Kutitipkan Jakarta pada Imanmu

Gundah ini mestinya dapat kupendam sendiri
Namun Umat Islam laksana satu diri
Perih seujung kuku, menggigil demam sekujur badan
Bahu seorang Muslim adalah tempat bersandar Muslim lainnya
Maka biarlah kubagi gulana ini, kepada saudara-saudariku seiman yang memiliki KTP Jakarta

Tanah Jakarta tak cukup lebar untuk menampung hidup seperempat miliar manusia Indonesia
Tapi Ibukota adalah milik semua 

Saudaraku
Bila kau telah berketetapan hati
Untuk memberikan suaramu pada pasangan nomor urut satu atau tiga
Tiada duanya
Sambutlah terimakasih tulus dan salam hormatku
Atas keteguhanmu menjaga Iman

Teruslah berdoa kepada Sang pembolak-balik hati
Yang Maha mengetahui palung terdalam isi hati
Agar hatimu ditegarkan seteguh-teguhnya
Tak berpaling lagi

Saudaraku
Engkau yang memilih menyerahkan suaramu bagi pasangan nomor dua
Sesungguhnya itu adalah hakmu
Yang tak boleh diusik siapapun
Yang akan engkau pertanggungjawabkan
Hari ini dan nanti
Sendiri

Saudaraku
Yang memilih nomor dua
Aku dulu sepertimu juga
Terpikat oleh pesonanya
Harapan perubahan kutitipkan padanya
Ternyata waktu tak hanya menyembuhkan luka
Ia juga membuka cakrawala

===

Aku tertegun disini
Lama
Tulisan ini menggantung hampir dua pekan
Galau aku
Pantaskah ia kuteruskan
Siapalah aku yang lancang menasehatimu
atas sesuatu yg tidak ringan timbangannya
Iman namanya

Apalah aku ini
Sudah menjulangkah Imanku
Sudah bersihkah hatiku
Padahal ia mengkilap hitam bersalut dosa
Bukankah engkau sudi memandang wajahku
Semata karena Allah menutup aibku dari matamu

Sesaat aku sepakat pada sikap tegas seorang seniman Muslim
Yang suara lengkingnya dulu kusuka
Tak payahlah engkau mengkhawatirkan Iman orang lain
Urus sajalah Imanmu sendiri saja
Begitu katanya

Namun Saudaraku
Baginda Rasullullah pula bersabda
Sampaikan olehmu meski satu ayat saja
Tak payah paripurna menjadi Ustadz, Kyai, Syaikh atau Buya
Tak perlu menanti sertifikasi Menteri Agama

===

Maka izinkan aku meneruskannya
Membagi kecamuk hati denganmu
Bila ia melukaimu
Hanya maafmu belaka yang menyelamatkanku
Bila engkau merasa tak nyaman
Berhentilah disini jangan lanjutkan

Diatas segalanya
Aku saudaramu dalam Tauhid
Mencoba menjadi sejatinya saudara
Memberi pengingat meski pahit

Saudaraku
Pernahkah terbersit dipikiranmu
Mungkin syahadatain ringan diujung lidah
Namun ia bermakna penyerahan sepenuhnya
Pengakuan Islam sebagai jalan hidup yang lurus
Yang memandu setiap helaan nafas
Mercusuar yang menjadi pedoman kala dekat dan jauh
Yang mengatur segala sisi kehidupan
Semuanya dan selamanya

Tapi Saudaraku
Pernahkah kau sadari
Betapa Islam telah kita reduksi begitu kerdilnya
Sebatas janji cinta dua sejoli dan kematian
Sebatas dinding kusam surau dan masjid tua
Saksi bisu shalat kita yang tergesa-gesa
Sebatas merdunya tilawah Quran dari music player kita
Islam kita setipis kulit ari identitas saja

Tapi Saudaraku
Pernahkah kau akui
Hukum-hukum Allah telah kita lengahkan
Yang perintah larangnya begitu jelasnya

Allah tinggikan derajat perempuan dengan memanjangkan hijabnya
Kita katakan itu budaya Arab belaka
Atau kita katakan Iman ini belum mantap memakainya
Ada pula yang lahirnya berhijab namun sejatinya tidak
Karena buruk tabiatnya
Tajam lidahnya menyakiti saudaranya
Bahkan mengolok-olok agama dan ulama

Sungguh besar dosa riba
Melebihi dosa menzinahi Ibunda
Tiga puluh enam kali banyaknya
Bahkan Allah memaklumatkan perang terbuka
Kepada yang mengambil, memberi, menyaksikan dan mencatatnya
Entah mengapa begitu berat untuk meninggalkannya

Saudaraku
Seperti dejavu rasanya
Semisal hijab dan riba
Itu pula yang kurasa
Ketika Al Maidah 51 mencuat jadi perkara

Cepat kuraih Mushafku
Ternyata tidak satu atau dua
Ada belasan bilangannya
Kalimat Allah yang menuntun dalam memilih pemimpin
Sangat terang larangannya
Bahwanya jangan kau ambil menjadi pemimpinmu
Orang-orang kafir, Yahudi dan Nasrani
Yang menutup hatinya dari Islam
Sangat jelas ancamannya
Bahwa ianya menjadi alasan Allah mengazabmu

Saudaraku
Bila Allah mengulangnya 
Belasan kali banyaknya
Dengan terang, lugas dan sederhana
Yang tak kau perlukan kitab tafsir tebal berjilid-jilid
untuk memahaminya
Bukankah itu perkara besar disisi-Nya?
Lalu kenapa masih ingin kau mendebatnya?
Dari mana datangnya hujah-hujahmu itu untuk menyanggahnya? 

Saudaraku
Dari belasan ayat itu
Tersentak aku oleh surat An Nisa
Yang dulu selalu menjadi bahan candaku
Apalagi kalau bukan karena 
Halalnya memperistri dua tiga atau empat wanita

Buka Mushafmu Saudaraku
Bacalah untaian kalimat-kalimat-Nya
Sepuluh ayat surah An Nisa
Seratus tiga puluh delapan
Hingga seratus empat puluh tujuh

Saudaraku
Adakah takjubmu seperti takjubku
Lebih dari lima belas abad silam
JIbril ajarkan untaian kalimat-kalimat itu 
Kepada Baginda Rasul yang tak tahu tulis baca
Tapi mengapa terasa mereka baru diturun malam ini
Adakah Allah kini menjadi pengamat Pilkada?

Saudaraku
Untaian sepuluh ayat itu
Dari Al Quran mulia yang terjaga 
Demikian sempurnanya
Tak ada yang perlu ditambahkan padanya

Dengannya masa depan Jakarta dan tanah air tercinta
Kutitipkan pada Imanmu

Karena Iman adalah cinta
Yang diuji tatkala harus memilih 

(Mumbai, 13 Februari 2017)

Comments

Popular posts from this blog

Lampu togok dan lampu strongkeng

Kopi cap "Rangkiang", kue sangko & saudagar tembakau

TV Pertama Kami (bagian 3)