Mana nomor tempat duduknya?

Akhir Oktober 1999, aku lupa tanggalnya, adalah salah satu hari paling monumental dalam hidupku.  Hari itu, untuk pertama kalinya, aku naik pesawat terbang.  Tidak main-main, penerbangan pertamaku adalah penerbangan internasional, meski bukan ke destinasi idaman banyak orang, India.  Maskapai yang beruntung ikut serta mengukir sejarah hidupku adalah Cathay Pacific, jurusan Jakarta-Mumbai via Hong Kong.  

Bagaimana tidak monumental, hingga hari itu, kendaraan paling mewah yang aku tumpangi adalah Bis Executive Lorena.  Rasanya sudah seperti raja di sepanjang jalan lintas Sumatera, sambil melirik bangga kepada para penumpang bis-bis ekonomi yang meringis kegerahan.  

Malam sebelum hari bersejarah itu diisi dengan mengepak barang bawaan kedalam koper besar warna hitam yang baru dibeli dari Mangga Dua.  Karena barang bawaanku agak banyak, ritual packing berakhir menjelang tengah malam.  Setelah memastikan semuanya masuk koper, sambil duduk bersandar, aku mematut-matut tiket pesawat pulang-pergi yang pagi tadi diberikan oleh Pak Sugiman, staff HRD. Aku mengingat-ngingat penjelasan kawan-kawan yang pernah naik pesawat tentang prosedur langkah-demi langkah bepergian dengan pesawat terbang, baik dibandara asal maupun tujuan serta selama penerbangan.

Sekedar informasi bagi generasi yang lebih muda, tiket pesawat masa itu berupa buku memanjang berukuran amplop surat.  Dicetak dengan kertas khusus, didalamnya ada tiga atau empat lembar, dengan tulisan dan kode-kode yang sebagian besar tidak aku mengerti.  Satu persatu lembaran itu aku bolak-balik, sepertinya semua detail yang penting sudah benar adanya, seperti nomor penerbangan, tanggal dan waktu keberangatan, jurusan penerbangan dan sebagainya.  Telah kupastikan pula bahwa nama penumpang yang tertera di tiket itu persis sama dengan nama dipaspor baruku.  Paspor itu juga akan mengukir sejarahnya sendiri, ia adalah paspor pertamaku dan untuk pertama kalinya ia akan merasakan hantaman stempel petugas imigrasi.

Tapi..aku tiba-tiba terperanjat, ternyata tiket itu tidak memuat informasi yang sangat vital, yaitu nomor tempat duduk.  Aku simak lagi lembar demi lembar, memang tidak ada.  Gawat! Aku Panik!

Bagaimana mungkin maskapai besar semacam Cathay Pacific bisa membuat keteledoran yang fatal itu.  Konyol sekali, pikirku. Jangankan bis executive Lorena jurusan Jambi-Bogor, bis ekonomi Kerinci-Padang saja yang penumpangnya boleh merokok didalamnya, tidak pernah lupa mencantumkan nomor tempat duduk bagi penumpangnya.  Tidak habis pikir aku.  Akankah aku berdiri sepanjang penerbangan Jakarta-Hong Kong-Mumbai. Eh, ada rupanya penumpang berdiri dipesawat terbang? 

Yang jelas maskapai itu akan merasakan akibat dari kecerobohannya, akan kuminta Pak Sugiman untuk memboikot maskapai ini untuk perjalanan kantor kami selanjutnya.  Biar tahu rasa mereka.

Sempat terpikir pula olehku untuk menyemprot Pak Sugiman, bagaimanapun ia punya kontribusi dalam kekacauan ini karena ia yang mengurus pembelian tiketnya.  Sepatutnya ia memastikan bahwa nomor tempat duduk tertera jelas.  Tapi segera kuurungkan niat itu, bagaimanapun ia orang HRD.

Untunglah istriku masih berpikir jernih dengan menyarankan untuk menelepon teman yang pernah naik pesawat.  Maka aku telepon Arie, teman sekantor yang pernah naik pesawat, bahkan terbang ke destinasi yang sama, dan telah menjadi referensi utamaku untuk urusan naik pesawat terbang.  "Gawat, Rie...bisa nggak jadi berangkat gue besok nih...masak ditiketnya nggak ada nomer tempat duduknya, Cathay Pacific kagak professional nih?", kataku, masih panik. 
"Oh..emang gitu, ditiket kapal terbang nggak ada nomer tempat duduknya.  Entar baru dikasih kalau kita udah check-in di bandara, nomer tempat duduk ada di boarding pass", Arie menjelaskan.  Ooopss...! 
"Oh gitu, toh...", jawabku, malu.
"Ah..elu..kok nggak bilang dari kemaren-kemaren...kan gue nggak perlu panik begini", masih sempat aku menyalahkan Arie atas kenorakanku.  

(Kuala Lumpur - 12 Mar 2016)

    

Comments

Popular posts from this blog

Lampu togok dan lampu strongkeng

Kopi cap "Rangkiang", kue sangko & saudagar tembakau

TV Pertama Kami (bagian 3)