Kopi cap "Rangkiang", kue sangko & saudagar tembakau

(sumber:www.gedangsari.com)

Mari bercerita tentang kopi. Sama sekali bukan karena warung kopi paling sukses sedunia, Starbuck, ternyata pendukung LGBT yang saya kutuk itu. Sementara kasusnya saya tutup dengan berazam bahwa saya tidak akan pernah minum kopi starbuck lagi. Lu, gua, end!

Sesungguhnya kopi memiliki tempat tersendiri dalam hikayat keluarga kami. Tidak hanya karena abak (ayah), ibu dan saya sendiri adalah peminum kopi. Lebih dari itu almarhum Abak pada suatu waktu dulu adalah petani kopi dan kemudian mengembangkan sayap usahanya dengan memproduksi bubuk kopi sendiri dengan merek dagang 'Rangkiang'.

Rangkiang mungkin bukan nama yang mudah dipahami oleh kebanyakan orang, Nama itu diambil dari bahasa Minang yang berarti lumbung padi. Cobalah google gambar rumah gadang, rangkiang biasanya berdiri anggun di sudut depan kiri dan/atau kanan dari rumah gadang. Ia berupa bangunan panggung, langsing karena lingkar pinggangnya lebih kecil dari pada lingkar bahunya serta beratap bagonjong (menyerupai tanduk kerbau,) sebagaimana rumah gadang.
Rangkiang

Kopi tubruk adalah satu-satunya cara meminum kopi yang kami tahu dimasa itu. Di rumah-rumah, di lepau-lepau kopi dan rumah makan, bila anda meminta kopi, maka kopi tubruklah yang akan disuguhkan. Kopi tubruk sejatinya adalah bubuk kopi yang disiram ('ditubruk') dengan air mendidih, tanpa disaring. Boleh diminum dengan atau tanpa gula, sesuai selera. Adapun kopi susu, kopi tubruk yang ditambahkan susu kental manis cap Nona, adalah puncak kemewahan. Hanya petani yang baru panen, pegawai yang baru gajian atau pedagang yang kebetulan balabo (berlaba) yang mampu menikmatinya. Sama sekali tidak pernah kami mendengar kata-kata seperti cappucino, cafe latte, machiato, americano, doppio dan berbagai ragam kopi berbasis expresso lainnya.

Abak memulai usaha memproduksi bubuk kopi setelah kami menetap di sudung palupuh
(klik kabacarito: Hijrah ke Sudung Palupuh), ketika saya sudah bersekolah SD (Sekolah Dasar), jadi sekitar awal 1980-an. Usaha ini bertahan beberapa tahun saja.

Abak memiliki ladang kopi yang tak seberapa luas. Mulanya abak menjual hasil panen kopinya dalam bentuk biji kopi kering, Namun layaknya kebanyakan komoditi pertanian, harga biji kopi berfluktuasi, seperti roller-coaster. Kadang mahal, lalu terjun bebas murah sekali pada tingkat yang merugikan petani. Sebagai orang yang senang melakukan hal-hal baru, abak memutar otak (meluncurlah ke tautan http://kabacarito.blogspot.my/2013/05/abak.html untuk cerita lebih detail tentang abak). Hasil permenungan dan perenungan itu adalah keputusan untuk memproses lebih lanjut biji kopi itu menjadi bubuk kopi yang nantinya akan dijual ke lepau-lepau (warung) di dusun kami dan desa-desa sekitar. Dengan meningkatkan nilai tambah, Abak berharap ia tidak terlalu terpengaruh oleh gejolak harga biji kopi mentah dunia. Epic sekali kedengarannya, bukan? Seorang petani kopi miskin dari dusun kecil dipelosok Kerinci, yang dikurung lebatnya rimba hujan Sumatera, mencoba menantang hegemoni kapitalis yang memainkan harga-harga seenak perutnya saja.
Pohon kopi berbuah lebat (sumber:www.berkebunonline.com)
Pada mulanya, usaha bubuk kopi itu mengandalkan hasil panen ladang sendiri. Ketika kapasitas produksi meningkat, abak mulai membeli biji kopi mentah dipasaran sebagai bahan baku.

Buah kopi yang siap untuk dipetik ditandai dengan kulit buahnya yang berwarna merah tua, seperti apel washington. Buah-buah itu dipetik dengan tangan. Pohon kopi tidaklah terlalu tinggi, sebagian besar buahnya dapat dijangkau sambil berdiri. Pohon kopi yang tumbuh dikampung kami adalah kopi robusta.

Menggiling dan Berjemur
Pengolahan biji kopi selepas panen diawali dengan menggiling buah-buah kopi matang itu menggunakan mesin sederhana yang terbuat dari kayu dan diputar dengan tenaga manusia. Penggilingan ini bertujuan untuk memecah kulit buah agar proses pengeringan berlangsung lebih cepat. Didalam setiap buah kopi biasanya terdapat dua biji. Selanjutnya biji kopi yang telah terbelah itu dijemur dibawah matahari.
Menggiling buah kopi (sumber: www.tempo.co)

Selama musim panen kopi, halaman-halaman rumah dan bahu-bahu jalan dipenuhi oleh hamparan biji kopi yang dijemur. Ketika pagi mulai merekah, kami sibuk membentang plastik-plastik lebar aneka warna yang diatasnya kemudian buah-buah kopi ditumpahkan dari karung, lalu diratakan hingga memenuhi seluruh hamparan plastik menggunakan alat kayu menyerupai bilah buldozer yang bertangkai. Menjelang Matahari tenggelam, hamparan biji-biji kopi itu dikumpulkan kebagian tengah plastik dengan mengangkat pojok-pojok plastik, lalu dimasukkan kembali kedalam karung-karung. Sering pula, biji-biji kopi itu tidak pernah dimasukkan kembali ke karung-karung hingga benar-benar kering. Sepanjang malam dibiarkan saja teronggok dihalaman, ditutup plastik yang juga berfungsi sebagai alas penjemuran. Onggokan itu dibuka dan dihamparkan kembali bila pagi tiba.
Menjemur kopi (sumber: www.krjogja.com)



Kadang cuaca tidak bersahabat, hujan tiba-tiba turun disiang hari. Ini memerlukan tindakan sigap untuk menyelamatkan biji-biji kopi dari basah kuyup, dengan secepat mungkin mengangkat ujung-ujung plastik untuk mengumpulkan biji-biji kopi itu ketengah dan menutupnya.

Bila telah sempurna keringnya, proses selanjutnya adalah memisahkan biji-biji kopi dari kulitnya. Ini bisa dilakukan dengan mesin sederhana dari kayu yang tadi dipakai memecah kulit buah kopi sebelum dijemur. Atau, dapat dilakukan pula oleh mesin penggiling padi (heler), yang tentu saja melakukannya dengan lebih cepat. Biji-biji kopi yang telah bersih dari kulitnya itu sudah siap dijual atau diproses lebih lanjut menjadi bubuk kopi.

Merendang
Merendang biji kopi kering adalah tahapan maha penting karena ia akan menentukan cita rasa dan penampilan bubuk kopi yang dihasilkan. Semakin lama direndang, kopi yang dihasilkan akan semakin pekat hitamnya dan lebih pahit rasanya. Kuncinya tentu mendapatkan cita rasa, aroma dan penampilan yang paling tepat dan konsisten. Ibu adalah orang yang punya otoritas penuh untuk menyatakan bahwa proses ini masih harus dilanjutkan atau dihentikan. Sebelum perendangan dilakukan, ibu pula yang menyeleksi biji-biji kopi yang layak direndang. Hanya biji yang bernas saja yang layak direndang. Biji-biji yang hitam atau kisut akan dibuang, karena ianya hanya akan merusak kualitas bubuk kopi.

Sebelum abak memulai usaha bubuk kopinya, kami sudah sering merendang biji kopi hasil panen ladang sendiri, yang bubuk kopinya untuk konsumsi sendiri saja. Kuali besi, yang biasa ibu pakai untuk memasak rendang daging kerbau menjelang bulan puasa atau hari raya, sudah cukup untuk merendang biji kopi. Akan tetapi metode paling sederhana ini tentu tidak memadai lagi mengingat banyaknya biji kopi yang harus direndang dalam satu waktu.

Rupanya, dalam dekade 70-an, kakak laki-laki ibu, yang kami biasa panggil Mak Dang, telah menjalankan usaha memproduksi biji kopi di Sungai Penuh, ibukota kabupaten kami. Kemudian ia kembali ke kampung halaman Ibu dan meneruskan usaha bubuk kopinya hingga kini. Entah kenapa, salah satu alat vital dalam industri bubuk kopi, yaitu alat perendang biji kopi, tidak dia bawa pergi dan dititipkan dirumah Tek Da, adik perempuan Ibu. Selama beberapa tahun ia teronggok sepi sebagai besi tua digudang. Setelah diperiksa ternyata alat ini masih dalam kondisi baik dan masih dapat digunakan. Maka ia kemudian kami bawa ke dusun kami untuk berkhidmat dalam usaha bubuk kopi Rangkiang, kopi asli nomor satu diseluruh dunia.

Alat ini berbentuk silinder. Ia dibuat dengan memodifikasi drum minyak berukuran cukup besar. Diameternya sekitar 70-80cm. Ditengahnya dipasang sumbu dari besi berdiameter kurang lebih satu inchi, yang menjulur keluar dikedua sisi sejajar silinder itu. Disatu sisi, sumbunya menjulur lurus barang 20cm. Disisi lain, sumbu itu menjulur lebih panjang dan berkelok. Bermula lurus kemudian berbelok 90 derajat, lalu berbelok lagi 90 derajat, membentuk huruf L.
Merendang kopi (sumber:www.tribunnews.com)

Sementara itu, pada sumbu besi dibagian dalam silinder, dipatri beberapa bilah plat besi dengan posisi sedemikian rupa yang memungkinkan terjadinya pengadukan yang merata, ketika silinder itu diputar pada sumbunya. Disisi silinder yang melengkung, dibuatkan pintu kecil, untuk memasukkan dan mengeluarkan biji besi dari alat perendangan.

Selanjutnya, dipilihlah tempat untuk melakukan proses perendangan ini dan disitu dipasang dua tonggak sejajar. Gunanya adalah sebagai tempat dimana sumbu yang menjulur keluar dari silinder perendangan akan disangkutkan. Dibawah silinder, api mulai dinyalakan dengan menggunakan kayu bakar. Setelah biji kopi kering dimasukkan kedalam silinder, maka prosesi perendangan dimulai dengan memutar silinder itu, melalui juluran sumbu berbentuk L, terus menerus pada kecepatan tetap, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu pelan. Api pun dijaga agar stabil, tidak terlalu besar, tidak pula terlalu kecil. Abak adalah perendang utama. Biasanya perendangan dimulai selepas subuh dan selesai ketika matahari telah tinggi, tentu saja setelah ibu memberi persetujuan bahwa perendangan telah selesai. 

Bila pagi itu ada prosesi merendang kopi, ibu akan bolak balik dari sekolah kerumah, yang memang tidaklah jauh, sekedar untuk memonitor perendangan. Beberapa biji kopi akan dikeluarkan sedikit dari drum perendangan dan ibu akan melihat penampakannya. Kadang keluar instruksi untuk memperbesar atau mengecilkan api, agar proses masaknya kopi tidak terlalu cepat yang bisa menghanguskan biji kopi atau tidak terlalu lambat. Abak tidak pernah percaya diri untuk memastikan apakah kopi telah matang atau tidak. Bahkan, Abak tak pernah menjawab dengan meyakinkan kalau sesekali Ibu menanyakan tentang masakannya, apakah terlalu asin atau kurang garam atau kurang bumbu yang lain. Abak selalu menjawab bahwa ia hanya tahu kalau makanan sudah keasinan, selainnya sama saja baginya. Maka, keputusan apakah perendangan sudah cukup atau belum sepenuhnya menjadi hak prerogatif Ibu yang tidak bisa diganggu gugat. Saking pakarnya Ibu, lama kelamaan, Ibu tidak lagi perlu melihat penampakan biji kopi untuk mengeluarkan instruksi, cukup dari baunya saja. "Alah mah, angkek lah lai..! (Sudah cukup, angkat saja!)", begitu instruksinya terdengar dari dalam rumah.

Menumbuk dan Menggiling lagi              
Biji kopi yang telah sempurna masaknya, wangi baunya dan coklat tua warnanya, dikeluarkan dari drum perendangan. Proses berikutnya adalah menghaluskan biji-biji itu hingga menjadi bubuk. Tapi sebelumnya, biji-biji itu dihamparkan dulu, diangin-anginkan agar dingin dan asapnya hilang.

Proses penghalusan biji-biji kopi yang telah direndang ini kami lakukan, lagi-lagi, dengan teknologi yang sederhana, yaitu menumbuknya menggunakan lesung dan alu. Hanya saja, mengingat kuantitas biji kopi yang kami proses cukup banyak, maka lesung kecil dan alu yang digerakkan dengan tangan jelas tidak memadai. Maka, dibelakang dapur kami membangun instalasi lesung kaki berukuran besar, dengan alu yang digerakkan oleh kaki menggunakan prinsip jungkat-jangkit. Kurang lebih seperti jungkat-jangkit yang banyak dijumpai ditaman-taman permainan kanak-kanak.

Lagi-lagi kami menggunakan drum besar bekas tempat minyak, kali ini untuk membuat lesungnya. Drum itu dipotong hingga tingginya sekitar 70-80 cm. Didasar dan dinding bagian dalamnya dipasang kerangka besi, selanjutnya dicor dengan adonan semen dan pasir, dimana komposisi semennya jauh lebih banyak. Jadilah lesung beton yang sangat kokok, cukup tegar menerima hantaman alu kayu besar bertubi-tubi.

Miniatur lesung kaki (sumber: Museum Orang Asli, Gombak, Selangor, Malaysia)

Alu kami buat dari batang kayu yang cukup besar. Aku lupa nama kayunya, yang jelas kayu jenis ini sangat keras dan berat.

Sementara itu, batang kayu sepanjang kurang lebih 6 meter digunakan sebagai sumbu utama dari alu jungkat-jangkit ini. Ia juga besar dan berat. Salah satu ujungnya dilubangi dan kedalamnya disorongkan ujung alu tadi, sehingga alu dan sumbu membentuk sudut sempurna 90%. Sekitar satu setengah meter dari ujung lain dari kayu sumbu, ditanamkan sumbu besi berdiameter kurang lebih 2 inchi, menembus batang kayu sumbu, dan menjulur kekiri dan kekanan sepanjang kurang lebih 25cm. Sumbu besi menjulur ini kemudian disangkutkan pada dua tonggak kayu yang telah ditanam dengan kokoh. Maka titik inilah yang menjadi titik tumpu jungkat-jangkit ini. Ujung kayu sumbu yang tidak ada alunya, bagian atasnya diratakan, agar nyaman untuk menapakkan kaki dalam menggerakkan alu jungkat-jangkit ini.

Begitulah, biji kopi yang telah direndang dimasukkan kedalam lesung, alu kemudian diletakkan keatasnya. Sementara, di ujung yang lain, Abak atau Da San (Uda Hasan), yang membantu Abak memproduksi kopi, bersiap memainkan jungkat-jangkit. Cara kerjanya sungguh sederhana, ketika Abak atau Da San menekan ujung kayu sumbu didekatnya menggunakan kaki, maka ujung yang lain dimana alu besar menempel, akan terangkat. Kemudian, begitu kaki yang menekan ujung kayu sumbu dilepaskan maka ujung lain akan jatuh, alu yang berat itu menghantam biji-biji kopi didalam lesung. Demikian seterusnya hingga biji-biji itu hancur menjadi kepingan-kepingan halus. Saat prosesi penumbukan itu, biji-biji kopi terus mengeluarkan aroma yang sedap.
 

Lesung kaki sedang beraksi (sumber: m.forum.cari.com.my)

Meski telah menggunakan teknologi, pekerjaan menumbuk kopi ini adalah pekerjaan berat.  Hanya Abak dan Da San yang mampu melakukannya.  Instalasi lesung kaki jungkat-jangkit itu berat sekali.  Anak kecil sepertiku tak akan mampu menggerakkan kayu sumbu alu, meski aku berdiri sepenuhnya diujung kayu itu dan sekuat tenaga menekan kedua kakiku kebawah, raksasa itu tak bergeming.

Setelah beberapa lama (mungkin setahun dua), kami berhenti menggunakan lesung dan alu besar itu.  Abak membeli mesin khusus penggiling biji kopi selepas direndang menjadi bubuk kopi.  Meski masih manual digerakkan tangan, mesin ini jelas lebih efektif dan efisien dari dapat lesung raksasa itu.  Biji kopi dimasukkan melalui penampung berbentuk piramida terbalik dibagian atas mesin, lalu mesin dijalankan dengan memutar roda besi disebelah kanan.  Biji-biji kopi itu berubah menjadi butiran halus akibat dijepit dan digilas oleh dua roda gerinda didalam mesin itu.
Mesin penggiling kopi manual (sumber: www.ebay.com)
      
Mengayak 
Serpihan biji kopi hasil tumbukan alu atau gilasan roda-roda gerinda itu tentu tidak berukuran sama.  Ada yang sudah sehalus serbuk, tapi ada juga yang masih berupa kepingan-kepingan kasar.  Proses mengayak atau menyaring dilakukan untuk memisahkan bubuk halus dari kepingan-kepingan kasar.  Pengayakan lagi-lagi dilakukan dengan tangan, dibantu oleh alat ayakan berupa silinder berdiameter kurang lebih 60cm, dasarnya berupa kawat kasa halus dengan lubang-lubang yang kecil.  Dindingnya berupa plat seng setinggi kurang lebih 10cm.  Serpihan kopi hasil tumbukan dimasukkan kedalam ayakan, lalu ayakan digoyang-goyang kekiri dan kekanan dengan kedua tangan pengayak yang memegang dinding ayakan.  Dengan begitu, partikel-partikel yang lebih kecil jatuh kebawah melalui lubang-lubang didasar ayakan dan ditampung dengan panci besar.  Bubuk kopi hasil saringan ini telah siap untuk dikemas.  Sementara yang tertinggal didalam ayakan haruslah pasrah dicemplungkan kembali kedalam lesung atau mesin penggiling, untuk menerima hantaman alu atau gilasan gerinda lanjutan.  Demikianlah seterusnya hingga hampir semua serbuk kopi itu lolos melalui lubang ayakan, kecuali sedikit saja ampas tersisa.
Ayakan (sumber:www.tokopedia.com)

Kemasan    
Bubuk kopi itu kami jual dalam kemasan berbagai ukuran, mulai dari dua sendok makan, setengah ons, satu ons dan dua setengah ons (seperempat kilogram).

Kemasan dua sendok makan cukup untuk satu seduhan saja.  Kopi itu kami masukkan kedalam plastik kecil, bagian atasnya lalu ditutup dengan memanaskannya dengan api dari lampu togok (lampu minyak tanah yang biasa ditempel didinding).  Caranya, bagian atas plastik itu dilipat, ujung kiri dan kanannya ditarik agak kuat, lalu lipatan itu dilewatkan ke tepi lidah api dari sumbu lampu togok.  Panas api itulah yang merekatkan plastik.  Kemudian, plastik-plastik kecil berisi dua sendok kopi itu ditempelkan dengan rapi diatas selembar karton manila menggunakan stapler.  Bagian atas karton manila itu dikosongkan sebagai tempat stempel logo produk kami.  Agar karton manila itu kuat dan tetap membuka pada saat digantung, tepi atasnya dan bawahnya dilipat kebelakang untuk menyembunyikan bilahan bambu kecil yang berfungsi sebagai tulang penguat.  Lalu dibagian atas dipasangkan seutas tali rapia untuk menggantung.  Demikianlah, kemasan ini biasanya tergantung diwarung-warung dusun kami, biasa dibeli oleh penikmat kopi berkantong cekak, yang duitnya hanya cukup untuk sekali seduhan.

Sementara itu, untuk kemasan yang lebih besar, kopi juga dimasukkan kedalam plastik yang ukurannya sesuai.  Untuk kemasan luarnya, kami menggunakan kertas merang berwarna coklat muda, yang biasa digunakan oleh anak-anak sekolah untuk menyampul buku.  Kertas merang yang lebar itu dipotong-potong, lalu tepi-tepinya direkat dengan lem kanji membentuk kotak.  Bagian dasarnya ditutup dan bagian atasnya dibiarkan terbuka. Selanjutnya plastik yang telah berisi kopi dimasukkan kedalam kertas merang itu.  Agar terlihat rapi dan efisien dalam penyimpanan dan pengangkutan, maka kemasan itu haruslah berbentuk balok yang sempurna, yang hanya dapat dicapai bila bubuk kopi didalamnya dipadatkan dan mengisi seluruh ruang dan sudut kemasan.  Ini dilakukan dengan teknik khusus, namun tetap sederhana.  Alat bantunya adalah kotak kayu yang digunakan sebagai kerangka yang bagian kosong ditengahnya dibuat sebesar ukuran kemasan yang digunakan.  Kertas merang yang telah berisi kopi didalam plastik disorongkan kebagian kosong itu.  Lalu, bubuk kopi didalamnya dimampatkan dengan menusuk-nusukkan sebuah tongkat kayu.  Setelah padat dan semua sudut terisi, maka bagian atas kemasan itu ditutup dengan lem kanji.  Hasilnya, adalah balok coklat sempurna yang padat dan keras.  Langkah terakhir adalah menstempel sisi muka balok itu dengan logo produk kopi rangkiang.  Maka, kopi itu siap diluncurkan ke pasar.

Distribution Channel           
Ibarat film, Abak adalah aktor pemeran utama dalam usaha bubuk kopi rangkiang.  Ia adalah bagian pengadaan bahan baku, perendangan, penumbukan, pengemasan dan ia pula yang menjadi tenaga pemasaran.  Satu-satunya asisten resmi Abak, Da San, membantu dalam perendangan, penumbukan dan pengemasan.  Ia adalah murid SMP dimana ibu mengajar dan semua dilakukannya diluar jam sekolah.  Nama lengkapnya Hasan Basri, ia berasal dari kampung kecil bernama Punggasan di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, dua ratus kilometer jauhnya dari dusun kami, dimana kedua orang tuanya yang telah sepuh hidup.  Dia punya saudara didusun lain dibalik bukit sitangis, tapi rumahnya terlalu jauh dari sekolah.  Agar mendekat ke sekolah, ia bersedia tinggal bersama kami dan bekerja membantu Abak dalam usaha bubuk kopinya.  Remaja yang sangat bersahaja, namun punya tekad sekeras baja mengejar pendidikan.  Kini ia merantau ke negeri yang jauh, menjadi juragan rumah makan Padang di kota Bau-bau, pulau Buton, Sulawesi Selatan.

Kaleng seng (sumber:www.agromaret.com)
Abak mendistribusikan kopi nomor satu sejagad itu dengan menggunakan sepeda tuanya, yang sering disebut sepeda laki-laki, sebab ia tak mungkin dikayuh perempuan yang mengenakan kain atau rok, gara-gara besi bulat melintang horizontal dari bawah setang hingga bawah tempat duduk.  Adalah karung goni, dimodifikasi sedemikian rupa membentuk tas besar dengan dua kantung dikiri dan kanan, kurang lebih seperti tas kulit yang diletakkan dipunggung kuda para koboi difilm-film.  Bagian tengah tas goni itu diletakkan diatas tempat duduk belakang.  Kedalam dua kantung dikiri dan kanan, masing-masing disorongkan sebuah kaleng seng yang tingginya sekitar setengah meter dan sisi-sisinya sepanjang kurang lebih 30cm.  Didalam kaleng-kaleng itulah bubuk kopi berbagai ukuran disusun rapi.  Kaleng itu biasanya merupakan kemasan minyak goreng.  Pada zaman itu, bahkan hingga kini, kaleng-kaleng itu sangat populer menjadi tempat kerupuk.  Lihat saja di warteg-warteg.  Satu sisinya kadang sudah diganti dengan kaca, demikian pula tutup atasnya sudah dimodifikasi agar mudah dibuka oleh tangan-tangan orang Indonesia yang tidak bisa makan tanpa berisiknya kriukan kerupuk yang tak bergizi itu.
Kaleng kerupuk (sumber: www.paper-replika.com)
Dikampung kami, kaleng itu punya peran lain yang cukup terhormat.  Ia menjadi alat takar standar beberapa komoditi, seperti beras, kopi dan kacang-kacangan.  Kami tidak terbiasa membeli beras dengan ukuran metrik kilogram atau liter.  Satu kaleng beras setara dengan sepuluh gantang.  Satu gantang  setara dengan dua setengah liter.  Untuk beras, satu gantang beras beratnya kurang lebih satu setengah kilogram.  Jadi satu kaleng beras beratnya kurang lebih lima belas kilogram.  Konversi dari volume ke berat ini tentu hanya valid untuk beras, karena komoditi lain memiliki massa jenis yang berbeda.  Belum berhenti disitu, satu gantang setara dengan enam canting.  Canting adalah ukuran volume menggunakan kaleng kecil silinder bekas kemasan susu kental manis cap Nona.  Canting adalah ukuran yang paling populer didapur, digunakan untuk mengukur berapa banyak menanak nasi.  Dilepau-lepau kampung kami anda bisa membeli beras per canting.  Jadi, satu kaleng setara dengan enam puluh canting.  Ok...anda kelihatan bingung, mari kita ringkaskan 1 kaleng = 10 gantang = 60 canting.        
Susu cap Nona (sumber:antikpraveda.blogspot.com)
Paling tidak dua kali seminggu Abak mengayuh sepeda tuanya berkeliling masuk dusun keluar dusun, menghampiri lepau-lepau pecah belah, warung-warung kopi dan kedai-kedai nasi.  Stok kopi berbagai ukuran dititipkan, Abak mencatat dibuku saktinya dan meminta paraf dari pemilik lepau.  Pada kunjungan berikutnya, Abak memungut pembayaran atas bubuk kopi yang terjual, menambahkan stok yang menipis dan mencatat lagi dibuku saktinya.  Demikian seterusnya.  Buku sakti Abak itu sangat populer dikalangan para pedagang (atau tukai kredit) dizamannya, tebalnya sekitar 100 halaman, bentuknya ramping karena panjangnya sepanjang kertas A4 tapi lebarnya hanya setengah kertas A4.  Sampul bukunya tebal agar tangguh menghadapi berbagai cuaca dan suasana.

Kami telah pula menggunakan jasa iklan dalam mempromosikan produk kopi bubuk cap Rangkiang, kopi nomor satu sedunia.  Media iklan kami adalah radio amatir bergelombang AM milik dusun kami.  Materi iklannya berupa secarik kertas berisi informasi produk kopi rangkiang dan ajakan untuk menikmatinya karena ia adalah kopi terbaik, 100% kopi murni tanpa campuran apapun.  Naskah itu dibacakan oleh penyiar radio dari sebuah studio sempit dipojok gedung serbaguna milik desa.  Jadi, bagaimana naskah itu dibacakan tidaklah seragam, mengikuti gaya penyiar yang bertugas.  Seringkali penyiar menambah-nambah naskah iklan agar terdengar lebih menarik dan lucu.  Tentu kami membayar untuk kesempatan iklan kami dibacakan. 
Sepeda laki-laki (sumber: www.pixoto.com)

Diversifikasi kue sangko 
Entah karena omzet penjualan kopi yang menurun atau karena musabab lain, Abak memutuskan mendiversifikasi produknya dengan memproduksi kue sangko.  Kue sangko adalah kue khas Minang yang terbuat dari campuran tepung beras, kelapa, gula dan garam.  Bahan-bahannya serupa dengan kue putu, hanya saja kue sangko tidak dikukus.  Bahan-bahan yang telah matang itu dicampur merata lalu langsung dicetak.  Kue sangko produksi kami dicetak berbentuk silinder berdiameter kurang lebih lima centimeter dan tebalnya sekira satu setengah sentimeter.  Dua puluh keping kue sangko dimasukkan kedalam plastik dan distribusikan Abak bersama bubuk kopinya, dengan sistem yang sama, tarok dulu bayar belakangan, dan transaksinya dicatat didalam buku sakti yang sama pula.  Sangat sederhana tapi digemari khalayak ramai.  Penganan nikmat untuk menemani secangkir kopi tubruk.
Kue sangko (sumber: landakungu.wordpress.com)
   
Saudagar tembakau        
Abak sang tukang serba bisa itu adalah pekerja keras sekaligus pembosan tingkat tinggi, yang selalu ingin mencoba hal baru.  Ketika usaha bubuk kopi Rangkiang dan kue sangko masih berjalan, ia tertarik menjadi saudagar tembakau.  Ia membeli tembakau dari petani lalu dijual ke pusat perdagangan tembakau di Payakumbuh.  Didusun kami profesi ini disebut tauke.  Kadang Abak membeli tembakau yang telah kering dan siap dijual.  Lain waktu Abak membeli tanaman tembakau yang siap panen diladang, karenanya Abak harus mengerahkan pekerja upahan untuk memanen dan mengolah tembakau itu hingga siap dibawa ke Payakumbuh.
Ladang tembakau (sumber: www.panoramio.com)

Pengolahan tembakau pasca panen cukup rumit.  Setelah dipanen, daun-daun tembakau itu dirajang atau diiris dengan ketebalan yang berbeda-beda, sesuai dengan kebutuhan atau kualitas daun tembakaunya.  Merajang tembakau adalah keahlian khusus yang harus dipelajari dan dilatih.  Alat bantu merajang tembakau relatif sederhana, utamanya adalah pisau khusus dan alat bantu dari kayu untuk menjepit daun-daun tembakau itu.  Selepas dirajang, irisan-irisan daun tembakau yang tipis dan panjang itu dihamparkan diatas anyaman bambu, lalu dijemur.  Proses penjemuran memakan waktu berhari-hari untuk mencapai tingkat kekeringan yang diinginkan, ditandai dengan warna yang coklat tua, mendekati hitam, serta aroma khas tembakau.  Sepanjang masa pengeringan, hamparan tembakau itu disemprot dengan larutan kimia tertentu, mungkin untuk mengawetkan.  Bila ladang tembakau dimana panen dilakukan terletak jauh dari dusun, masa semua proses itu dilakukan diladang.  Tembakau kering lalu diangkut kedusun oleh buruh angkut, untuk selanjutnya dikemas.  Selama itu para pekerja panen dan pengolahan tembakau tinggal diladang, dipondok bambu darurat.    
Merajang tembakau (sumber: lintaskebumen.wordpress.com)

Setelah kering tembakau siap dijual.  Kemasan tembakau siap jual itu cukup menarik.  Tembakau-tembakau itu disusun berlapis-lapis sedemikian rupa, sehingga membentuk balok berukuran kurang lebih panjang 1.5 meter serta lebar dan tinggi sekitar 60cm.  Lalu balok itu dibungkus rapat dan rapi dengan tikar yang terbuat dari anyaman pandan.  
Menjemur tembakau (sumber: www.tribunnnews.com)

Buntalan-buntalan tembakau berbentuk seperti roti tawar raksasa itu diangkut dengan truk ke Payakumbuh.  Abak menyertai dengan menumpang bus.  Biasanya Abak dan tembakau dagangannya mencapai kota Payakumbuh pada waktu yang hampir bersamaan.
Tembakau berbungkus tikar (sumber:www.agusmulyadi.web.id)

Perjalanan Kerinci-Payakumbuh yang berulang-ulang itu membuat Abak menjadi dekat dengan beberapa supir Bus, sering Abak diberi tempat duduk dibarisan depan, sehingga mereka leluasa maota (bercakap-cakap) sepanjang perjalanan.  Suatu kali Abak bercerita tentang usaha bubuk kopinya, terutama tentang rencananya membeli mesin diesel untuk menggerakkan mesin penggiling kopi yang saat itu masih digerakkan tangan.  Abak merasa mulai kewalahan melakukan semuanya secara manual.  Uda Hasan adalah operator utama mesin itu, sementara Abak kini banyak bepergian berdagang tembakau.  Lagi pula Uda Hasan sudah hampir lulus SMP dan ia harus pindah ke Sungai Penuh untuk melanjutkan sekolahnya.  Dengan adanya mesin diesel itu Abak berharap kami tetap dapat mempertahankan kuantitas pasokan, meski ia banyak tidak dirumah.

Namun sang supir punya pendapat lain.  Menurutnya, menggiling biji kopi selepas direndang dengan mesin tenaga diesel akan menghasilkan bubuk kopi kualitas rendah.  Pasalnya, mesin penggiling kopi bekerja dengan prinsip menggilas biji-biji kopi dengan dua roda gerinda yang berputar berlawanan arah.  Bila kecepatan roda-roda gerinda itu ditingkatkan berlipat-lipat oleh mesin diesel, maka timbullah panas yang tinggi yang pada gilirannya merusak rasa dan aroma bubuk kopi.  Bahkan bubuk kopi bisa berbau sangit.  Abak termakan pendapat itu, yang memang terdengar masuk akal.  Maka rencana membeli mesin diesel dibatalkan.  Semenjak itu, usaha kopi bubuk 'rangkiang', kopi nomor satu, tidak berkembang.  Lupa aku bagaimana detailnya, akhirnya usaha kopi bubuk kami hentikan, demikian pula kue sangko.  Seiring semakin menurunnya harga tembakau dipasar internasional, petani tidak lagi menanam tembakau, Abakpun berhenti menjadi tauke tembakau.

Catatan: Foto-foto hanyalah sekedar ilustrasi, tidak terkait langsung dengan cerita. 

   

       

Comments

Popular posts from this blog

Lampu togok dan lampu strongkeng

TV Pertama Kami (bagian 3)