Simpai dan Pak Hasyim
Aku tidak tidak pernah merasakan bersekolah di Taman Kanak-kanak (TK), tapi langsung masuk SD beberapa hari menjelang ulang tahunku yang keenam. Pasalnya hanya ada satu TK dikampung kami, jauh letaknya didusun lain. "Tak payahlah masuk TK, tidak ada belajarnya, cuma bernyanyi-nyanyi saja", begitu Ibu mencoba meringankan kekecewaanku.
Maka guru pertamaku adalah guru kelas 1 SD. Pak Hasyim namanya. Ia bukan orang asli kampung kami. Dusunnya sekitar tiga puluh kilometer dari dusun kami. Ia tinggal bersama istrinya di perumahan guru yang disediakan pemerintah dibelakang SD Inpres kami. Istri Pak Hasyim membuka warung kecil diberanda rumah dinasnya, menjual lontong dengan gulai nangka atau gulai paku atau kadang-kadang gulai labu siam, serta aneka permen dan kue-kue.
Satu porsi lontong Pak Hasyim harganya lima puluh rupiah, tepat sejumlah jajan sehari kebanyakan murid SD dijaman itu. Murid dengan uang jajan seratus perak patut diduga memiliki orang tua kaya raya. Setiap hari kami dihadapkan pada pilihan pelik, bak muah simalakama, antara makan lontong Pak Hasyim tapi itu saja untuk sehari atau jajan beragam kue dan permen beraneka rupa, namun mereka tak mengenyangkan.
Pak Hasyim berperawakan kecil, berkulit coklat, rambutnya hitam disisir rapi kekanan, membentuk belahan disisi kiri. Bibirnya kehitaman akibat merokok. Biasa sekali, bukan? Sederhana, typical guru sekolah desa. Tapi Pak Hasyim adalah juara dunia untuk kategori guru kelas satu SD. Setiap pagi ia masuk kelas dengan senyum mengembang dan muka sama cerahnya. Padahal, mengajarkan membaca, menulis dan berhitung kepada belasan anak-anak dusun seperti kami boleh jadi merupakan pekerjaan paling sulit sejagat. Pasalnya, sembilan puluh lima persen dari kami sama sekali tak pernah mengenal huruf-huruf latin. Hanya ada satu murid kelas satu yang saat itu sudah pandai menulis, Yanto namanya, anak seorang sersan polisi. Sebagian besar dari kami sekalipun tidak pernah menyentuh pensil, karena kami tinggal di sudung-sudung (gubuk bambu) kecil ditengah ladang.
Akibat kurang bersosialisasi dengan peradaban, banyak murid yang bertingkah laku ganjil. Ada yang pemalu tingkat dewa, tak sedesis suarapun keluar dari mulutnya hingga akhir catur wulan pertama di kelas satu. Ada pula yang hyperactive bersalahan, loncat sana loncat sini, sambil tangannya merenggut apa saja yang ada dimeja temannya. Persis seperti perilaku simpai (Presbytis Melalophos), bangsa beruk berwarna jingga terang yang selalu mendatangi ladang bergerombol lalu mencuri dan merusak tanaman cabe, kentang dan sayur mayur.
Maka guru pertamaku adalah guru kelas 1 SD. Pak Hasyim namanya. Ia bukan orang asli kampung kami. Dusunnya sekitar tiga puluh kilometer dari dusun kami. Ia tinggal bersama istrinya di perumahan guru yang disediakan pemerintah dibelakang SD Inpres kami. Istri Pak Hasyim membuka warung kecil diberanda rumah dinasnya, menjual lontong dengan gulai nangka atau gulai paku atau kadang-kadang gulai labu siam, serta aneka permen dan kue-kue.
Satu porsi lontong Pak Hasyim harganya lima puluh rupiah, tepat sejumlah jajan sehari kebanyakan murid SD dijaman itu. Murid dengan uang jajan seratus perak patut diduga memiliki orang tua kaya raya. Setiap hari kami dihadapkan pada pilihan pelik, bak muah simalakama, antara makan lontong Pak Hasyim tapi itu saja untuk sehari atau jajan beragam kue dan permen beraneka rupa, namun mereka tak mengenyangkan.
Pak Hasyim berperawakan kecil, berkulit coklat, rambutnya hitam disisir rapi kekanan, membentuk belahan disisi kiri. Bibirnya kehitaman akibat merokok. Biasa sekali, bukan? Sederhana, typical guru sekolah desa. Tapi Pak Hasyim adalah juara dunia untuk kategori guru kelas satu SD. Setiap pagi ia masuk kelas dengan senyum mengembang dan muka sama cerahnya. Padahal, mengajarkan membaca, menulis dan berhitung kepada belasan anak-anak dusun seperti kami boleh jadi merupakan pekerjaan paling sulit sejagat. Pasalnya, sembilan puluh lima persen dari kami sama sekali tak pernah mengenal huruf-huruf latin. Hanya ada satu murid kelas satu yang saat itu sudah pandai menulis, Yanto namanya, anak seorang sersan polisi. Sebagian besar dari kami sekalipun tidak pernah menyentuh pensil, karena kami tinggal di sudung-sudung (gubuk bambu) kecil ditengah ladang.
Akibat kurang bersosialisasi dengan peradaban, banyak murid yang bertingkah laku ganjil. Ada yang pemalu tingkat dewa, tak sedesis suarapun keluar dari mulutnya hingga akhir catur wulan pertama di kelas satu. Ada pula yang hyperactive bersalahan, loncat sana loncat sini, sambil tangannya merenggut apa saja yang ada dimeja temannya. Persis seperti perilaku simpai (Presbytis Melalophos), bangsa beruk berwarna jingga terang yang selalu mendatangi ladang bergerombol lalu mencuri dan merusak tanaman cabe, kentang dan sayur mayur.
Simpai |
Tapi Pak Hasyim selalu punya cadangan stamina untuk menghadapi 'simpai-simpai' itu. Dan tidak pernah ia marah, paling-paling berteriak untuk menenangkan suasana agar ia bisa melanjutkan pelajaran. Begitu kelas tenang, berganti Pak hasyim yang melucu dengan suara dan kadang perilaku slapstick. Kelaspun ceria kembali.
Sabarnya tak berbatas dalam mengajar bermacam ragam murid. Termasuk kesabarannya memegang tanganku menuliskan angka dua. Angka yang membuat makanku tak enak dan tidur tak nyenyak selama minggu pertama dikelas satu (klik http://kabacarito.blogspot.ca/2012/10/misteri-angka-2-dan-tali-sepatu.html untuk cerita lengkap) hingga keajaiban tiba dipagi itu (http://kabacarito.blogspot.ca/2012/11/misteri-angka-2-dan-tali-sepatu-bagian-2.html).
Reputasi Pak Hasyim sebagai guru kelas satu SD terus menjulang. Jabatan itu tak pernah lepas darinya. Banyak orang tua yang memilih sekolah kami karena Pak Hasyim yang akan memberi sentuhan pertama di kelas satu.
Pak Hasyim, di alam manapun engkau berada saat ini, terima kasih dan selamat hari guru. Maaf terlambat, karena muridmu ini sedang kalang kabut dihajar pekerjaan yang menggunung.
Comments