Abak dan Batu Akik

Telah kuceritakan bahwa mendiang Abak (ayah) adalah seorang multi talenta, namun tak pernah benar-benar sukses secara financial dari satu pun keahliannya itu.  Ia pernah menjadi penjahit, tukang pangkas rambut, tukang reparasi sepeda, tukang patri, pembuat sekaligus distributor bubuk kopi, pembuat kue sangko (semacam kue putu kering), pedagang tembakau, petani kopi dan petani kayu manis.

Fenomena popularitas batu akik belakangan ini mengingatkan saya bahwa Abak juga pandai mengasah batu akik.  Dia telah menjadi penggemar batu semenjak muda dan di jemarinya juga selalu ada cincin berbatu akik.  Namun, sepanjang ingatan saya dia tidak pernah begitu terobsesi dan tergila-gila setengah mati pada batu akik seperti sebagian orang-orang hari ini.  Mungkin karena waktu itu hobby batu akik belum membawa efek keuangan yang menggiurkan seperti hari ini.

Abak kadang berhenti sebentar di lapak pedagang batu akik di pasar, sekedar berbincang ringan sembari melihat-lihat koleksi pedagang tersebut.  Sepanjang ingatan saya, Abak tidak pernah membeli batu akik dari pedagang.  Ia mengasah sendiri batu akiknya dan kemudian mendatangi penjual batu akik hanya bila ia ingin batu akik itu dipasangkan pada cincin.  Kegiatan mengasah batu akik ini dilakukan di waktu senggangnya, terutama sore hari selepas shalat Jumat.  Hari Jumat Abak tidak pergi ke ladang.

Bahan baku bisa ia temukan dimana saja, disungai, dipersawahan sekitar rumah atau ditepi jalan antara rumah dan ladang. Tidak pernah rasanya Abak membeli bahan baku batu akiknya.  

Seingatku, paling tidak ada empat langkah untuk menghasilkan batu akik yang siap dipasangkan ke cincin, dimulai dari memecah batu kasar bahan baku, dilanjutkan dengan pembentukan, penghalusan dan pengilapan.

Pertama-tama, batu kasar bahan baku akik dipecah dengan martil. Abak kemudian mematut-matut pecahan-pecahan itu, untuk memilih mana yang akan diproses lebih lanjut.  Pecahan terpilih segera dibentuk dengan mengikisnya menggunakan batu gerinda yang berputar.  Batu gerinda yang dipakai Abak berbentuk cakram yang memilki sumbu ditengahnya yang digantungkan dua kaki sehingga cakram itu dapat berdiri vertikal.  Sumbu itu memanjang ke sebuah pegangan/handle yang dipegang Abak untuk memutar gerinda itu.  Saya tidak ingat apakah batu gerinda itu milik Abak sendiri atau dipinjam dari kawannya.

Pecahan batu kasar itu ditempelkan ke sisi gerinda yang berputar itu hingga didapat bentuk batu yang diinginkan.  Hasilnya sudah berbentuk namun permukaannya belum halus dan belum mengkilap.  Selanjutnya untuk mencapai kehalusan dan kilap sempurna, batu akik ini melalui dua langkah proses pengikisan atau penggosokan. 

Penghalusan dilakukan dengan menggunakan batu asahan yang permukaan lebih halus dari pada batu gerinda yang membentuk batu tadi.  Dengan sabar Abak menggosok-gosok batu itu ke permukaan batu asahan.  Sesekali batu itu dicelupkan ke air untuk menghilangkan serbuk-serbuk halus batu yang masih menempel.

Setelah tingkat kehalusan yang diinginkan dicapai, batu akik dikilapkan dengan menggosok-gosokkannya ke permukaan bambu dan sesekali dicelupkan ke air.  Sama dengan penghalusan, pengkilapan metode ini juga memakan waktu cukup lama dan menuntut kesabaran tingkat dewa.  Keseluruhan proses ini mungkin memerlukan waktu berminggi-minggu untuk mendapatkan satu batu akik yang sempirna halus dan kilapnya.

Kebanyakan batu akik karyanya tidak dibuatkan cincin, hanya disimpan saja dengan membungkusnya dalam selembar kain.  Abak tidak pernah menjual batu akiknya.  Kain pembungkus koleksi akiknya akan dibuka bila ada kawannya sesama penggemar batu akik bertamu.  Tidak jarang pada akhirnya terjadi barter batu batu akik, kalau tidak hanya diskusi ringan saling tukar informasi dunia perakikan, dibumbui sedikit show-off membanggakan koleksi masing-masing.

Koleksi batu akik Abak akan dibuka pula bila Uda-uda saya yang tinggal didaerah lain berkunjung ke rumah kami.  Mereka melihat-lihat koleksi batu akik Abak dan bila ada batu yang mereka suka, pastilah mereka akan memintanya.




Comments

Popular posts from this blog

Lampu togok dan lampu strongkeng

Kopi cap "Rangkiang", kue sangko & saudagar tembakau

TV Pertama Kami (bagian 3)