Pisang Karbitan

Masa kecil saya habiskan di dusun dipelosok Sumatera, dipunggung bukit barisan.  Abak (Ayah) yang seorang petani rajin menanam apa saja di ladang atau di pekarangan, terutama berbagai macam buah-buahan seperti jambu air, jambu biji, sirsak (kami menyebutnya durian belanda), langsat, rambutan dan durian.  Selain sayur-mayur seperti pucuk ubi (daun singkong), ubi jalar, pekarangan rumah bambu kami berjejer tanaman tebu dan pisang.  Semua diniatkan untuk dinikmati oleh anak-anaknya sendiri dan siapa pun yang mau.  Abak cuma mengharapkan hasil ekonomis dari tanaman keras yang tumbuh diladangnya, kopi dan kayu manis.  Pernah pula ia menjadi petani tembakau.  

Abak akan senang sekali bila ada orang yang pulang dari ladang lewat didepan rumah meminta tebunya untuk menawar haus.  Abak akan mempersilakan orang itu untuk mengambil sendiri dengan satu syarat, batang tebu itu tidak boleh dipotong dengan parang, tetapi haruslah dicabut dari akarnya.  Kata Abak, sisa bongkol tebu yang dipotong akan merusak kualitas dan mengurangi tingkat kemanisan batang-batang tebu disekitarnya.  

Adapun pisang, Abak punya dua jenis favorit, pisang raja serai dan pisang batu.  Pisang raja serai berukuran kecil, panjangnya rata-rata sekitar sepuluh sentimeter saja, bentuknya bulat panjang seperti sosis yang melengkung.  Ketika muda dan belum matang ia berwarna hijau, kemudian sepenuhnya menjadi kuning tua setelah matang.  Selain sedap dimakan, pisang ini juga harum.  Pisang ini baru enak dimakan kalau sudah sempurna matangnya, sebelum itu rasanya kelat.

Yang menarik adalah bila pisang umumnya memperlancar pencernaan, tertalu banyak makan pisang raja serai justru menyebabkan sembelit.  Dan penderitaan memalukan itu sering terjadi pada saya, hanya karena terlalu cangok (rakus) melahap pisang raja serai.       

Pisang batu, orang Jawa menyebutnya pisang kepok, adalah pisang yang lebih enak dimakan setelah diolah, menjadi kolak pisang, pisang goreng, pisang bakar atau sekedar direbus.  Didalam dagingnya tertanam butiran-butiran hitam yang keras, dan tidak enak dimakan tentu saja.  Mungkin dari situlah namanya menjadi pisang batu.

Pisang yang sudah cukup tua tidak dibiarkan matang dipohon, kalau tidak ingin jadi santapan burung atau binatang lainnya.  Pisang dipanen dengan menebang batangnya, karena tidaklah pisang berbuah dua kali.

Setelah panen, pisang belum bisa dimakan.  Proses pematangan bisa dilakukan dengan meletakkannya di salah satu pojok rumah atau dapur.  Tentu saja ini akan memakan waktu yang relatif lama, mungkin seminggu atau lebih.

Jangka waktu pematangan bisa dipotong dengan memeram pisang itu.  Abak biasanya membungkus pisang itu dengan daun lalu karung plastik dan membiarkannya.  Dengan cara ini pisang matang dalam empat atau lima hari.

Tapi bagi yang tidak cukup sabar, proses ini dapat dipangkas dengan memasukkan karbit kedalam bungkusan pisang yang sedang diperam itu.  Karbit atau Calcium Carbide (CaC2) yang banyak digunakan dalam industri juga sangat terkenal dikampung-kampung.  Selain untuk mempercepat pematangan buah, ia dipakai pula untuk membuat bom ikan.  Karbit yang biasa saya lihat bentuknya seperti pecahan batu sebesar jempol kaki orang dewasa, berwarna abu-abu.  Baunya tajam dan tidak menyenangkan, bikin mual.  

Dengan keajaban karbit, pisang matang paling lama dalam dua hari saja.  Tapi satu masalahnya, cita rasa pisang yang diperam dengan karbit tidaklah senikmat yang biarkan atau diperam normal.  Manisnya tidak maksimal, rasanya tidak sempurna dan aromanya tidak sampai.  Tidak orisinil, tidak natural.  Ia juga terkontaminasi oleh bau tidak sedap dari karbit.

Abak tidak suka memeram pisang dengan karbit dan ia benci memakan pisang karbitan.   

Jadi, moral dari cerita ini, apapun yang dipaksakan tumbuh, matang, berkembang, berproses secara instan dan tidak normal, melawan kebijaksanaan alam, tidak akan menghasilkan kualitas yang paripurna dan asli.  Apapun itu, termasuk Presiden!     

Comments

Popular posts from this blog

Lampu togok dan lampu strongkeng

Kopi cap "Rangkiang", kue sangko & saudagar tembakau

TV Pertama Kami (bagian 3)