Orang tua lebay

Agenda Sabtu pagi ini adalah mengantar si nomor dua, Zaki, mengikuti ujian teori musiknya yang dipusatkan disebuah SMK (Sekolah Menengah Kebangsaan), sepuluh menit berkendara dari rumah.

Ujian selama satu setengah jam itu bermula pukul sembilan pagi, namun peserta diminta melapor ke meja panitia sejak pukul delapan.  Kami tiba tiga menit menjelang pukul delapan, belum banyak peserta yang datang.  Dengan leluasa kami menemukan nama dan nomor ujian Zaki didaftar peserta serta meja tempat duduknya.  Lalu kami berdua duduk-duduk malas dibangku disisi teras itu.

Tidak ada yang terlalu istimewa tentang ujian itu, kecuali satu hal, aku menyaksikan betapa lebaynya orang tua masa kini.  Lima belas menit selepas pukul delapan, semakin banyak anak-anak dan orang tua yang tiba.  Puncaknya sekitar setengah sembilan, teras didepan hall dimana ujian akan berlangsung dijejali manusia berbagai usia.  Terutama didepan papan pengumuman dimana daftar peserta dan denah tempat duduk ditempel.  Para orang tua itu berdesak-desakan seperti berebut pembagian sembako dari pejabat tinggi yang senang blusukan.  Mulut para orang tua itu (87.3% dari mereka adalah Ibu-ibu) tak berhenti berkicau dalam berbagai bahasa, Melayu, China, India Tamil dan Inggris.  Pening kepalaku dibuatnya.

Mereka yang selesai urusannya dengan papan pengumuman segera mendekati anak masing-masing yang berdiri menunggu tak jauh dari situ.  Mereka tetap seperti burung murai, berkicau tiada jeda.  Seperti bernafaspun mereka tak sempat.  Terlihat olehku mereka memberi instruksi lengkap dan detail kepada anak-anak mereka, termasuk mengulang-ngulang petuah yang mungkin telah ribuan kali didengar anak-anak itu.  Petuah yang belum tentu semuanya benar dan mumpuni.

Kasihan anak-anak itu, mereka tampak stress, tegang dan tak bahagia seketika itu juga.  Pagi yang semestinya cerah tiba-tiba diselimuti mendung wajah mereka.

Keriuhan itu terus berlanjut dan berhenti mendadak sepuluh menit menjelang pukul sembilan saat terdengar pengumuman panitia melalui pengeras suara yang memanggil para perserta ujian memasuki hall.  Suasana sontak kembali riuh rendah ketika para Ibu-ibu bergegas memasuki ruangan.  Satu tangan menarik lengan anak-anaknya, tangan lainnya menenteng tas dan benda-benda lain.  Semakin berisik dan kacau balau karena mulut-mulut yang tak henti berkicau itu ditingkahi detak sepatu-sepatu hak tinggi menghantam lantai semen dan derit meja kursi yang bergeser tersenggol pinggul ibu-ibu itu.

Begitu ramainya suasana, sampai pengumuman melalui pengeras suara tak lagi jelas terdengar dan tak ada yang menghiraukan.  Padahal disebutkan disitu bahwa orang tua dilarang memasuki ruangan, cukup anak-anak saja dengan alat tulis dan kartu identitas.  Aku tak lagi melihat Zaki yang masuk sendirian, mudah-mudahan si kerempeng itu tak tergencet oleh Ibu-ibu kalap itu.
Tidak mudah mengeluarkan para orang tua itu dari ruangan, alhasil ujian harus tertunda sepuluh menit.

Entah pertanda apa ini.  Entah apa yang membuat para orang tua yang sepatutnya lemah lembut itu menjadi demikian ganas.  Maksud hati mungkin baik, agar semua berjalan lancar tanpa hambatan dan anak-anak mendapat nilai maksimal.  Tapi perlukah demikian berlebihannya, over-protective, over-competitive dan ultra-perfectionist sehingga anak-anak manis itu menjadi begitu tertekan?  Bukankah ada baiknya memberi ruang lebih pada anak-anak itu, biarkan mereka bertemu masalah dan mencoba menyelesaikannya sendiri? Bukankah pada akhirnya mereka akan sendiri, karena kita tak kuasa menolak sekejappun bila dipanggil-Nya? Mereka mungkin akan gagal, tapi bukankah itu hakikat belajar?

Entahlah...mungkin aku adalah orang tua pemalas...

Comments

Popular posts from this blog

Lampu togok dan lampu strongkeng

Kopi cap "Rangkiang", kue sangko & saudagar tembakau

TV Pertama Kami (bagian 3)