Ramadan tempo doeloe (27): Dua batang rokok, satu puntung

Tek Da adalah adik Ibu yang berprofesi sebagai guru SD.  Bertahun-tahun aku tinggal bersama Tek Da sejak pindah sekolah ke Sungai Penuh saat kelas 5 SD hingga rumah Tek Da tak mungkin lagi menampung saat kami bertiga bersekolah di Sungai Penuh.

Suami Tek Da, Pak Etek kami memanggilnya, adalah pedagang ayam kampung yang aktif di surau dan bermasyarakat.  Salah satu yang kuingat, Pak Etek secara sukarela mengelola tabungan masyarakat untuk qurban.  Mereka yang berminat berqurban di surau Madaniatul Islamiyah mendaftarkan diri kepada Pak Etek setahun sebelumnya.  Pak Etek kemudian akan berkeliling sekali dalam sepekan untuk memungut tabungan qurban itu.  Aku sering menggantikan Pak Etek berkeliling melakukan pemungutan itu.  Uang masuk dicatat dalam sebuah buku tebal panjang, persis yang dibawa tukang kredit berkeliling.  Setiap penabung juga memiliki catatan sendiri dalam bentuk kartu selebar setengah kertas A4, dibuat dari karton manila yang dipotong-potong.  Petugas pemungut mencatat tanggal dan besarnya tabungan dikeduanya.  Sehingga totalnya haruslah sama.  Kalau tidak salah besarnya tabungan yang dipungut adalah seribu rupiah per minggu.

Hanya ada satu persoalan dengan Pak Etek, ia perokok berat garis keras sejak mudanya.  Rokoknya bermerek Kansas dengan kemasan berwarna kuning berisi dua puluh batang.  Pak Etek dapat menghabiskan satu hingga dua bungkus sehari.  Rokok kansas ini adalah rokok putih non-kretek yang sangat berjaya dimasanya.  Berbeda dengan kebanyakan rokok lain, kansas tidak punya kapas filter, seperti halnya rokok Dji Sam Soe 234.

Demikian garis kerasnya, Pak Etek biasa menyambung dua batang rokok menjadi satu.  Awalnya ia menghisap batang pertama hingga setengahnya, lalu ujung yang tak dibakar disambungkan ke batang kedua.  Sedikit tembakau diujung batang kedua dibuang agar ada ruang untuk menyorongkan batang pertama.  Dengan demikian batang pertama akan habis tuntas tanpa puntung.  Dua batang rokok, namun hanya satu puntung.  Hemat bukan?

Menjelang bulan puasa, Pak Etek mulai sakit-sakitan.  Beberapa kali ke dokter Puskesmas, tidak membawa hasil.  Lalu Pak Etek diantar menemui Dokter Daniel, spesialis penyakit dalam yang buka praktek didekat terminal, yang menyarankan X-ray bagian dada.  Kunjungan kedua kepada dokter itu dengan membawa foto X-ray, sungguh mengejutkan. Dokter Daniel mengatakan bahwa paru-paru Pak Etek telah rusak parah akibat rokok.

Kondisi Pak Etek tak membaik, seminggu sebelum Ramadan, Pak Etek harus dirawat inap di Rumah Sakit Umum Sungai Penuh.  Pak Etek tetap ditangani Dokter Daniel yang pertama mendiagnosis kerusakan paru-paru.

Maka Ramadan itu menjadi tak biasa.  Saat itu aku kelas satu SMA.  Bersama dua orang keponakan Pak Etek, Uda Al yang lebih dikenal dengan nama beken Ta'a dan Uda In, kami bergantian menginap di rumah sakit menunggui Pak Etek.  Kami menunggui Pak Etek dimalam hari saja, kadang sendiri-sendiri tapi lebih sering berdua.  Disiang hari Tek Da dan kakak perempuan Pak Etek yang biasa kami panggil Mak Wo yang bergantian menjaga.

Biasanya kami berangkat kerumah sakit selepas berbuka puasa dan pulang setelah azan subuh.  Tek Da membekali kami dengan makanan untuk makan sahur.  Bila tak ada lauk dirumah, kami dibekali nasi putih saja dan sedikit uang untuk membeli gulai cubadak di Rumah Makan Haslin Baru.

Ada empat tempat tidur diruang inap Pak Etek dan hampir tak pernah penuh, sehingga kami dapat tidur di tempat tidur kosong itu.  Sebenarnya menurut peraturan rumah sakit hal itu tidak dibolehkan, tetapi perawat jaga menutup mata dan membiarkan saja.  Apalagi Pak Etek adalah pasien yang menginap paling lama saat itu, kami bertiga menjadi dekat dengan para perawat yang berjaga malam hehehe...

Pak Etek dibawa pulang menjelang hari raya karena pelayanan perawatan minim sekali dihari lebaran.  Lebih mudah perawatan dilakukan dirumah.  Beliau berpulang beberapa hari setelah hari raya.

Comments

Popular posts from this blog

Lampu togok dan lampu strongkeng

Kopi cap "Rangkiang", kue sangko & saudagar tembakau

TV Pertama Kami (bagian 3)