalam rantang bertingkat tiga atau empat.  Bahkan dalam bahasa dusun kami, rantang disebut tingkat.  Disetiap tingkatnya ada makanan yang berbeda-beda.  Paling bawah diisi nasi atau rendang, lalu ada lauk yang lain seperti sup daging atau dendeng, aneka kue khas hari raya dan galamai.  Bila tidak membawa rantang, mereka membawa kue bolu atau cake selingkar penuh sebesar roda bemo. 

Arus murid-murid sekolah dan kerabat datang bersilaturahmi dengan membawa buah tangan biasanya berlanjut hingga beberapa hari setelah lebaran yang memaksa Ibu harus tetap berada dirumah.  Dapat dibayangkan, hari-hari itu rumah kami dipenuhi berbagai makan beraneka rupa dan rasa, sudah seperti toko kue saja.  Kami jelas tidak akan mampu menghabiskannya.  Makanan-makanan itu biasanya segera kami bagikan ke tetangga dan kerabat dekat. 

Ada yang menarik tentang rantang.  Bila seseorang membawa buah tangan dalam rantang, si penerima tidak boleh mencuci rantang itu.  Itu dianggap tidak baik atau pamali kata orang Sunda.  Jadi rantang harus dikembalikan ke tangan pembawa, dalam keadaan kotor setelah makanan didalamnya diambil.

Comments

Popular posts from this blog

Lampu togok dan lampu strongkeng

Kopi cap "Rangkiang", kue sangko & saudagar tembakau

TV Pertama Kami (bagian 3)