Majalah dinding dan duduk bersila
Dulu, disekolah kami ada Majalah Dinding, sering disingkat Mading. Ia adalah majalah yang lembar-lembarnya di tempel di dinding. Ia memberi ruang bagi para siswa untuk mempertontonkan bakatnya dan mengekpresikan rasa. Beraneka ragam rubriknya, ada puisi, cerpen, berita, fakta-fakta trivia unik, ada kolom humor, teka-teki silang, ada biografi dan prestasi. Yang menarik buat saya adalah apa yang ketika itu kami sebut vinyet, intinya adalah lukisan abstrak yang tak seorangpun faham maknanya, tidak juga pelukisnya, kurasa. Tak ketinggalan, disetiap edisi tentulah ada sepatah dua pesan dari redaksi majalah, yang merupakan bagian organik dari OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah).
Memang, tak selalu yang terbaik yang muncul ke permukaan. Kadang, tanpa diduga, karya-karya picisan naik tayang. Entah karena selera redaksi yang murahan atau ada kolusi antara redaksi korup dengan sastrawan frustasi yang puisinya tak pernah terpilih atau ada tekanan penguasa seperti guru senior atau pembina OSIS. Ada kalanya cinta berbicara, karya buruk tampil di halaman muka hanya karena seorang anggota redaksi sedang PDKT (pendekatan) pada kontributor imut. Banyak jalan menuju penyalahgunaan kekuasaan.
Narsisme sungguh telah ada sejak dulu, semangat murid-murid remaja itu untuk memamerkan kebolehan mereka begitu menggebu. Sementara ruang majalah dinding terbatas. Mading pun hanya terbit sebulan sekali atau paling banter dua edisi sebulan diawal-awal masa kepengurusan OSIS. Tiba masa ujian, jadwal penerbitan biasanya agak berantakan. Sempitnya ruang tayang membuat peluang suatu karya diterbitkan cukup kecil dan sangat bergantung pada penilaian dan selera dewan redaksi. Naik tayang atau tidaknya sebuah karya adalah hak prerogatif kaum elit itu. Dapat dibayangkan betapa banyaknya karya-karya 'luar biasa' tak pernah terpublikasikan. Betapa banyak sastrawan dan seniman yang mestinya lahir akhirnya tak pernah muncul ke permukaan karena ketersumbatan ini.
Tiba-tiba kepala sekolah membuat kebijakan kontroversial bahwa setiap siswa diperbolehkan untuk memiliki majalah dinding sendiri, mereka sendiri yang menjadi kontributornya, mereka juga dewan redaksinya. Mendadak seluruh dinding dan tembok sekolah dipenuhi oleh mading-mading itu. Aneka warna dan corak. Meriah. Sang pemilik majalah dinding menyambut kebebasan itu dengan meluahkan segenap rasa yang tertahan di muka majalah dinding masing-masing. Para pembaca majalah dinding yang setia menanti setiap edisi kini memiliki banyak pilihan. Bila dulu, saat menanti edisi berikutnya, waktu terasa merangkak begitu pelan. Kini, waktu mereka tak pernah cukup untuk menikmati suguhan semua majalah dinding itu. Semua larut dalam euforia.
Apa yang ditampilkan disetiap mading tentu menunjukkan jati diri pemiliknya dan menegaskan keberpihakannya. Aktivis Pramuka selalu menampilkan tema tentang alam dan petualangan. Para penggila olahraga menampilkan topik tentang olahraga yang mereka gilai, termasuk klasemen liga papan atas dan hasil kebut-kebutan tingkat dunia. Aktivis organisasi menampilkan topik-topik berbau politik dan rapat-rapat OSIS. Anak-anak orang kaya menampilkan update fashion dunia atau perkembangan otomotif terbaru atau foto-foto bahagia dari pesta atau plesiran terbaru. Cewek-cewek rumahan menampilkan resep masakan dan tips-tips domestik.
Kawan yang biasa berjualan disekolah memenuhi muka majalah dindingnya dengan berbagai penawaran menarik. Sosialita sekolah sibuk saling tukar gosip terbaru artis dan sosialita dunia. Para pencandu teori konspirasi tenggelam jauh dalam debat dan pertikaian melibatkan berita-berita hoax atau berita dari media mainstream formal yang bertentangan satu sama lain. Aktivis rohis menghadirkan kesejukan dengan tausyiah-tausyiah lembut bermakna, namun dilain waktu mengekspresikan ketegasan beragama, hingga datang tuduhan bahwa mereka ekstrimis ISIS, bukan OSIS.
Ada majalah dinding yang ramai pengunjung, ada yang lengang. Bahkan ada yang dikunjungi oleh pemiliknya saja. Majalah dinding ramai dikarenakan musabab yang berbeda. Ada yang memang senantiasa menampilkan materi positif bermanfaat yang disukai pembaca. Ada pula yang ramai karena konten kontroversial atau keberanian menghujat majalah dinding lain. Umpama peribahasa Arab, "bila hendak masyur, kencingi saja sumur Zam zam".
Ruang sekolah menjadi sesak seolah oksigen menipis. Audiens penikmat majalah dinding terpecah belah. Membuncah saat menikmati majalah dinding yang sejalan sekeyakinan, seketika gundah saat menatap mading berseberangan. Lalu risau sepanjang hari. Esok hari begitu lagi. Banyak jalinan yang terlepas, buhul erat yang melonggar, dekat menjadi jauh. Namun tercipta pula jalinan baru, tersambung pula buhul baru, yang jauh menjadi dekat.
Memang tidak semua terperangkap dalam tensi kehidupan yang meninggi itu. Ada siswa yang tetap bahagia tanpa gulana. Kebijakan kontroversial kepala sekolah telah mereka manfaatkan dengan maksimal, berbagi hal positif didinding mereka. Mereka gunakan pula dinding itu untuk mempertegas sikap dan keberpihakan mereka. Mereka kadang berdebat keras, namun tetap dengan santun. Anak rohis menyebutnya akhlakul karimah.
Lalu kenapa gundah enggan hinggap? Ada dua penyebabnya. Pertama, mereka meyakini bahwa perbedaan adalah keniscayaan. Anak rohis menyebutnya sunnatullah. Ia tidak untuk dirisaukan. Mengharap semua orang berfikir dan berpandangan sama adalah utopia, wishful thinking. Itu tidak pernah mungkin terjadi, karena setiap orang punya kepala berbeda, tumbuh dilingkungan berbeda, berkeyakinan ketuhanan berbeda. Anak rohis lagi bilang, harapan itu melawan sunnatullah.
Kedua, keyakinan bahwa perbedaan adalah keniscayaan melahirkan pikiran yang terbuka. Siap menerima dan mendengar sudut pandang lain. Yang positif, bermanfaat dan sejalan dengan keyakinan hakiki akan ia ambil. Yang tidak masuk akal baginya, ia buang dan tak ia hiraukan. Ia kunjungi dinding-dinding yang memberi manfaat dan pencerahan saja. Tidak ia buang masa menatap dinding-dinding yang menurutnya negatif. Pilihan ada padanya. Maka ringan hidupnya, bahagia tanpa gulana.
Majalah dinding untuk semua siswa itu adalah rekaan belaka. Namun, ia telah menjadi kenyataan hari ini, antara kita dan media sosial. Pilihan ada pada setiap pribadi, untuk bahagia atau gulana.
Duduk melingkar bersila
Inovasi yang didukung teknologi informasi telah merubah cara kita berkomunikasi, berhubungan dan berinteraksi satu sama lain secara sangat dramatis. Dunia ini seolah menyusut dibuatnya. Jarak dan waktu tidak lagi relevan. Informasi dikirim dan diterima pada saat yang sama. Real time, terbuka dan tanpa hirarki. Lapisan-lapisan dan sekat-sekat punah.
Salah satu wujudnya adalah bermunculan grup-grup online diberbagai platform dunia maya. Yahoo dan Gmail memulai dengan mailing list. Facebook dan linkedin misalnya, memiliki fasilitas group yang memungkinkan semua orang membuat atau bergabung dengan group atau kelompok yang ia sukai. Anggota grup-grup ini tentu paling tidak memiliki satu saja persamaan yang mengikat mereka. Bisa satu ikatan alumni, daerah asal, hobi atau area ketertarikan tertentu. Grup-grup ini semakin marak karena platform-platform messaging (hantar pesan) seperti whatsapp dan telegram juga memiliki fasilitas yang sama.
Bila media sosial adalah ibarat sekolah yang setiap siswanya memiliki majalah dinding, tidak demikian halnya dengan grup-grup ini. Ia adalah umpama sekumpulan orang yang sedang duduk bersila dan melingkar. Ia seperti rapat meja bundar atau arisan RT dikampung-kampung kita. Anak-anak rohis menyebutnya liqa'.
Setiap orang didalam grup dengan n orang anggota, memiliki n-1 banyaknya audiens. Setiap orang yang berbicara akan didengar oleh lainnya, tanpa terkecuali. Tidak ada pilihan untuk tidak mendengarkan atau tidak menghiraukan karena semuanya duduk dalam majelis melingkar yang sama pada saat yang sama. Satu-satunya jalan untuk tidak mendengar adalah dengan meninggalkan lingkaran itu. Disinilah perbedaan karakteristik paling mendasar antara grup-grup dengan wall atau halaman pribadi kita di berbagai media sosial.
Persamaannya adalah keduanya dapat membawa akibat yang sama, yaitu mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Lagi-lagi pilihan berpulang kepada setiap pribadi, untuk bahagia atau gulana.
Resep bahagianya pada dasarnya sama, terimalah perbedaan sebagai keniscayaan dan berpikir terbukalah, lalu percantiklah dengan akhlak yang indah. Namun, khusus untuk grup-grup itu, mesti ditambah sedikit bumbu lagi. Sekumpulan orang yang duduk bersila dan melingkar mestilah punya tujuan tertentu yang harus ditetapkan dimuka. Boleh pula disepakati aturan main bagaimana perbincangan hendak dijalankan, Do's and Don't's. Dengan begitu mestinya tak ada perdebatan keluar jalur yang menguras energi dan rasa.
Selamat menyuburkan silaturahim!
Comments