Kisah nyata: tabrakan di tiga negara

Malaysia

Tiga hari yang lalu.  Mendung mengurung Kuala Lumpur sepagi itu.  Istri saya Ida menyetir pulang selepas mengantar si nomor dua Zaki ke sekolahnya.  Dua ratus meter dari rumah, menjelang tikungan terakhir, hujan lebat mengguyur tiba-tiba.  Sudah tabiat Kuala Lumpur, hujan deras turun kerap tanpa gerimis rinai. Ida mendadak teringat jemuran yang baru digantungnya pagi itu. Dan, bum!  Mobil menghantam mobil didepan dengan kerasnya.  Airbag pun mengembang.  Bagian depan mobil rusak parah.

Ida sepertinya sempat pingsan sejenak. Begitu siuman yang dilakukannya adalah menelepon saya.  Saya segera memesan uber.  Dalam perjalanan menuju tempat kejadian saya menelepon asuransi untuk segera mengirim mobil derek.

Mobil kamipun dinaikkan keatas mobil derek dan kami meluncur ke Balai Polis (kantor polisi) untuk membuat laporan. Pertama kami mengambil nomor antrian untuk mendaftarkan kecelakaan.  Setelah mendapat secarik kertas dari petugas pendaftaran, kami diminta menemui Sersan Ridwan untuk wawancara di gedung lain.  Disana antri lagi.  Rupanya yang tidak terlibat kecelakaan tidak diperkenankan ikut wawancara, saya diusir keluar.  Meski saya adalah suami sah Ida.


Jelas Ida pihak yang salah, maka kami harus membayar uang tilang sebesar tiga ratus ringgit di kasir diujung lain gedung itu. Antrian tidak panjang, hanya satu orang saja didepan kami.

Selanjutnya polisi perlu mengambil beberapa gambar kendaraan kami.  Mobil derek diarahkan ke area pengambilan gambar.  Tidak mengantri lama, satu mobil saja didepan kami, yang jug bonyok tentunya.

Terakhir, kami kembali ke hall pendaftaran untuk mengambil laporan polisi.  Mengambil nomor antrian lagi dan menunggu lagi.  Setengah jam kemudian, laporan polisi lengkap sudah ditangan.  Total jenderal kami berada di Balai Polis selama tiga jam.
Kami naik mobil derek lagi dan meluncur menuju bengkel.


Bahrain

Tiga tahun di Bahrain, tiga kali mobil kami terlibat kecelakaan ringan.  Kejadian pertama adalah yang paling epic, Ida menabrak tong sampah besar di simpang tiga tak jauh dari apartemen kami di Juffair.  Bumper depan sobek. Tong sampah saat itu dalam keadaan diam tak bergerak, peluang ia bersalah sangatlah tipis. 

Ida segera menyetir menuju police station (kantor polisi) dan saya menyusul kesitu. Setiba disana malah disuruh kembali ke TKP dan tunggu hingga polisi tiba. Tong sampah korban tabrakan masih berada disitu.  Benar saja, selang sepuluh menit tibalah polisi lalu lintas bermoge (motor gede).  Pak Polisi melakukan wawancara on-the-spot lalu menulis laporan dalam borang kecelakaan.  Borang itu berupa kertas panjang yang mengingatkan saya pada buku catatan abang tukang kredit panci keliling.  Bagaimana tabrakan terjadi dan kerusakan pada mobil digambarkan diborang itu juga.  Kami diberikan satu salinan laporan untuk dibawa kebagian klaim asuransi.

Lagi-lagi Ida yang salah dan harus membayar uang tilang.  Kalau tidak salah besarnya enam dinar yang akan dipungut oleh perusahaan asuransi.

Kami lalu meluncur ke kantor asuransi di kawasan Seef untuk mengajukan klaim.  Prosesnya cukup cepat.  Petugas hanya memasukkan klaim kami kedalam system mereka berdasarkan laporan polisi. Kami membayar deductible (resiko sendiri) polis plus enam dinar tilang yang akan disetorkan pihak asuransi ke Bendahara Negara.  Lalu kami diberikan secarik kertas untuk dibawa ke bengkel. 

Kami meluncur ke bengkel resmi di kawasan Sitra.  Dibengkelpun prosesnya lancar jaya.  Setelah mobil diinspeksi, kami diberikan tanda penyerahan kendaraan.

Berbekal pengalaman pertama, kasus berikut jauh lebih efisien.  Begitu kejadian,  langsung telepon hotline polisi lalu lintas 199 dan Pak Polisi bermoge pun tiba.  Kali ini korbannya bukan tong sampah tak berdosa.  Ida menabrak Mercedes Benz dari belakang, disekitar Salmaniya Hospital.

Jarak kejadian pertama dan kedua cukup dekat.  Saat mengantar mobil ke bengkel setelah tabrakan kedua, petugas Customer Services bengkel masih ingat.  Dan ia pun memberikan petuah.  Katanya mobil kami belum diberkati dan akan terus membawa sial.  Ia sarankan kami memotong seekor ayam lalu darahnya dicucurkan dibumper depan dan belakang.  Kami terkejut alang kepalang. Ida dan saya saling berpandangan tanpa kata.  Seakan kami saling bertanya, 'kita lagi di Bahrain atau di Jawa sih...?'  Ada juga rupanya Arab ndeso.  Petuahnya tidak kami turuti.


Indonesia

Tahun 2006, dalam perjalanan dari Cileunyi menuju Bekasi saya terlibat tabrakan beruntun tiga mobil di jalan tol Cikampek, disekitar Karawang.  Adik bungsu saya Nova dan seorang temannya adalah saksi hidup peristiwa ini.  Sedan saya paling belakang, ditengah Honda Accord warna hitam dan didepan Isuzu Panther dengan bumper belakang baja melintang.  Menurut pengemudi Accord, Panther adalah biang kerok karena mengerem mendadak.  Barangkali supirnya mengantuk.  Yang jelas ketiganya ngebut dijalur paling kanan.  Saya dan Accord tidak menjaga jarak aman.

Sejurus setelah kejadian, mobil kami pinggirkan ke bahu jalan.  Ketiga supir keluar mobil masing-masing.  Salah satu dari kami berkata, "ayo kita keluar tol, sebelum ketahuan Polisi."  Dua supir lainnya menyetujui.  Kamipun saling bertukar kartu identitas dan keluar dipintu tol terdekat.
Tak disangka, ternyata hanya saya dan Accord yang keluar tol.  Panther kabur.  Pengemudi Accord panik.  Mobilnya bonyok parah muka belakang.  Menurutnya, saya harus membayar perbaikan kerusakan belakang dan Panther yang ngerem mendadak harus bertanggung jawab untuk kerusakan bagian depan.  Kerusakan depan cukup parah, dihajar bumber baja si Panther.  Accord sendiri tidak diasuransikan.

Raut muka pengemudi Accord menjadi cemas cemas gulana.  Saya pikir ia akan menyalahkan saya atas kerusakan bagian depan akibat dorongan mobil saya yang sangat kuat dari belakang.  Meski argumen itu sesungguhnya masuk akal, tapi tidak ia lakukan.  Ia semakin gundah, terbayang berapa uang lenyap untuk memperbaiki kerusakan mobilnya.  Mukanya pucat. Iba saya melihatnya.

Saya lalu telepon Ida dirumah, untuk mengecek polis asuransi mobil, terutama berapa limit untuk tanggung jawab kepada pihak ketiga.  Eh, ternyata lumayan besar, enam puluh juta rupiah.

Lalu saya berkata kepada pengemudi Accord, "Gini aja Mas, anggap saja saya yang yang salah karena nabrak dari belakang kuat sekali.  Perbaikan mobil Mas, depan dan belakang, biar saya tanggung saja pakai asuransi mobil saya."

Raut mukanya sontak berubah cerah, seakan darah kembali mengalir ke wajahnya yang semula pasi.

Saya kemudian menelepon asuransi yang mengarahkan untuk membawa kedua mobil ke bengkel panel mereka di Kelapa Gading esok harinya.

Saya tanyakan, "Apakah kami perlu membuat laporan Polisi?"

Jawabnya, "Nggak usah, Pak.  Nanti malah ribet!"


Hikmah

Setidaknya ada tiga hikmah yang dapat dipetik dari kisah nyata tabrakan di tiga negara ini.

Pertama, lupakan soal jemuran ketika anda mengemudi.

Kedua, jangan berbuat Syirik dengan menyembelih ayam dan melumuri darahnya ke badan mobil.  Dosa Syirik sungguh tak terampuni.

Ketiga, adapun tentang Polisi, anda buatlah kesimpulan masing-masing.

Comments

Popular posts from this blog

Lampu togok dan lampu strongkeng

Kopi cap "Rangkiang", kue sangko & saudagar tembakau

TV Pertama Kami (bagian 3)