Berburu Masjid di Bandra Kurla

Ucapan selamat datang di dinding area penerima tamu kantor ini mengesankan. Saya akan bekerja disini untuk tujuh pekan lamanya.  Kantor ini berada di Bandra Kurla Complex, distrik bisnis baru tak jauh dari Mumbai Airport.  Gedung dimana kantor kami berada tidak menyediakan mushalla atau surau.  Namun tak perlu risau untuk shalat Zuhur dan Asar, ada banyak meeting room yang bisa dipakai.  Aplikasi telepon genggam MuslimPro pun dapat menunjukkan arah kiblat dengan cukup akurat.

Meski begitu tetap saya harus menemukan masjid terdekat, paling tidak untuk shalat Jumat. Ternyata tidak ada karyawan Muslim disini, tidak ada yang bisa menunjuk arah masjid. Seorang diantara mereka mengatakan bahwa ia selalu mendengar suara azan, tapi tak tahu pasti dari mana datangnya.
Lagi-lagi aplikasi di telepon genggam menjadi penolong, menurutnya ada paling tidak tujuh masjid dalam radius 1km dari kantor kami.

Selasa, hari kedua di Mumbai office. Tidak terlalu sibuk, mendekati waktu Zuhur, saya putuskan untuk berjalan ke arah salah satu masjid itu. Hanya sekitar 700m kearah barat. Cuaca cerah, temperatur mencapai 32C. Untungnya kelembaban tidak tinggi, sehingga anda tidak cepat berpeluh.

Berjalan sekian lama, sempat saya ragu apakah benar arah yang dituju. Sekejap kemudian terdengar kumandang azan, saya tak tersesat.


Masjid Noor-E-Mohammadi
Mendekati sebuah simpang tiga yang ramai, terlihat menara masjid berwarna putih hijau. Ia terletak disisi lain pertigaan itu, dibelakang pagar tembok berwarna kuning gading memanjang disisi jalan itu. Tak nampak apa yang ada dibaliknya. Kecuali menara masjid dan beberapa ujung atap rumah.

Girang bercampur galau hati saya ketika itu. Senang karena menemukan Masjid yang saya cari, tetapi rasanya menyeberangi jalan lebar di simpang tiga itu adalah tantangan yang tak ringan. Ada lampu lalu lintas, zebra cross dan seorang polisi berdiri disitu, tapi rasanya pengendara di Mumbai lebih brutal dari pada Jakarta. Saling serobot dan tak menenggang pejalan kaki. Lampu merah telah menyala untuk mereka, lampu hijau bagi penyeberangpun menyala, tetap tak ada tanda-tanda menurunkan kecepatan. Mereka berhenti hanya bila penyeberang yang tak kalah nekad telah berada didepan mobil atau sepeda motor mereka.

Gerbang bongkaran
Saya selamat sampai seberang, berkat bergabung dengan rombongan besar penyeberang. Saya telusuri tembok kuning gading itu dan menemukan celah yang dipasang plang Masjid, terlihat seperti gerbang kecil.  Tertulis disitu Masjid Noor-E-Mohammadi Hall.

Ternyata dibalik gerbang itu bukanlah halaman Masjid, melainkan kawasan yang terlihat baru saja dibongkar. Ada beberapa rumah yang terlihat masih tegak. Dari sisa bongkaran itu, saya menduga kawasan ini pastilah sebelumnya berpenduduk sangat padat. Sementara itu Masjid yang saya cari berjarak sekitar empat puluh meter dari gerbang itu, ditengah-tengah kawasan bongkaran itu.  Agaknya dikawasan itu akan dibangun gedung tinggi, seperti kiri-kanannya. Adakah masjid ini akan digusur pula? Wallahu a'lam.
Setelah berjalan melewati sisa-sisa pembongkaran, sampailah saya di masjid berwarna hijau itu dengan menara kecil menjulang dan ada tulisan Allah dipuncaknya. Masjid ini berlantai dua.

Memasuki pintu masjid, langsung mendapatkan area shalat. Di dinding sisi kiri berjejer keran air untuk wudhu. Ditengah hall cukup besar itu ada ruang seperti kamar tersendiri. Ternyata itulah asal mula masjid ini yang dinding-dindingnya masih dipertahankan. Didalam ruang itu pula terdapat mihrab Imam dan mimbar untuk khutbah.

Ternyata dibelakang dinding yang berjejer keran berwudhu ada hall yang lebih luas, sepertinya digunakan untuk acara-acara keramaian seperti pernihakan.  Dari tata ruang yang tidak teratur itu, terlihat sekali bahwa Masjid ini diperluas secara bertahap sesuai kemampuan jamaahnya, tanpa perencanaan yang matang diawalnya.

Ternyata shalat jamaah zuhur didirikan 30 menit setelah azan.  Saya masuki ruang shalat utama.  Baru ada beberapa orang yang duduk di karpet merahnya. Saya shalat sunat lalu duduk pula. Lalu semua mata mengarah pada saya. Saya pun melihat sekujur badan, apakah ada yang salah. Untunglah salah seorang dari mereka memberi isyarat yang memecahkan teka-teki itu. Ia menunjuk-nunjuk peci putih dikepalanya.  Oh...rupanya saya satu-satunya yang tidak memakai peci. lalu saya membalas isyaratnya dengan membuka kedua tangan sambil mengangkat bahu, yang artinya "Saya tidak punya peci".

Ia lalu menunjuk-nunjuk kearah tempat wudu, lalu peci dikelapanya, begitu bergantian. Aha..saya tahu, dia ingin mengatakan disitu ada peci. 

Benar saja rupanya, disisi tembok diarea wudu' ada banyak peci tersedia untuk dipakai jamaah yang tidak membawa sendiri.  Berbagai jenis dari berbagai bahan untuk berbagai ukuran kepala.  Ada yang berbahan katun sebagaimana kebanyakan peci haji, ada pula yang dari bahan sintetis seperti plastik halus, ada pula yang terbuat dari bahan plastik yang biasa dipakai untuk perkakas dapur.  Sekilas saya ragu, ini pecikah atau saringan pencuci sayuran.  Yang paling unik adalah peci yang terbuat dari dari anyaman tumbuhan.  Ia mengingatkan saya pada tikar yang kami pakai dikampung dulu, yang terbuat dari anyaman tanaman yang kami sebut bigau.  Tanaman itu tumbuh di rawa-rawa, berupa bilahan panjang menjulang. Ia dianyam menjadi tikar, diberi pula gincu aneka warna, merah, hijau dan biru. Saya ambil satu yang berbahan anyaman itu. Sepertinya di Masjid ini wajib hukumnya memakai peci.

Hari Jumat saya kembali ke Masjid itu. Ini Jumat pertama saya disini, saya berangkat lebih awal dan tiba di Masjid sebelum azan Zuhur. Masjid belum ramai, kembali saya mendapat tempat didalam hall shalat utama yang kecil itu, di shaf ketiga.  Azan Zuhur lalu berkumandang yang dilanjutkan dengan para jamaah menunaikan shalat sunnah, dua atau empat rakaat.  Tak lama kemudian masuklah khatib ke area shalat utama, berjubah seperti Imam Masjidil Haram.  Ia berdiri menghadap jamaah, membelakangi mihrab dan memulai ceramahnya.  Aku yakin itu bukan khutbah Jumat, karena sang Khatib tidak naik ke atas mimbar. Ceramah itu berlangsung sekitar tiga puluh menit dan diikuti oleh azan kedua. Barulah khatib tadi naik ke Mimbar dan memberikan khutbah Jumat. Dan ternyata, khutbah disini singkat saja. Khutbah pertama dan kedua diselesaikan dalam tiga hingga empat menit saja, kemudian langsung disambung dengan Shalat Jumat. Khatib tadi juga bertindak sebagai Imam.

Saat berjalan keluar meninggalkan masjid, saya mendapatkan pemandangan yang menakjubkan. Ternyata jumlah jamaah shalat jumat jauh melebihi daya tampung masjid ini. Ruang dalam Masjid, lantai satu dan dua penuh sesak.  Jamaah bahkan meluber dihalaman masjid, sisi kiri dan kanan. Bahkan area bekas bongkaran disisi kiri Masjid juga dipenuhi jamaah. Subhanallah.



Masjid Moeeniya
Esok harinya, Sabtu pertama di Mumbai.  Saya tak punya rencana khusus. Setelah bermalas-malasan sepanjang pagi, saya memutuskan untuk berjalan-jalan sekitar hotel. Tujuan pertama adalah mencari makan siang. Mengandalkan googlemaps, saya temukan kedai pizza disebuah pom bensin, di sisi BKC road.  Setelah seminggu penuh dengan makanan India, saatnya bertukar selera.

Sambil duduk-duduk dikedai itu terbersit ide untuk menelusuri Masjid-masjid dikawasan ini yang ditunjukkan oleh aplikasi MuslimPro ditelepon genggam saya. Saya buka aplikasi itu di telepon genggam dan benar saja terlihat banyak masjid disekitar. Yang terdekat adalah Masjid Moeeniya, seratus lima puluh meter saja dari tempat saya berada. Dari foto-foto yang tersedia di googlemaps, sepertinya masjid ini cukup keren. Selepas makan siang, saya berjalan menuju masjid itu, mengikuti arah yang ditunjuk GPS. Sampai di sebuah simpang tiga, berbelok kekanan memasuki jalan Kanzul Iman. Disebelah kanan terlihat BKC Fire Station, ada dua truk pemadam berwarna merah bersiaga disitu. Rupanya masjid Moeeniya ada disisi yang lain, saya harus menyeberang. Syukurlah jalan Kanzul Iman tak terlalu ramai, menyeberanginya tidaklah terlalu horor.


Masjid Moeeniya berada sekitar lima puluh meter dari jalan itu, dibelakang deretan apartemen sederhana yang padat penduduk dan dari bangunannya terlihat cukup tua. Ada lima blok apartemen dipinggir jalan itu dan semua lantai dasarnya digunakan untuk toko-toko berbagai barang, termasuk bahan makanan. Dipinggir jalan didepan blok-blok apartemen itu banyak penjaja kaki lima menjajakan makanan dengan gerobak, ditingkahi mobil-mobil dan sepeda motor yang parkir. Diantara gerobak-gerobak penjaja itu ada sebuah mobil van dipenuhi bendera dan poster. Sepertinya sedang berkampanye karena dalam minggu berikutnya ada pemilihan dewan kota Mumbai. Suasananya lebih mirip pasar.

Masjid Moeeniya berada tepat dibelakang blok apartemen yang pertama. Ada jalan kecil untuk menuju masjid itu dari pinggir jalan Kanzul Iman.  Disisi kanan adalah apartemen dan disisi kiri adalah lahan terbuka yang dipakai oleh pemulung mengumpulkan dan mensortir sampah.  Ada juga deretan gubuk-gubuk para pemulung itu.  Kadang kita harus berpapasan dengan rickshaw (bajai) atau pick-up atau gerobak pengangkut sampah.  Bau tak sedap menyeruak.  Tiba dimuka Masjid, udara terasa berat karena debu beterbangan yang berasal dari pembangunan blok apartemen baru tepat dibelakang Masjid. 

Bergegas saya menuju pintu Masjid, melepas sepatu dan melangkah masuk.  Sebagaimana masjid sebelumnya, masjid ini juga bersih, terawat dan menenangkan, meski berada ditengah lingkungan yang tidak begitu menyenangkan.  Saya sampai disitu selepas azan Asar, maka saya menunggu shalat berjamaah. Sudah ada dua shaf terisi, jamaah terus berdatangan. Berbeda dari masjid Noor-e-Mohammadi, ruang shalat Masjid Moeeniya lebih luas, tanpa sekat. Dipojok belakang ada kabinet yang diatasnya bertumpuk peci-peci berbagai ukuran.



Masjid Garib Nawaz


Selepas bergabung dengan jamaah shalat Asar di Masjid Moeeniya, saya melanjutkan jalan kaki mengikuti GPS, menelusuri sisi Jalan Kanzul Iman. Setelah melintasi blok-blok apartemen itu, terlihat ada masjid lain didepan.  Masjid and Madarsa Garib Nawaz.  Ia diapit oleh dua gedung perkantoran baru yang mentereng, Pinnacle Business Park disebelah kiri dan Regus dikanan.


Meski demikian, Masjid ini terlihat lebih tua dan sederhana dibanding dua masjid sebelumnya yang telah saya kunjungi. Ia juga tidak tepat dipinggir jalan, sekitar tiga puluh meter dari jalan Kanzul Iman. Masjid sepi, tak ada jamaah, karena shalat Asar baru saja selesai ditunaikan. Saya mengambil beberapa foto disitu, sebelum berlalu. Sama dengan masjid-masjid lain, meski ia tampak tua dan kusam, masjid ini bersih dan terpelihara.




Masjid Jama' Mohammadi
Saya teruskan perjalanan. Tak jauh dari situ adalah ujung jalan Kanzul Iman yang bertemu jalan BKC CST Link, jalan raya yang lebar dan ramai. Gedung Regus ternyata berada dipojok simpang tiga itu. Saya berbelok kekiri, ternyata sekitar dua ratus meter didepan ada simpang tiga lagi yang lebih besar dan lebih ramai, dimana BKC CST Link road memotong jalan Santacruz-Chamber link road. Saya melangkah kearah sana.  Menengok kekanan, disisi jalan yang lain, terlihat sebuah masjid lain yang cukup besar sebenarnya namun tersuruk dibelakang deretan toko dan bengkel.  Itu adalah Masjid Jama' Mohammadi.


Saya tidak mendekat ke masjid itu, hanya mengambil foto saja dari seberang jalan. Saya terus berjalan menuju simpang tiga besar itu. Googlemaps menunjukkan disebelah kanan, diseberang sungai ada masjid yang besar, terlihat memang menara putihnya menjulang. Saya menuju kesana dan harus menyeberang di simpang yang besar dan ramai itu. Pasti tidak mudah, namun terlihat ada polisi menjaga disana.

Oh, ternyata simpang besar itu bukan simpang tiga, tetapi simpang empat.  Sisi keempat tak terlihat dari jauh, karena jalannya relatif sempit. Namanya Noorie Masjid Road.  Aha..pasti ada masjid lagi didalam situ. Namun saya tak menuju kesana, saya menyebrang di Simpang itu ke arah kanan memasuki jalan Santacruz-Chembur link road. Seperti diduga, menyebang disana tetap sulit dan berbahaya. Kehadiran polisi tak kentara.

Bagaimanapun saya tiba diseberang. Disisi kanan adalah deretan bengkel dan toko, lanjutan dari yang menutupi Masjid Jama' Mohammadi.  Rupanya tempat itu adalah pusat jual beli suku cadang kendaraan bekas. Tidak hanya tempat berjual beli, bengkel-bengkel itu juga membongkar dan mempreteli kendaraan-kendaraan bekas atau rusak ditempat itu juga. Hiruk pikuk tempat itu, bunyi perkakas besi dipukul-pukul, tawar menawar penjual dan pembeli, para pekerja bersenda dengan kolega, penjual makanan berteriak menjaja dan bunyi klakson kendaraan dijalan yang tak pernah berhenti.  Riuh dan meriah.

Saya teruskan berjalan, lalu saya berada diatas jembatan yang membentang diatas Mithi River. Saya berhenti disitu, membalik badan kekanan mengikuti aliran sungai, membelakangi lalu lintas yang tetap ramai dan hiruk pikuk itu.  Disisi kanan saya dapat melihat sisi lain dari Masjid Jama' Mohammadi yang terlihat tersuruk ketika saya masih disisi jalan yang lain. Sisi masjid yang ini semakin tak sedap dipandang, ia seperti tenggelam dalam tumpukan sisa-sisa pembongkaran mobil bekas. Sepertinya bagian-bagian yang tak laku dijual ditumpuk ditempat itu. Entahlah apakah tumpukan itu dibuang ketempat lain atau dibiarkan saja lalu hanyut bila air sungai besar tiba.


Masjid Hanafi Deobandi

Disisi kiri sungai itu terlihat masjid putih yang cukup besar, yang sedari tadi menaranya telah tampak. Masjid Hanafi Deobandi namanya.
Saya berjalan lagi menuju Masjid besar putih itu. Mungkin karena berkeliling dan mengambil banyak gambar diluar Masjid, mulai ada mata yang lekat mengikuti saya.  Ia mungkin curiga, siapa orang ini, jangan-jangan ia sedang merencanakan penyerangan pada masjid ini. Saya hentikan mengambil foto dan berwudhu', kemudian memasuki masjid.  Tiba-tiba seorang Bapak tua berjanggut panjang yang semuanya telah memutih memegang pundak saya sambil tersenyum. Kami lalu bersalaman. Saya segera faham, ia pasti meminta klarifikasi tentang apa yang saya lakukan.



Cuma ada sedikit persoalan, Bapak ini tidak berbahasa Inggris. Saya pula tak bercakap satupun dari bahasa-bahasa yang dipakai di Mumbai. Tidak Marathi yang merupakan bahasa resmi negara bagian Maharashtra. Tidak Hindi yang merupakan bahasa resmi India. Tidak pula Urdu yang digunakan populasi Muslim dan menjadi bahasa khutbah Jumat. Ketiganya terdengar sama saja bagi saya.

Maka kamipun mengandalkan bahasa Isyarat. Jari telunjuk kirinya menunjuk dada saya dan dari mulutnya keluar suara "naam".  Dalam bahasa Marathi atau Hindi, kata itu berarti 'nama'.  Kedua tangan kanan kami masih bersalaman. Saya duga ia bertanya siapa saya. Saya sebutkan nama dan saya katakan saya Muslim dari Indonesia. Ia lalu melepaskan salaman kami dan dengan kedua tangan ia membentuk isyarat seolah-olah sedang memotret dan dari mulutnya keluar kata "camera". Lalu saya katakan dalam Bahasa Inggris yang sederhana dan terpatah-patah dibantu gerakan isyarat dari kedua tangan bahwa foto-foto itu untuk koleksi saya sendiri dan saya tak menjualnya. Saya hari ini sedang berkeliling ke masjid-masjid yang berada dikawasan ini. Ia kelihatan mengerti dan berkata "acha..acha...", sambil menepuk-nepuk pundak saya. Lalu mempersilakan saya shalat.


Masjid Darussalam
Hari Jumat kedua di Mumbai, saya berencana shalat jumat di Masjid Noor-e-Mohammadi, sebagaimana pekan sebelumnya.  Hanya saja pagi itu agak sibuk, sepuluh menit sebelum azan baru saya bisa meninggalkan kantor.  Sepanjang jalan bertemu banyak jamaah yang juga bergegas. Saya bergabung dengan mereka ketika menyeberang jalan di simpang tiga yang kejam itu.


Sesampai diseberang mereka ternyata tidak belok kekanan menuju masjid yang saya tahu, tapi justru belok kiri.  Saya tertegun sejenak, lalu memutuskan untuk mengikuti rombongan itu.  Mungkin mereka punya jalan lain atau bahkan Masjid lain yang lebih baik.  Saya ikuti mereka meliuk-liuk di gang-gang dan tampak seperti mereka menuju Masjid Noor-e-Mohammadi.  Namun ternyata tidak, mereka berhenti di tempat lain, namanya Anjuman Madarsah Darussalam.
Masjid Darussalam ini tidak seluas Masjid Noor-e-Mohammad.  Dan ia tepat berada ditengah-tengah pemukiman yang sangat padat penduduk. Saya menduga sepadat itu pula suasana Masjid Noor-e-Mohammadi sebelum pembongkaran.  Karena datang terlambat, untuk mengambil wudhu harus antri. Selesai berwudu', ternyata lantai dasar telah penuh.  Saya naik ke tingkat dua, lalu tiga, sama saja, tak ada celah.  Akhirnya sampai ditingkat empat yang ternyata adalah lantai teratas yang terbuka tak beratap.  Dan suhu udara di Mumbai hari itu mencapai 38 Celcius.  Lagi-lagi karena kelembaban udara tak tinggi, terik terasa menyengat, tapi anda tak banyak mengeluarkan keringat.

Yang menarik saat shalat diruang terbuka seperti itu adalah suara azan dan khutbah yang terdengar bersahut-sahutan. Kadang-kadang membingungkan, apakah ini dari Masjid dimana anda berada atau masjid lain. Ternyata dikawasan itu ada beberapa masjid yang lebih kecil dan semuanya menyelenggarakan Shalat Jumat. Diperjalanan pulang bahkan saya berjumpa masjid yang mengambil tempat lantai dasar sebuah apartemen tua dan sederhana. Mesjidnya sempit, tiada menara dan tak terlalu kentara dari luar. Ini membuktikan bahwa jumlah Masjid yang belum sebanding dengan jumlah Jamaah.


Bersih dan nyaman


Dari beberapa masjid yang saya kunjungi, secara umum keadaan fisiknya tidak sebaik kebanyakan Masjid ditanah air, apalagi di Malaysia dimana masjid-masjid demikian megahnya. Namun satu hal yang mengagumkan adalah Masjid-masjid ini begitu terpelihara kebersihannya. Mudah sekali mendapatkan kenyamanan dan kedamaian saat anda berada didalamnya, meski suasana dibalik dinding masjid-masjid itu boleh jadi tidaklah menyenangkan.

Jumlah jamaah yang menghadiri shalat fardhu juga relatif lebih banyak dibanding rata-rata ditanah air.

Satu hal lagi yang menarik adalah setiap disebut nama Rasullullah, Muslim disini selalu menjawab dengan cara unik. Sembari melafazkan 'Salallahu Alaihi Wassalam', mereka menyentuhkan kedua jari telunjuk ke kelopak mata dan bibir bergantian beberapa kali.




























Comments

Taufik Arifin said…
Pak Delil.. bagus sekali pengalaman hidup di Mumbai. Mengamati dunia Islam disana....
Terima kasih telah singgah, Pak Taufik.

Popular posts from this blog

Lampu togok dan lampu strongkeng

Kopi cap "Rangkiang", kue sangko & saudagar tembakau

TV Pertama Kami (bagian 3)