Karena Rohingya tak lagi bisa menunggu

Source: TheWire.in
Kelekatan suatu kaum pada tanah kelahiran tumpah darahnya pastilah sangat erat. Nyawa pun dipertaruhkan untuk mempertahankannya. Keputusan terakhir meninggalkan kampung halaman barulah akan diambil bila bahaya yang mengancam demikian buruknya, hingga bertahan disana dapat berujung musnahnya kaum itu hingga keakar-akarnya. Kaidah ini berlaku pada semua kaum, suku dan bangsa diseluruh dunia. Tidak terkecuali Rohingya.

Malangnya, situasi terburuk itulah yang telah mengepung bangsa Rohingya bertahun-tahun lamanya. Setiap nafas mereka hela dibawah selubung kengerian datangnya bala tentara atau gerombolan kaum lain untuk merenggut paksa hidup mereka atau membumihanguskan dusun mereka.

Maka serangan itu datang, bergelombang-gelombang. Dalam ketakutan dan ketakberdayaan, terbirit-birit mereka melarikan diri. Membawa serta anggota keluarga yang masih bernyawa and kain yang melekat dibadan saja. Meninggalkan sanak saudara yang meregang nyawa, yang tak sempat dikuburkan selayaknya dan asap hitam tinggi membumbung dari tanah kelahiran.

Setiba dipantai mereka bersesak-sesakan diatas perahu-perahu kayu, mengangkat sauh lalu berlayar. Entah kemana menuju. Kepada dua makhluk tuhan, bernama angin dan gelombang, takdir mereka pasrahkan.

Entah setan dari alas mana yang telah merasuki, pemimpin yang pernah menerima hadiah nobel perdamaian dan kaum mayoritas yang menganut agama yang dikenal meletakkan perdamaian diatas segalanya, bersekutu jahat menghabisi bangsa Rohingya seakan mereka adalah kuman penyakit mematikan.

Kebiadaban ini bukan tak mendapat perhatian dunia. Umat Islam dari berbagai belahan dunia dan lembaga-lembaga kemanusian terus mengalirkan bantuan semampunya. Nama Rohingya terus disebut diantara bait-bait qunut. Wajah-wajah pilu perempuan dan anak-anak Rohingya bermain-main diantara air mata doa Umat.  Aceh telah membuktikan, saat perahu kayu Rohingya terdampar dipantai mereka, mereka sambut dengan tangan terbuka meski pemerintah Indonesia mengatakan tak punya dana.  Umat sangat mampu berbuat lebih demi kemanusiaan, meski itu belum cukup.

Berbagai lembaga dan pemimpin dunia mengutuk setiap kali pembersihan etnis ini terjadi. Namun terbukti kecaman, kutukan dan sumpah serapah itu tak berdampak sama sekali. Entahlah, nampaknya Ang San Suu Kyi dan Biksu Wirathu faham sepenuhnya bahwa kutukan itu hanya sebatas silat kata di media. Basa basi yang telah basi.

Tindakan tegas, keras dan nyata atas kebrutalan Myanmar jelas diperlukan. Secepatnya.

ASEAN adalah macan ompong, pathetic dan tak berguna. Tak mampu mencegah anggotanya dari melakukan kejahatan kemanusiaan.

Namun, dari semuanya, yang paling mengecewakan adalah pemerintah Indonesia dan Malaysia. Dua negara anggota ASEAN yang mayoritas Muslim, tidak menunjukkan ketegasannya.

Malaysia masih mendingan, kecaman keras paling tidak keluar dari Timbalan Perdana Menteri.

Indonesia lebih memalukan, tak sepatah kata keluar dari Presiden Jokowi. Hanya Menteri Luar Negeri saja yang menelepon sejawatnya Menlu Myanmar. Tindakan malu-malu, buang waktu dan mereka tahu tidak akan efektif. Sementara rakyat Rohingya terus meregang nyawa.

Sudah sepatutnya dua negara ini mengambil alih tongkat kepemimpinan dalam menyelesaikan krisis berkepanjangan ini. Ini berarti memberi tekanan keras kepada rejim Myanmar, bila perlu dengan kekuatan senjata.

Bila tidak, jangan salahkan bila Umat Islam dunia yang habis kesabarannya mengambil inisiatif keras secara partikelir. Karena kita berpacu dengan waktu dan Rohingya tak bisa lagi menunggu. Lalu kedua pemerintah tanpa malu menuduh mereka teroris.

Comments

Popular posts from this blog

Lampu togok dan lampu strongkeng

Kopi cap "Rangkiang", kue sangko & saudagar tembakau

TV Pertama Kami (bagian 3)