Lampu togok dan lampu strongkeng
Salah satu yang kusyukuri sebagai generasi yang dilahirkan medio dekade 1970-an di dusun kecil di pedalaman Sumatera adalah kesempatan mengalami zaman yang berubah sangat pesat. Barangkali magnitud perubahan yang terjadi dalam empat puluh tahun terakhir setara dengan apa yang mungkin dicapai dalam empat ribu tahun dimasa lampau. Dan ia terjadi di semua aspek kehidupan.
Aku mengalami masa ketika kampung kami belum dialiri listrik. Begitu senja menyapa, seisi rumah sibuk menyiapkan lampu minyak tanah yang digantung didinding atau ditaruh dimeja. Kami menyebutnya lampu togok. Senja hampir selalu kalang kabut dengan kesibukan memasukkan segala macam ternak kekandang. Kadang ada saja ayam atau kambing yang lupa pulang meski petang telah meremang, kami terpaksa menjemput dan menggiring mereka. Tiba-tiba kami kehabisan minyak tanah atau sumbu lampu togok ternyata sudah terlalu pendek untuk mengalirkan minyak ke lidah api, maka aku mengayuh sepeda mini biruku ke lepau Pak Safar, satu kilometer lebih jauhnya.
Source: www.tokopedia.com |
Source: apeptea.wordpress.com |
Lampu petromax yang kala itu adalah puncak kecanggihan teknologi, tidak kami nyalakan setiap malam, hanya dimalam-malam bila ada tamu atau kami ingin bercengkerama lama diruang tengah. Ia tentu menjadi andalan bagi kedai-kedai pecah belah dan lepau-lepau kopi. Entah bagaimana sejarahnya, lampu petromax di kampung kami disebut lampu strongkeng.
Begitu waktu tidur tiba, semua lampu kami matikan, kami lelap dalam gulita. Tidak bijak meninggalkan lidah api terbuka menyala tanpa penjaga, apalagi rumah kami terbuat dari kayu dan bambu. Kami tidur dengan lampu senter dalam jangkauan, untuk keperluan 'emergency' tengah malam.
Peralatan penerangan 'canggih' itu tentu memerlukan perawatan rutin. Merawat lampu togok tidaklah rumit. Jelaga yang menempel di semprongnya (kaca luar) mestilah dibersihkan agar cahaya dari lidah api tetap memancar tajam dan 'cling'. Untuk kecemerlangan sempurna, kaca itu digosok dengan kain yang dibasahi minyak tanah. Ujung sumbunya perlu dipotong sedikit, untuk menghilangkan bagian hangus yang menghitam, agar lidah apinya bersih. Cirik (tahi) minyak harus pula dibuang dari tangki kaca minyak tanah, lagi-lagi agar pembakaran sumbu sempurna, asap dan jelaga minimal dan nyala api terang maksimal.
Kaca semprong dan sumbu adalah dua suku cadang lampu togok yang sangat vital, itu sebabnya ia tersedia disemua lepau di seluruh penjuru dusun. Selain membuat cahaya lebih benderang, kaca semprong berguna pula melindungi lidah api dari hembusan angin. Sialnya, kebanyakan kaca semprong terbuat dari kaca tipis dan berkualitas buruk, karenanya ia mudah sekali pecah. Sedikit percikan air ketika lampu togok menyala cukup untuk membuatnya retak, lalu menjalar dan terbelah. Tidak jarang tanpa musabab yang jelas, tiba-tiba terdengar bunyi 'krek', pertanda retak, lalu menjalar lagi dan pecah. Sepertinya perubahan suhu udara sedikit saja cukup membuat keselamatan kaca semprong terancam, akibat pemuaian atau penyusutan tidak merata. Untuk alasan itu pula, setiap membeli semprong baru, pemilik lepau akan mencelupkan sepenuhnya kedalam drum berisi minyak tanah beberapa saat. Lalu semprong dililit rapi dengan koran bekas beberapa lapis, baru diserahkan kepada pembeli.
Sedangkan sumbu lampu togok berbentuk pita selebar 1.5cm dan panjangnya antara 10 hingga 15cm. Ia terbuat dari tenunan katun murni tanpa bahan sintetis, agar tidak terlalu cepat habis dimakan api. Memasukkan sumbu baru kedalam celah sumbu lampu togok yang sangat sempit memerlukan kiat tersendiri. Benang jahit perlu diikat atau disangkutkan pada salah satu ujung, gunanya untuk menarik sumbu sembari disisi lain sumbu disorong-sorong. Begitu ujung sumbu tersangkut kuat dengan penaik-turun sumbu, beres sudah, sumbu baru bisa dinaikkan dengan memutar pangkal tangkai penaik-turun sumbu itu.
Adapun lampu strongkeng, yang diciptakan oleh seorang Jerman bernama Max Graetz, bekerja dengan prinsip yang lebih canggih. Bila cahaya lampu togok sejatinya dihasilkan dari membakar minyak tanah cair, maka cahaya lampu strongkeng didapat dari pembakaran minyak tanah yang telah berwujud gas. Prosesi menyalakan lampu strongkeng juga tidak sesederhana lampu togok. Hanya Abak yang bisa melakukannya dirumah kami. Dimulai dengan memasukkan cairan spiritus kedalam piringan kecil didasar ruang pembakaran, lalu ia dibakar dengan korek api. Spiritus dipilih karena pembakarannya bersih tanpa jelaga dan menghasilkan temperatur yang tinggi. Setelah satu dua menit, kira-kira ruang pembakaran telah cukup panas, Abak mulai memompa minyak tanah melalui pemompa dibagian atas tangki. Hal ini dilakukan untuk menghasilkan tekanan tinggi guna mengkonversi minyak tanah cair menjadi gas. Gas ini selanjutnya naik keatas menuju burner (pembakar) dimana disana ia bertemu oksigen, didukung oleh suhu ruang yang cukup tinggi, maka terjadilah pembakaran sempurna atas 'kaos petromax' yang tergantung pada burner. Maka terang benderanglah dunia. Tingkat keterangan lampu strongkeng dapat diatur melalui memutar-mutar tangkai yang menjulur dari pinggang lampu (antara ruang pembakaran dan tangki minyak), yang sesungguhnya berfungsi mengubah intensitas penembakan gas dari tangki. Setelah menyala dua tiga jam, tekanan gas mulai berkurang, ditandai dengan caraya yang meredup. Disaat itu lampu strongkeng perlu diturunkan dari gantungannya dan dipompa lagi.
Perawatan lampu strongkeng tentu lebih komplek dari pada lampu togok, biasanya diserahkan kepada tukang servis dan reparasi petromax profesional. Kami beruntung, Abak yang merupakan tukang segala macam itu, ternyata memahami pula seluk beluk lampu petromax. Urusan perawatan selesai ditangan Abak.
Source: koleksioldskool.blogspot.com |
Source: nanaharmanto.wordpress.com |
Aku mengalami ketika kampung kami mulai memiliki pembangkit listrik tenaga diesel. Rumah generator itu dibangun ditanah kosong ditepi sungai Nyua, dekat tepian kami biasa mandi dan mencuci. Listrik dialirkan ke rumah-rumah melalui kabel yang disangkutkan pada tiang-tiang dari kayu manis. Kami menggunakan listrik hanya untuk penerangan saja. Listrik menyala beberapa jam saja, menjelang maghrib hingga menjelang tengah malam. Kami tetap tidur dalam gulita dan lampu senter dalam jangkauan. Semuanya diupayakan warga dusun, operator pembangkitnya juga warga dusun. Bila generator rusak, teknisi datang dari tempat yang jauh. Maka kami bersabar dalam gelap beberapa malam.
Lalu pemerintah punya program listrik masuk desa, PLN tiba membangun PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel), dengan kapasitas lebih besar dan mampu mengaliri banyak desa. Tiang-tiang kayu manis lapuk kini berganti tiang besi yang kokoh. Tidak sekedar penopang kabel, pada tiang-tiang itu disangkutkan pula lampu-lampu kecil penerang jalan. PLTD itu beroperasi lebih lama, sedari menjelang maghrib sehingga terbit fajar. Dusun kami kini benderang sepanjang malam.
Lalu pemerintah punya program listrik masuk desa, PLN tiba membangun PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel), dengan kapasitas lebih besar dan mampu mengaliri banyak desa. Tiang-tiang kayu manis lapuk kini berganti tiang besi yang kokoh. Tidak sekedar penopang kabel, pada tiang-tiang itu disangkutkan pula lampu-lampu kecil penerang jalan. PLTD itu beroperasi lebih lama, sedari menjelang maghrib sehingga terbit fajar. Dusun kami kini benderang sepanjang malam.
Kami masih menggunakan listrik utamanya untuk penerangan, lalu untuk menonton TV. Pada masa itu belum banyak peralatan rumah tangga yang menggunakan listrik, paling-paling lemari es atau kulkas. Tidak banyak yang mampu memilikinya dikampung kami, itupun sebagian besar digunakan untuk membuat es lilin atau es batu untuk dijual. Semakin hari semakin banyak yang rumahnya tersambung listrik PLN, PLTD kamipun mulai sering berulah, apakah karena rusak atau kelebihan beban. Maka dimulailah tradisi mati lampu yang selalu datang tiba-tiba dan tak terduga.
Beberapa tahun terakhir listrik dikampung kami telah mengalir 24 jam sehari. Listrik digunakan untuk lebih banyak keperluan, melebihi penerangan dan TV. Semakin banyak rumah memiliki lemari es, meski mereka tidak berjualan es lilin. Menanak nasipun menggunakan electric rice cooker. Setrika arang batok kelapa sudahpun ditinggalkan, berganti electric iron. Tukang jahit sudah malas bergoyang-goyang kaki, mesin jahitnya kini digerakkan motor listrik. Begitu pula tukang cukur, alat pemotong rambutnya tidak lagi digerakkan tangan, tapi oleh listrik. Tukang parut kelapapun menggunakan listrik. Demikianlah, pemerintah selalu terlambat mikir, suplai tenaga dari PLN tidak mampu memenuhi kebutuhan. Penyakit mati lampu tiba-tiba masih sering kambuh, hingga kini.
Beberapa tahun terakhir listrik dikampung kami telah mengalir 24 jam sehari. Listrik digunakan untuk lebih banyak keperluan, melebihi penerangan dan TV. Semakin banyak rumah memiliki lemari es, meski mereka tidak berjualan es lilin. Menanak nasipun menggunakan electric rice cooker. Setrika arang batok kelapa sudahpun ditinggalkan, berganti electric iron. Tukang jahit sudah malas bergoyang-goyang kaki, mesin jahitnya kini digerakkan motor listrik. Begitu pula tukang cukur, alat pemotong rambutnya tidak lagi digerakkan tangan, tapi oleh listrik. Tukang parut kelapapun menggunakan listrik. Demikianlah, pemerintah selalu terlambat mikir, suplai tenaga dari PLN tidak mampu memenuhi kebutuhan. Penyakit mati lampu tiba-tiba masih sering kambuh, hingga kini.
Comments