Dara cantik pembawa baki

Saat itu TV hitam putih 14 inchi merek National adalah pusat hiburan keluarga kami, bahkan para tetangga. Dan TVRI, yang mengudara dari pukul empat tiga puluh petang hingga menjelang tengah malam, adalah satu-satunya stasiun TV. Ada dua tayangan yang wajib ditonton, keduanya siaran langsung. Yang pertama, siaran langsung pertarungan tinju kelas berat Mike Tyson. Yang kedua, siaran langsung peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tepat pukul 10 pagi tanggal 17 Agustus setiap tahun dari Istana Merdeka, diikuti pengibaran bendera pusaka.

Anda yang seangkatan dengan saya atau lebih senior tentu masih ingat kualitas penyiar TVRI dan RRI masa itu. Penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar dikombinasikan dengan suara enak didengar dan intonasi terkendali. Perpaduan yang menghanyutkan, seolah menghisap pemirsa dan membawanya ketempat mereka melaporkan. Maka saat mereka menggambarkan suasana Istana, aku yang belum pernah sekalipun ke Jakarta rasanya sedang duduk bersama para undangan kehormatan, sambil memandang Monas dan gedung-gedung disekelilingnya. Semua terlukis jelas, warna-warni dibenak kami, meski gambar dilayar kaca hanya hitam, putih dan kelabu. Narasi penyiar yang mewarnainya.

TVRI biasanya belum mengudara sepagi itu. Namun tanggal tujuh belas Agustus adalah istimewa, TVRI on air sejak satu jam sebelum upacara dimulai, diawali dengan lagu Indonesia Raya. Kemudian seorang penyiar di studio membuka acara, mengabarkan bahwa ini adalah siaran langsung khusus. Kendali kemudian beralih ke penyiar siaran langsung, biasanya dua orang, yang bertugas di Istana.

Mereka mengisi waktu dengan memberi informasi seputar upacara seperti susunan acara dan para petugasnya. Disaat yang sama kamera memperlihatkan suasana Istana, persiapan-persiapan dan tamu-tamu yang berdatangan. Sesekali berhenti lama diwajah pembesar penting atau figur terkenal, sembari penyiar memberi komentar seputar orang itu.

Sumber: Kantor Berita Antara

Presiden Soeharto tiba dengan senyum khasnya, didampingi Ibu Tien dengan kebayanya. Diikuti para pimpinan lembaga tinggi negara dan para menteri. Ketua MPR/DPR biasanya bertugas membaca naskah proklamasi. Ada dentuman meriam tujuh belas kali tepat pukul sepuluh pagi, menandai detik-detik proklamasi.

Adapun segmen yang paling menarik bagi kami adalah saat pengibaran bendera pusaka. Saat pasukan pengibar bendera pusaka berseragam putih-putih berbaris rapi dan indah, dikawal pasukan angkatan bersenjata. Gagah sekali mereka tampaknya. Mereka adalah para pelajar SMA dari dua puluh tujuh propinsi di Indonesia. Menjadi salah satu dari mereka adalah mimpi tertinggi remaja masa itu.

Penyiar menyebutkan nama setiap orang dari mereka dan asal sekolah mereka. Namun tentu yang menjadi pusat perhatian adalah dua dara cantik yang membawa baki, tempat bendera pusaka dan duplikatnya diletakkan. Fakta-fakta menarik keduanya diumbar penyiar saat mereka melangkah pelan menaiki tangga, menerima bendera pusaka dari Presiden, lalu turun dengan melangkah mundur, dengan mata tetap menatap lurus kemuka. Beberapa menit yang menegangkan, tak terbayang kalau salah satu dari mereka salah langkah, dan terjatuh dari tangga. Tentulah menyakitkan.

Suatu kali, salah seorang dara cantik pembawa baki itu adalah pelajar SMA dari kabupaten kami. Setiap wajahnya disorot dan nama kabupaten kami disebut, berdesir darah didada, jantung berdegup lebih kencang, muka memerah tersenyum sumringah. Ia menjadi buah bibir kami se kabupaten berbulan-bulan lamanya. Betapa sederhananya bahagia kami masa itu.

Namun, dari semuanya, bagian paling syahdu tentulah saat Sang Saka dikibarkan, karena Indonesia Raya adalah lagu termerdu, sepanjang masa. Banyak yang berkaca-kaca matanya, termasuk beberapa orang diantara kami yang menyaksikan jauh dari pedalaman Bukit Barisan Sumatera, didepan layar TV hitam putih.

Jadi, usahlah pertanyakan cinta kami pada negeri ini.

Merdeka!

Comments

Popular posts from this blog

Lampu togok dan lampu strongkeng

Kopi cap "Rangkiang", kue sangko & saudagar tembakau

TV Pertama Kami (bagian 3)